Pernahkah melihat tanggul yang jebol karena begitu derasnya air? atau tanaman yang tetap tumbuh di sela-sela batu yang menutupinya dan merusak batu itu sendiri bahkan ada akar tanaman yang mampu merusak fondasi rumah? Memang sesuatu yang seharusnya tumbuh atapun mengalir, tak akan berhenti begitu saja meski ditekan atau diredam. Kelak ia bisa meluap atau tumbuh tak semestinya. Maka hindari melawan ego dengan ego. Apa hubungannya?
Kalau emosi itu perlu dialirkan, ego itu perlu ditumbuhkan.
Emosi yang tidak dialirkan akan mengendap sedikit demi sedikit lalu meluap hanya dengan sedikit tekanan saja. Sedangkan ego yang tak tumbuh dengan baik, akan mencari jalannya sendiri untuk tumbuh yang mungkin berkelok-kelok.
Apa yang dibutuhkan untuk sesuatu apat mengalir atau tumbuh?
Ruang dan waktu. Misal, ketika anak bilang "tidak" atau tampak tak mau mendengar nasihat/ pesan orangtua, kira-kira apa yg biasanya orangtua lakukan?
Mungkin memarahinya, menegur, sambil mengeluarkan kalimat template "kalau orangtua lagi ngomong tuh dengerin!" dst.
Ego dilawan dengan ego. Padahal anak yang selalu bilang "iya" dan tampak menurut di depan orangtua, bukan berarti tak pernah melanggar aturan ketika orang tua tak ada loh.
Ketika ego yang sedang tumbuh itu ditekan, dia tetap akan tumbuh di "tempat lain" yang justru kita tidak ketahui bagaimana tumbuhnya.
Lalu biarin aja anak melawan orangtua? Oh tentu tidak, anak sering melawan umumnya karena 2 hal. Dia meniru (pola asuh otoriter) atau sebagai akibat dari pembiaran (pola asuh permisif).
Contoh sederhana saja pernahkah kamu menolak saran seseorang?
Nah, bayangkan jika ketika kita menolak, orang tersebut memaksa bahkan marah pada kita karena menolak sarannya? Apa perasaan kita (ketika egonya sedang tinggi)? Makin nurut atau makin menolak dan melawan? Umumnya akan makin menolak sambil misuh-misuh "Siapa lo ngatur-ngatur gw?!" hehe.
Tapi bayangkan jika sebaliknya ketika kita menolak, orang tersebut memberi ruang. "Kayaknya kamu butuh waktu untuk tenang dulu nanti coba pikirkan lagi setelah tenang ya". Sambil peluk atau tersenyum hangat.
Kata-kata ini pasti nempel banget karena kita merasa dimengerti perasaannya. Terus jadi kepikiran lagi pas udah tenang.. "iya juga ya, kayaknya tadi ucapan A bener juga.." atau bisa juga tidak menyetujui, tapi yang pasti hal tersebut dipertimbangkan dengan cara berpikir bukan ketika emosi.
Masih perlu contoh percakapannya ngga?
Jadi, pada anak-anak yang egonya memang sedang tinggi, menolak saran/nasihat orgtua itu wajar-wajar saja kok. Mereka bukan menolak kita, tapi mereka hanya sedang bingung dengan dirinya sendiri. Bingung dengan perasaannya yang mungkin tidak nyaman, bingung dengan keinginannya sendiri yang kadang belum mereka pahami juga, bingung dengan pikirannya sendiri yang belum mampu menimbang suatu hal dengan baik.
Kalau dibiarkan engan pemikirannya sendiri apa ngga jadi permisif?
Ya jangan dibiarin terus, permisif itu gini : "Ya udahlah, terserah dia mau ngapain kan dia yang jalanin". Padahal anak belum mampu memahami sesuatu dengan bijak. Jadi kalau ditolak memang ngga perlu dipaksa-paksa tapi coba lagi nanti ketika relax. Masih ditolak juga? Coba lagi diobrolin sambil makan snack kesukaannya, bisa juga sambil nonton film yang insightnya sejalan dengan pesan kita, atau sambil sharing berita terkini, dan lainnya. Intinya memang ngga ada yang instan dalam pengasuhan.
Fokus saja membangun trust dan sering-sering ngobrol tentang banyak hal dimulai dari hal-hal remeh dan menyenangkan. Jika trust sudah terbangun dan komunikasi cukup berjalan 2 arah, insyaAllah tanpa ditanya-tanya pun ketika ia butuh bantuan atau ingin mempertanyakan sesuatu kelak kita akan jadi tempat pertamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H