Mohon tunggu...
Salman Alfrst
Salman Alfrst Mohon Tunggu... Freelancer - Influencer

saya adalah seorang mahasiswa prodi manajemen bisnis. selain itu saya juga adalah seorang influencer muslim yang aktif di sosial media instagram dengan membagikan konten edukasi dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mitigasi Risiko dalam Kontestasi Pemilu 2024 terhadap Kerukunan Kehidupan Sosial

24 Januari 2024   22:52 Diperbarui: 24 Januari 2024   23:12 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Salman Alfarist - Mahasiswa STEI SEBI, DEPOK

Email : ssalmanalfrst@gmail.com

 

Pemilihan Umum atau Pemilu tahun 2024 adalah kontestasi politik terbesar di Indonesia, Dimana momentum ini terjadi setiap 5 tahun sekali. dalam menyambut pemilihan umum 2024 ini, kita sebagai warna negara memiliki tanggung jawab untuk menciptakan pemilu ini sebagai arah pembentuk masa depan bangsa. Pemilu bukan hanya sebagai ritual demokrasi, melainkan momentum penting dimana suara rakyat menjadi kekuatan untuk memilih pemimpin yang akan membawa harapan seluruh rangkat Indonesia ke depannya.

Pemilu tahun ini menjadi titik perhatian seluruh masyarakat tanah air, sebab mengundang banyak pertanyaan dan refleksi mendalam tentang bagaimana demokrasi saat ini, tata Kelola negara dan juga gagasan arah pembangunan. Dalam menyongsong Pemilihan Umum 2024, tidak hanya kita dihadapkan pada sebuah peristiwa demokrasi yang dinanti-nantikan, namun juga suatu ujian bagi keharmonisan kehidupan sosial di tengah masyarakat.

Kontestasi politik sering kali menyulut beragam pandangan dan hasrat, yang jika tidak ditangani dengan bijak, dapat membahayakan kerukunan dan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari. Pemilu seringkali menjadi pemicu ketegangan dan konflik antar kelompok masyarakat. Perbedaan pandangan politik, suku, agama, dan ideologi dapat menjadi sumber gesekan yang berpotensi merusak kerukunan bermasyarakat. Maka harus adanya upaya pencegahan yang focus guna meminimalkan potensi konflik yang dapat merugikan kehidupan sosial masyarakat. Salah satu yang memiliki potensi besar terjadinya perpecahan adalah melalui media sosial.  yang dapat memicu ketidakpercayaan antar kelompok masyarakat. Penyebaran informasi yang tidak benar dapat menciptakan ketegangan dan merusak hubungan antarwarga.

Data tersebut didapatkan dari laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Dimana dikatakan bahwa platform media sosial Facebook adalah yang paling banyak adanya penyebaran kebencian. Terhitung dari periode 17 Juli -- 23 Nov 2023, jumlah laporan sebaran hoax dan ujaran kebencian telah mencapai 313 kasus, sementara itu yang sudah berhasil diproses mencapai 275 kasus.

 Kedua datang dari platform Tiktok yang menempati runner up dalam jumlah banyaknya informasi hoaks dan sentiment negative (21 konten). Ketiga ada platform Youtube dengan 18 konten, keempat twitter, dan terakhir datang dari platform Snack Video (2 konten).

Pada 10 tahun terakhir, total ada 6 negara termasuk Indonesia yang mengalami kerusuhan akibat sengketa pemilu di negaranya. Pada tahun 2019 silam. Adanya bentrokan antara warga & polisi di Jakarta Pusat, lantaran adanya kekecewaan dan indikasi adanya kecurangan dari hasil pemilu 2019. Pada kala itu ada dua pasangan capres-cawapres yang berkontestasi, yaitu Pasangan Jokowi-Maruf yang didukung oleh 9 Partai Politik dan pasangan Prabowo-Sandiaga yang didukung oleh 4 partai pilitik. Total ada sekitar 400 lebih diamankan dengan barang bukti sejumlah senjata tajam dan bom molotov. Peristiwa menegangkan ini berlangsung selama kurang lebih 2 hari setelah pemilu. Awal mulanya  adanya demonstrasi dari para pendukung pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Sandiaga Uno di depan kantor Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), Sarinah, Jakarta Pusat. paslon tersebut kalah dari paslon 01 yaitu Jokowi-Maruf.

Tensi Poitik pada saat itu sangat tinggi dan tidak terkendali. Terlebih lagi saat ditemukannya bukti dan banyaknya indikasi kecurangan pemilu seperti surat suara yang sudah tercoblos sebelum pemilu dan pengerahan sejumlah ASN yang memihak kepada salah satu paslon. Hal tersebut menjadi pancingan bagi warga untuk terus menggoreng sedemikian rupa dengan narasi yang provokatif agar memancing emosi warga.

Dan pada saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mengumumkan hasil pemenang pemilu yang menyatakan bahwa pasangan Jokowi -- Maruf resmi mendapatkan perolehan suara sebanyak 55,50 persen dan menang di 21 provinsi dari pasangan Prabowo -- Sandiaga yang mendapatkan perolehan suara sebanyak 44,50 persen dan menang di 13 provinsi. Dan setelah pengumuman itulah terjadi Chaos besar pada tanggal 21-2 Mei 2019. Ini juga menjadi cacatan hitam bagi demokrasi Indonesia karna telah mengakibatkan total 895 nyawa petugas KPPS tewas dan ada sebanyak 5.175 petugas mengalami jatuh sakit.

Sedangkan dari luar negri, pada tahun 2014, negara dari timur tengah, Afghanistan hampir saja mengalami perang saudara akibat pemilu di negaranya. Pada saat itu, kedua paslon presiden Afganistan sama sama mengakui dan mengklaim kemenangan pemilu pada putaran kedua. Pada putaran pertama dan kedua masing masing mendapatkan hasil suara lebih banyak secara bergantian, yang pada akhirnya muncur dugaan adanya kecurangan dari kelompok yang kalah karna hasil pehitungan di undur hingga 2 bulan lamanya.

Kemudian di tahun 2018, ada 4 negara yang mengalami kerusuhan akibat pemilu, yang pertama datang dari negara Venezuela yang mengalamai konflik berkepanjangan setelah usai pemilu di negaranya. Pada saat itu presiden petahana, Nicolas Maduro keluar sebagai pemenang, yang akhirnya muncul Gerakan demonstasi besar-besaran oleh kelompok oposisi dan masyarakat yang bersebrangan karna dianggap banyak terjadi sandiwara politik selama gelaran pemilu, seperti adanya dugaan pembelian hak suara dan kecurangan lainnya. Sampai pada saat itu adanya ledakan Bom Bunuh diri yang mengakibatkan lebih dari 200 orang tewas terjadi di area kampanye hingga TPS pada saat menjelang hari pemungutan suara. Dan sisanya ada di negara Kongo dan Zimbabwe yang sama sama mengalami kerusuhan berlatar belakang adanya kecurangan dari salah satu capres dan oposisi yang tidak terima kalah.

Dan kasus terakhir datang dari negara adi kuasa Paman sam, Amerika serikat yang mengalami konflik dan tensi panas saat pemilu 2019 yang mempertemukan presiden petahana, Donald Trump dengan Joe Biden. Kala itu, Donalt trump dinyatakan kalah dari hasil rekapitulasi perhitungan suara dari Joe Biden yang mengakibatkan adanya demonstrasi dari para pendukung Trump. menurut informasi, polisi berhasil mengamankan lebih dari 50 orang provokatif yang membawa senjata tajam.

Dari beberapa tragedy kasus konflik akibat pemilu di negara kita dan juga luar negeri, maka untuk mengurangi dampak konflik besar yang terjadi pada pemilu ini tentu perlu menjadi perhatian semua kalangan, baik pemerintah dan juga masyarakatnya itu sendiri. Pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam Pemilu juga perlu ditekankan sebagai bentuk mitigasi risiko. Melalui partisipasi aktif, masyarakat dapat merasa memiliki peran dalam proses demokrasi, sehingga lebih cenderung untuk menjaga kedamaian dan kerukunan. Pendidikan politik yag baik juga dapat membantu masyarakat memahami pentingnya toleransi dan menghormati perbedaan pendapat.

Dalam menghadapi Pemilu 2024, kita perlu bersama-sama memegang teguh dan berkomitmen nilai nilai Pancasila ketiga dan mengamalkan demokrasi serta menghargai perbedaan pendapat. Mitigasi risiko harus menjadi fokus utama untuk mencegah potensi konflik dan menjaga kerukunan kehidupan sosial. Hanya dengan langkah-langkah preventif yang tepat, kita dapat melangkah menuju Pemilu yang damai dan memberikan dampak positif bagi kemajuan bangsa.

Selain itu, perlu adanya Pendidikan Politik dan edukasi tentang undang-udang pemilu yang terselenggera dengan masif di seluruh penjuru negeri serta di berbagai bidang lokasi seperti melalui digital dan juga penyampaian langsung (offline). Hal ni untuk memberi pemahaman tentang proses tahapan pemilu, kesadaran pentingnya demokrasi dan menjaga kerukunan serta membentuk kedewasaan berfikir.

Kedua, perlu adanya "Kampanye Damai" dan "Monitoring dan Evaluasi Tegas dari Badan Pengawas Pemilu". Setiap calon presiden dan wakilnya, partai politik, serta timses seharusnya menghindari adanya penyampaian retorika berbau sentiment negative atau tendensius yang bisa memicu konflik dan ketegangan sosial.

  Ketiga, perlu menekankan kepada media untuk bersifat objektif dan bertanggung jawab, pun termasuk kepada seluruh pengguna media sosial agar tidak membuat konten dengan narasi provokatif, hoaks, menghasut, serta mempromosikan dialog konstruktif. Media seharusnya berupaya untuk menjadi alat untuk membuat suasana dingin dan terarah secara positif.

 Keempat, perlu adanya penegakan hukum yang adil dan penguatan Lembaga pemilu agar memiliki Integritas, Transparansi dan kredibilas dalam proses pemilihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun