Mohon tunggu...
salman imaduddin
salman imaduddin Mohon Tunggu... Sales - Komunitas Ranggon Sastra

Control by eros

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Tentang Sastra (Puisi)

29 Januari 2024   23:18 Diperbarui: 31 Januari 2024   20:57 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak ahli yang menyimpulkan bahwa sastra adalah seni yang tersaji dalam bentuk teks. Menurut Plato sastra adalah tulisan yang berasal dari kehidupan nyata atau tiruan (mimesis).

Sedangkan menurut Mursal Esten, sastra merupakan pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai perwujudan atau manifestasi dari kehidupan manusia dan masyarakat. 

Masih banyak lagi pengertian sastra yang dapat kita jadikan dasar pemahaman. Salah satu intisarinya yakni sastra ialah tulisan hasil proses kreatif mendalam yang memiliki manfaat besar bagi pembacanya.

Namun lambat laun sastra mulai menurun kadar manfaatnya bagi khalayak pembaca. Benarkah demikian? Ya, tentu bisa benar bisa juga salah. Pernyataan tersebut muncul ketika saya mendapati respon pendengar sastra. 

Dalam sebuah situasi di berbagai elemen masyarakat misalnya. Tidak banyak masyarakat yang mengetahui sastra dalam bentuk puisi. Puisi dianggap hanya sebuah kata-kata indah yang memotivasi, kata-kata indah yang gombal, atau kata-kata indah untuk sebuah pertunjukkan. 

Seseorang meminta rekan kerjanya membaca puisi mengisi kekosongan dalam sesi istirahat rapat. Sebelumnya ia menjelaskan bahwa rekannya adalah pegiat sastra. 

Ketika dipanggilkan beberapa orang menengok dengan wajah meremehkan dan yang lain mengejek dengan pura-pura membaca "oh b unga..." sambil membuka dan menggerakkan tangannya kemudian gelak tawa nyaring di antara mereka.

 Lalu pada situasi lainnya terdapat sebuah diskusi dalam komunitas sastra sebelum pembedahan karya, para peserta dimintai memunculkan ide tentang penciptaan puisi. 3 dari 5 orang memberikan premis puisinya dengan pemujaan terhadap sesosok. 

Saya merasa gelisah mengetahuinya, apalagi sosok-sosok tersebut merupakan sosok kekasih mereka. Bukan masalah memang, mengingat pemantik daya cipta seseorang pasti berbeda-beda. Saat itu saya beranggapan hal-hal yang bisa diungkapkan melalui Bahasa sehari-sehari tidak lagi perlu diproses dalam puisi. 

Kemudian dalam diskusi tersebut Pemateri menjelaskan yang dapat disimpulkan sebagai berikut: "penciptaan sastra atau puisi memiliki tujuan yang berbeda yang dapat menentukan hasil karyanya. Sah-sah saja jika pengarang menulis hanya bertujuan royalti, sah-sah saja jika pengarang menulis dengan tujuan narsis atau sejenisnya. 

Namun puisi sangat perlu mempertimbangkan aspek urgensi dalam masyarakat. Sepenting apa puisimu sampai seseorang harus membacanya? 

Banyak puisi yang berkisah dan menyiratkan pesan sosial kepada pembacanya. Namun sangat banyak pula puisi-puisi bernada seputar asmara yang justru diminati kawula muda. Tidak ada yang perlu dipersoalkan" Kemudian seseorang bertanya "Lalu mana yang layak disebut puisi mana yang tidak layak? Bagaimana kita memilah atau mencipta puisi yang baik?" Pemateri tersebut menjawab, "pertanyaan yang bagus, Sudut pandang pembaca memang dapat menentukan penyebutan puisi secara kultural. 

Ketika pembaca terkagum-kagum pada sebuah teks dan dengan segala pengetahuannya menganggap yang dibacanya adalah puisi. Maka itu adalah puisi. Begitupula penganggapan dari sudut pandang penulis. Penulis yang menganggap tulisannya puisi dan ia sebarluaskan dengan framing puisi, maka itu sudah dikatakan puisi. 

Nah hal-hal demikianlah yang cukup berperan aktif dalam perkembangan karya sastra. Bermunculan klaim-klaim puisi dalam tulisan di medsos dengan pengukuhan dua sudut pandang tadi, membuat konsumsi sastra di publik tidak melalu proses kurasi ataupun kevalidan kualitas sebuah puisi" Setelah penjelasan tersebut seseorang peserta bertanya tanpa permisi. "Maka pertanyaan yang muncul berikutnya adalah mana yang paling puisi?" Dijawab pula tanpa permisi "nah, yang paling puisi adalah yang memiliki tingkat tertinggi dari kepadatan beberapa aspek. Aspek kebermanfaatan, aspek gaya bahasa yang berhasil mengaktifkan perasaan pembaca, dan Aspek kebenaran dalam tata Bahasa. Jika ada yang sangat tinggi dalam satu aspek namun aspek lainnya rendah, maka kualitasnya akan rendah dibanding puisi yang seluruh aspeknya tinggi (Kebermanfaatan: persoalan yang diangkat sangat urgen serta solutif bagi masyarakat, gaya bahasa: seluruh majas bersambung secara kohesi dan koherensi dengan pemilihan diksi yang menetap dalam pikiran dan menyentuh perasaan para pembaca, tata bahasa: benar dalam sintaktik, benar dalam semantik, tidak boros, tidak sekadar ingin dianggap indah, tapi menyalahi aturan kebahasaan.) 

Seorang mengangkat tangan dan bertanya "Lalu, kenapa puisi harus menggunakan bahasa yang sulit dipahami?" Seseorang yang lain menjawab "mungkin bukan sulit hanya saja tidak umum" Dijawab lagi oleh yang lain "Karena tidak umum itulah menjadikannya sulit" Kemudian Pemateri menjawab "Bahwa, pemilihan diksi yang mungkin tidak umum atau dianggap sulit dipahami itu, memiliki maksud tertentu. Mungkin untuk dianggap indah, untuk melatih diri, atau untuk membangkitkan imajinasi membujuk perasaan pembaca. Tujuan yang terakhir tersebut memiliki kadar penting yang tertinggi dalam puisi. Setiap diksi memiliki tingkat rasa yang berbeda. Misalnya kata menjadi dan menjelma, keduanya bersinonim secara makna, namun tingkat rasa yang ditimbulkan dalam pikiran pembaca akan berbeda. (Mataku menelisik malam, lalu sepi menjelma gelap yang memeluk lampu-lampu kota) akan sangat berbeda ketika kata menjelma dalam larik tersebut diganti dengan menjadi. Kata menjelma lebih mengesankan proses perubahan secara perlahan dan bersahaja, dibanding kata menjadi"

Lalu pemateri bertanya "lalu dari penjelasan tersebut bagaimana pendapat kalian jika ada yang bertanya, apa penyebab belakangan ini puisi atau bahkan sastra secara keseluruhan kurang terasa kebermanfaatannya?" Kemudian para peserta berpikir keras mencari jawaban. Beberapa orang dari kami mencoba menjawab, "karena kualitas sastranya yang merosot" Yang lain menyetujui, lalu Pemateri bertanya, "Kalau begitu, Jika ada yang harus disalahkan berarti pegiat sastra yang harus disalahkan?" Dengan cepat seseorang mengangkat tangan langsung berucap, "tidak selalu, penyebabnya sangat kompleks sesuai penjelasan yang berhubungan dengan klaim-klaim puisi yang sudah dibahas tadi, serta apa-apa saja yang menyebabkan sebuah karya dianggap berkualitas atau kurang berkualitas. Bisa jadi penyebab terbesarnya adalah zaman sekarang mayoritas masyarakat menjalani hidup dengan sebisa mungkin mencari jalan tercepat, sebab perkembangan teknologi menuntut itu. Sehingga dalam aspek kebermanfaatan, jika seseorang memiliki persoalan mereka akan cari cara instan mendapat solusinya. Sebab bagi saya proses interaksi karya sastra dengan pembacanya sangat sulit dikatakan instan. Tentunya semua ini juga terdukung oleh kecenderungan rasa malas bagi penulis dan pembaca sastra"

"ya...ya benar demikian. Menurut saya jawabannya sudah cukup. Kita cukupkan diskusi kita di sesi ini" tutup Pemateri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun