Bu, aku telah mengenang segalanya
Dari mulai amarahmu yang lidah api, yang menyala-nyala membakar bumi pijakanku
Aku telah mengenang riuh ripuh bahagiamu yang kau tuangkan pada secangkir teh ku dengan sederhana. Dengan gemerucuk rindu menyambut kepulanganku
Dalam tegukan teh itu bu cairnya menjelma darah mengaliri seluruhku
Ya, bu aku juga mengenang bait-bait cinta yang kau rapalkan di sepertiga malam lelapku. Aku tak mengerti maknanya. Tapi kau membawaku pada kekaguman dan air mata
Oh lihat lah bu saat aku sakit. Terkenang pula, batinmu yang kokoh melekatkan sayang pada tubuh mudaku yang ringkih tak kenal sabar
Tapi bu kenangan-kenangan itu belum cukup rasanya untuk aku belajar keikhlasan. Penatnya memupuk rasa ikhlas bu
kata ikhlas sendiri aku tak akan pernah memahaminya jika tak pernah bertemu denganmu Bu.
Bu dulu ku tahu, sepi sering datang bersama sayup angin
Tapi kini, ia bisa datang dalam iringan teknologi dan keramaian
Ia bisa muncul dari candu gawai dan cahayanya yang menjenuhkan
Ia bisa datang dari bunyi-bunyi knalpot di jalan raya
Ia bisa datang di warung nasi tepat saat terik matahari
Ia bahkan bisa datang sela-sela waktu yang berjalan begitu cepat
Bu di batas-batas tebing rindu yang menakuti aku tertunduk. Aku bersembunyi dari segala apa yang entah bagaimana. Persembunyian tubuh ringkih dan jiwa ceroboh ini begitu rapi, begitu rinci, begitu dalam dan gelap. Tapi kenapa engkau bu, masih saja menemukanku
lama tak bertemu kini hujan jarang datang di kotaku bu dan panas seperti tuan rumah di muka kotaku
Kemarau panjang ini aku sadar. Bahwa engkau ibu akan selalu menemuka persembunyian "rindu" anak lelakinya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H