UMKM) merupakan salah satu penyokong aktifitas perekonomian Indonesia. UMKM berkontribusi bagi keberlangsungan perekonomian terutama di daerah kelas menengah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013, pelaku UMKM dikenakan tarif Pajak Penghasilan sebesar 1 persen. Namun, untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi, saat ini Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan baru terkait tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5 persen dengan diundangkannya PP Nomor 23 Tahun 2018 yang diubah terakhir dengan PP Nomor 55 Tahun 2022. Skema tarif pajak ini dikenakan khusus bagi para pelaku UMKM yang memiliki peredaran bruto atau omzet tahunan maksimal Rp4,8 miliar.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Pengenaan tarif ini berlaku dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kriterianya. Berikut ketentuan penggunaan tarif PPh Final UMKM 0,5 persen PP 23/2018 (diganti PP 55/2022):
- 7 tahun untuk WP Orang Pribadi
- 4 tahun untuk WP Badan berbentuk Koperasi, CV, atau Firma
- 3 tahun untuk WP Badan berbentuk Perseroan Terbatas (PT)
Jangka waktu penggunaan tarif PPh Final 0,5 persen dihitung sejak:
- Tahun Pajak WP terdaftar, bagi WP yang terdaftar sejak berlakunya PP Nomor 23 Tahun 2018
- Tahun Pajak berlakunya PP Nomor 23 Tahun 2018, bagi WP yang terdaftar sebelum berlakunya PP ini
Setelah masa penggunaan tarif PPh Final tersebut selesai, maka pelaku UMKM akan dikenakan tarif normal Pasal 17 ayat (1) huruf (a) UU PPh untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dengan pekerjaan bebas atau dengan metode perhitungan NPPN (Norma Penghitungan Penghasilan Neto).
Saat ini, kebijakan tersebut masih menuai banyak pro dan kontra dari para pelaku usaha. Memang, menurut sebagian orang tarif 0,5 persen dianggap cukup efektif karena memiliki sistem perhitungan yang lebih sederhana jika dibandingkan sistem PPh progresif normal. Namun, tetap saja ada kekhawatiran bahwa tarif pajak final tersebut tetap dikenakan meskipun aktifitas usaha sedang mengalami kerugian. Tarif PPh Final ini dikenakan berdasarkan peredaran bruto, bukan laba bersih usaha dalam setahun. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi pelaku usaha yang masih dalam tahap pengembangan dengan margin keuntungan yang relatif kecil. Untuk lebih lanjut, mari kita ulas apa saja dampak positif dan negatif dari penerapan PPh Final ini. Kita mulai dari dampak positifnya.
Tarif Pajak Lebih Kecil
Dengan ditetapkannya kebijakan PPh Final 0,5 persen, para pelaku UMKM dapat menikmati tarif pajak yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan sistem tarif sebelumnya. Hal ini dapat meringankan kewajiban perpajakan, sehingga para pelaku usaha memiliki lebih banyak modal yang dapat digunakan kembali untuk mengembangkan usahanya, seperti menambah stok barang, meningkatkan kualitas produk, atau bahkan memperluas jangkauan pasar. Dengan beban pajak yang lebih ringan, UMKM memiliki peluang lebih untuk tumbuh dan bersaing di pasar yang lebih kompetitif.
Sistem Administrasi Perpajakan yang Lebih Sederhana
Administrasi merupakan salah satu syarat dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Di Indonesia sendiri, sistem administrasi perpajakan cukup rumit terutama untuk pelaporan Pajak Penghasilan (PPh). Hal ini menjadi kendala yang sering dihadapi UMKM dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, terutama dalam menghitung laporan laba-rugi. Dengan adanya PPh Final 0,5 persen ini, perhitungan pajak penghasilan menjadi lebih sederhana karena didasarkan pada peredaran bruto, bukan peredaran neto. Hal ini sangat memudahkan para pelaku UMKM dalam mengelola pajaknya tanpa harus menyusun laporan keuangan yang kompleks. Sehingga, mereka dapat lebih fokus pada pengembangan usaha tanpa terbebani prosedur perpajakan yang sulit.
Meningkatkan Kepatuhan Pajak
Saat ini, kepatuhan wajib pajak di Indonesia dinilai masih cukup rendah. Pemerintah terus berupaya dalam peningkatan kepatuhan perpajakan di Indonesia. Salah satu langkah yang diambil ialah dengan menerapkan kebijakan PPh Final 0,5 persen. Tarif pajak yang rendah serta sistem pembayaran yang lebih sederhana mendorong lebih banyak pelaku UMKM untuk patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakananya. Sebelumnya, banyak UMKM yang tidak dan terlambat dalam membayar pajak karena sistem yang dianggap terlalu rumit dan juga memberatkan para pelaku usaha. Dengan skema PPh Final ini, mereka lebih termotivasi untuk mendaftarkan diri maupun usahanya sebagai wajib pajak karena proses yang lebih mudah dan tidak terlalu membebani keuangan usaha. Peningkatan kepatuhan pajak tentu berdampak positif bagi peningkatan penerimaan negara dan juga membantu UMKM dalam membangun kredibilitas di kalangan investor dan perbankan.
Selain itu, kebijakan ini juga memiliki beberapa dampak negatif bagi pelaku UMKM. Diantaranya yaitu:
Tetap Dikenakan Meski Mengalami Kerugian
Salah satu kekurangan PPh Final 0,5 persen adalah tarif pajak tetap dikenakan meskipun usaha mengalami kerugian. Karena PPh Final ini dihitung berdasarkan omzet, bukan laba bersih. Maka, UMKM tetap harus membayar PPh meskipun pendapatan yang diperoleh tidak mencukupi untuk menutupi biaya operasional. Hal ini menjadi kendala bagi pelaku UMKM yang baru dalam tahap pengembangan dalam bisnisnya karena PPh tetap menjadi kewajiban meskipun mereka belum memperoleh keuntungan atau laba.
Beban bagi UMKM dengan Margin Keuntungan Kecil
Tidak semua UMKM memiliki margin keuntungan yang besar. Terkadang, ada beberapa usaha yang memiliki laba yang kecil jika dibandingkan peredaran brutonya, seperti usaha dagang dengan biaya yang besar tetapi margin keuntungan per item yang kecil. Dalam kondisi ini, tarif pajak 0,5 persen dari omzet tetap terasa membebani, terutama jika perhitungan laba bersih setelah pajak menjadi lebih kecil. Sehingga, beberapa UMKM akan mengalami kesulitan dalam mempertahankan keberlangsungan usahanya akibat pajak yang tetap harus dibayarkan meskipun sedang dalam kondisi merugi.
Kurangnya Pemahaman Para Pelaku Usaha
Dengan rumitnya sistem perpajakan dan juga minimnya jangkauan sosialisasi tentang sistem perpajakan di Indonesia, banyak pelaku UMKM yang belum memahami dengan baik kewajiban perpajakannya, termasuk ketentuan PPh Final 0,5 persen ini. Minimnya edukasi dan sosialisasi tersebut membuat sebagian pelaku UMKM bingung atau bahkan enggan untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Beberapa diantaranya bahkan tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya termasuk dalam kategori wajib pajak dan diwajibkan melaporkan peredaran bruto atas usaha yang dijalankan.
Berdasarkan penjelasan di atas, penerapan tarif PPh Final 0,5 persen bagi UMKM ternyata memiliki dampak yang cukup beragam, baik dari sisi positif maupun negatif. Dari sisi keuntungan, kebijakan ini sangat meringankan beban pajak UMKM, menyederhanakan administrasi perpajakan, meningkatkan kepatuhan pajak, serta berkontribusi pada penerimaan negara yang dapat digunakan untuk program pemberdayaan UMKM. Namun, kebijakan ini juga memiliki beberapa kelemahan, seperti pajak yang tetap dikenakan meskipun usaha mengalami kerugian, potensi beban bagi UMKM dengan margin keuntungan kecil, kurangnya pemahaman pelaku usaha mengenai kewajiban pajak. Maka dari itu, agar kebijakan ini dapat berjalan lebih optimal, pemerintah perlu terus melakukan edukasi dan sosialisasi secara masif dan berlanjut kepada masyarakat, terutama para pelaku UMKM, serta merancang mekanisme perpajakan yang lebih fleksibel bagi usaha yang sedang dalam tahap pengembangan ataupun menghadapi tantangan finansial. Dengan begitu, tarif PPh Final 0,5 persen dapat benar-benar menjadi alat yang efektif untuk mendorong pertumbuhan UMKM tanpa memberikan beban yang berlebihan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI