Raungan hewan yang pernah menggema di hutan kini teredam. Teriakkan dari satwa liar yang dahulu ditakuti manusia, kini sudah jarang terdengar. Hewan-hewan buas yang dahulu ditakuti, kini justru menjadi pihak yang terancam. Mereka berlari ketakutan, bukan karena mengincar mangsa, melainkan karena menghindari jerat dan senapan manusia yang rakus. Perburuan liar dan kerusakan habitat telah mendorong mereka ke ambang kepunahan, meninggalkan hutan yang sunyi dan sepi.
Ancaman-ancaman tersebut telah menyebabkan penurunan drastis pada populasi berbagai spesies. Data dari IUCN menunjukkan bahwa pada tahun 2023, terdapat lebih dari 42.100 jenis kekayaan hayati yang terancam punah, termasuk di dalamnya 41% amfibi, 37% hiu dan pari, 36% terumbu karang, 27% mamalia, 13% burung. Dari jumlah itu, sekitar 15.000 jenis kekayaan hayati Indonesia sudah dinilai status konservasinya, dan 2.343 di antaranya berisiko terancam punah, termasuk 1.297 jenis tumbuhan. Selain itu, “Living Planet Report 2024” juga melaporkan bahwa telah terjadi penurunan populasi keanekaragaman hayati sebesar 73 persen selama 50 tahun terakhir atau tepatnya sejak 1970-2020.
Tidak hanya ancaman kepunahan hayati yang meresahkan, tetapi juga perubahan iklim dan polusi yang semakin parah, kini menjadi momok bagi kelangsungan hidup di bumi. Perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, serta polusi udara menjadi ancaman serius bagi kehidupan di bumi. Diperkirakan 50-75% populasi global akan terdampak kondisi iklim ekstrem pada tahun 2100 (IPCC, 2022). Selain itu, terdapat sekitar 1 juta spesies tumbuhan dan hewan terancam punah, yang dapat memengaruhi kesehatan manusia dan ekosistem (IPBES, 2019). Polusi udara juga menjadi penyebab utama penyakit dan kematian dini, dengan angka hingga 4,2 juta kematian per tahun (UNFCCC, 2019).
Hilangnya keanekaragaman hayati, serta kerusakan lingkungan tersebut tentu bukanlah tanpa alasan. Aktivitas manusia menjadi penyebab utamanya. Pembakaran serta penebangan hutan tanpa batas untuk membuka lahan, penggunaan bahan kimia berbahaya, hingga kebiasaan membuang sampah sembarangan, semuanya memberikan dampak buruk yang nyata. Hutan, yang seharusnya menjadi paru-paru dunia, kini terus menyusut akibat eksploitasi berlebihan. Di sisi lain, spesies tumbuhan dan hewan kehilangan habitatnya, membuat mereka tak mampu bertahan hidup.
"Perubahan iklim, deforestasi, perburuan, dan perdagangan ilegal semuanya mengancam keberlangsungan flora dan fauna di alam. Akibatnya, populasi mereka terus menurun, dan membuat banyak spesies terancam punah. Oleh karena itu, spesies langka atau dilindungi disebut demikian, karena populasinya yang sedikit, sehingga membutuhkan perlindungan agar tidak punah," tutur Rheza Maulana, S.T., M.Si., selaku peneliti dan aktivis lingkungan dalam acara Forum Bumi.
Reza menyampaikan keprihatinannya terhadap perubahan sikap manusia terhadap satwa liar, yang dulunya dihormati dan dilindungi, bahkan dianggap seperti kakek atau leluhur, namun kini justru diperlakukan sebagai objek untuk dimiliki dan dieksploitasi. Ia juga menyoroti perubahan peran masyarakat, yang tadinya menjadi perawat dan pelindung satwa, tetapi kini lebih terlihat sebagai penakluk dan perusak.
Lebih lanjut, Rheza menambahkan bahwa di media sosial saat ini, satwa liar sering kali ditampilkan sebagai makhluk buas yang harus ditundukkan. Menurutnya, penting untuk mempertanyakan apakah pola pikir semacam itu sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia. Ia mengingatkan agar masyarakat tidak terjebak pada pola pikir yang mungkin bukan berasal dari budaya Indonesia, melainkan diimpor dari bangsa lain.
Selaras dengan yang disampaikan oleh Rheza, keanekaragaman hayati saat ini memang memiliki kondisi yang memprihatinkan. Jejak-jejak eksploitasi manusia begitu jelas terlihat. Pohon-pohon besar yang dulu menjulang tinggi kini hanya tinggal tunggul. Akar-akar pohon yang terpapar terlihat rapuh, seakan meratapi nasibnya. Serta, satwa dan puspa endemik kini semakin sulit ditemukan, tersembunyi di sisa-sisa habitat yang terus menyempit. Orangutan berjuang bertahan di hutan yang semakin kecil, sementara bunga Rafflesia, sang ikon hutan tropis, makin jarang bermekaran. Alam seolah memberi peringatan, namun suara itu kerap diabaikan oleh manusia yang terus melangkah tanpa henti, meninggalkan jejak kehancuran.
Kepunahan satwa dan tumbuhan ini membawa dampak yang jauh lebih besar dari sekadar kehilangan spesies. Ketika satu mata rantai ekosistem hilang, keseimbangan alam pun runtuh. Hutan yang kehilangan pohonnya tak lagi mampu menyerap karbon dioksida, mempercepat laju perubahan iklim. Hilangnya satwa penyerbuk seperti lebah atau burung mengancam produksi pangan, membuat hasil panen menurun drastis. Sementara itu, tumbuhan obat yang menjadi dasar pengembangan medis juga ikut punah, mengurangi peluang kita untuk menemukan obat baru. Tentunya, hal-hal itu akan membahayakan kesejahteraan manusia jika dibiarkan.