Ayah...adek juga mau makan.
Ayah...adekku manaa?
Adeek...tidur dulu ya..ya..ya.., nadanya gemes plus mimik seorang ibu merawat bayi kecilnya.
Itu beberapa ucapan polos 'mutiara'ku. Mutiara bernama Shofi yang perlakukan 'adek'nya demikian rupa. Namun ternyata tidak seperti saudara nyata pada umumnya, dia lah teman makan tidur, lawan berkelahi, sohib curhat, yang semua terangkum dalam sebutan kawan imajinatif.
Anak2 -seperti kita dahulu- mayoritas memiliki kawan imajinatif ini, bisa bentuknya konkret maupun abstrak atau yang sering dicap sebagai tokoh fiktif. Kita mengadopsi cara mereka berjalan, berbicara, segala tingkah. Sumbernya dari mana saja, bacaan komik, tontonan tv atau cerita rakyat dari lisan tetua.
Beranjak remaja menapak dewasa, 'kawan' kita beberapa menghilang, sebagian digantikan kesibukan, bahkan punah dimakan zaman.Â
Kenapa?
Apa tuntutan usia tak memungkinkan kita berandai kembali?
Atau khayalan itu hanya monopoli manusia cilik muda polos menggemaskan?
Tidak kah kita butuh kawan imaji di hari aktifitas dipenuhi canggihnya teknologi? Sedang dahulu bercengkerama tak perlu login-follow-like-comment?
Hehe.. Tengok sejenak sahabat mengadu, "Wahai Rasulullah, saat kami sedang duduk bersamamu, kami seakan tidak ingin lagi berhubungan dengan apapun kecuali mendekatkan diri kepada Allah. Namun ketika pulang, kami melupakan hal itu."
Pengaruh baginda Rasul yang elegan sungguh telah membentuk bahkan merubah karakter sahabat. Interaksi apapun di sekitar beliau terasa nyaman seakan meraih puncak motivasi. Wejangan nasihat dan tauladannya menjadikan spirit iman menggebu-gebu.
Aduhai, jika motivasi aktifitas muamalah dan ibadah kita dapat di recharge dengan sosok baginda, mengapa tak jadikan beliau kawan imaji yang senantiasa menuntun langkah kaki dan pikir kita?
Kita bertemu siapapun 'beliau' ajarkan tersenyum.
Menyapa anak2 kecil 'beliau' mengajak untuk mencandainya.
Mendapati cakap kawan mengenai kabar burung, 'beliau' isyaratkan diam serta bertabayun.
Sekembali usai lelah menjemput rezeki 'beliau' tak lupa memotivasi sensitifitas romantisme kita terhadap pasangan.
Sungguh citarasa akhlak yang begitu agung.