Intinya bisa jadi yang mudah itu menyusahkan nantinya.
Ok, kalau masih mau baca tulisan ini, saya ajak Anda ke abad 19 dulu di mana saat  itu masih banyak orang mati kelaparan, tapi di era sekarang yang serba canggih ini banyak orang yang mati karena kegemukan, lebih tepatnya penyakit akibat kegemukan. Dapat pointnya? Kalau belum, kita bahas kutukan. yaitu…
Kutukan Sumber Daya Alam
Ada suatu tesis yang cukup menjadi perhatian saya di bidang ekonomi, yaitu tesis kutukan sumber daya alam atau disebut juga paradoks keberlimpahan. Dalam tesis ini dijelaskan bahwa negara yang kaya akan sumber daya alam cenderung penduduknya akan miskin. Tesis yang diungkap oleh Richard Auty tahun 1993 ini menjelaskan bagaimana negara-negara yang SDA-nya berlimpah tidak mampu memanfaatkan kekayaan tersebut untuk mendorong ekonomi mereka dan bagaimana mereka mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat daripada negara-negara yang SDA-nya sedikit.
Tesis diatas menurut saya menjelaskan fenomena mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia mentok di 5 persen. Sedangkan kalau kita lihat ke Asia Timur seperti China, pertumbuhannya konsisten di atas lima persen, sedangkan Jepang dan Korea Selatan telah berhasil menjadi negara maju, padahal mereka tidak lebih kaya dari Indonesia SDAnya.
Tsunami Informasi yang Tidak Mencerdaskan
Paradoks Kemudahan yang saya tulis sebagai judul diatas merupakan adaptasi atau bentuk lain dari paradoks keberlimpahan. Karena fenomena ini saya lihat juga dalam era tsunami informasi saat ini. Secara teori orang-orang generasi muda sekarang harusnya lebih pintar dibandingkan para orang tua mereka karena informasi yang mereka serap lebih banyak, tapi kenyataannya tidak seperti itu.
Di masyarakat bahkan berkembang bahwa kualitas sarjana sekarang sama dengan kualitas lulusan SMA jaman dulu. Jika dibandingkan dengan negara yang pendidikannya maju seperti Denmark, Â kualitas lulusan S1 atau sarjana di Indonesia sama dengan lulusan SMA di Denmark(sumber).
Data tahun 2022 menempatkan Indonesia dalam 10 besar negara yang kecanduan Internet dan sosial media (sumber), memang  informasi sudah dalam genggaman tangan, tapi ternyata tidak lah serta merta membuat kualitas SDMnya meningkat. Data PISA terbaru masih menempatkan Indonesia di peringkat bawah. Sebuah paradoks, paradoks kemudahan.
Dalam dunia pendidikan, fenomena membagikan bahan tayang atau slide menjadi sumber akan dangkalnya pemahaman, dan juga menjadi penyebab kemalasan membaca yang telah difasilitasi oleh guru atau pengajar. Saya melihat ada perbedaan kualitas pemahaman ilmu pengetahuan pada generasi pelajar yang belajar melalui bahan tayang dan generasi pelajar yang belajar melalui buku teks. Bahan tayang telah menjadi candu dalam dunia pendidikan yang serba praktis. Bahan tayang bisa menjadi penyebab rendahnya daya nalar para peserta didik sekarang, karena di bahan tayang tidak mungkin menjelaskan filosofi-filosofi yang menjadi nalar berfikir pada suatu konteks. Bahan tayang hanya ingin menampilkan yang tampak menarik untuk ditampilkan dan ringkas.
Paradoks Kemudahan ini menurut saya juga bisa menjelaskan Sirekap KPU yang seharusnya menjadi solusi untuk memudahkan memantau hasil pemilu malah menjadi sumber masalah dalam pemilu. Secara umum banyak aplikasi yang tujuannya buat memudahkan namun akhirnya menjadi sumber masalah. Bahkan kebanyakan aplikasi yang dibuat tidak bermanfaat, data tahun 2023 ada 27 ribu aplikasi yang tidak bermanfaat dan menjadi sumber pemborosan anggaran.
Di luar pemerintah, fenomenanya hampir sama, jika sebelum pandemi kita sering membaca kemunculan startup-stratup, tapi sekarang kita lebih sering membaca startup-stratup bertumbangan. Solusi dan kemudahan yang ditawarkan para startup tadi ternyata bukanlah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Banyak
Lebih kejamnya lagi, banyak para programmer atau para ahli di bidang IT sekarang terkena dampak dari disrupsi atas karya mereka sendiri. Banyak para pekerja di bidang IT terkena PHK, bahkan di raksasa teknologi seperti Alphabet (Google) dan Apple.