Menumbuhkan literasi finansial pada anak bukan hanya dengan mengajarkan menabung untuk membeli keinginan mereka tapi ada pondasi yang tidak boleh dilewatkan. Â Membantu anak membedakan kebutuhan dan keinginan serta menunda/menahan keinginan.
Siapa sih yang ngga mau menabung kalau ada uangnya? Kan enak kalau nabung sedikit demi sedikit lama-lama bisa jadi bukitTapi untuk jadi bukit tuh lama prosesnya.
Jadi, daripada nunggu lama untuk mendapat "kesenangan" tersebut, mending yang cepat-cepat aja. Lumayan lah asal bisa ngopi-ngopi tiap hari atau healing tipis-tipis tiap weekend daripada buat nabung liburan atau beli gadget terbaru. Kelamaan. Ntar liburan atau beli HP bisa pakai CC atau pinjol
Kira-kira begitu ilustrasi kenapa sebagian orang "susah" menabung. Bukan hanya karena tidak diajarkan menabung, tapi berkaitan dengan "jebakan" instant gratification.
Terlebih, rasanya nabung saat kecil dan pas udah gede dengan penghasilan sendiri tuh beda rasanya. Pas kecil kan uangnya dari orang tua, apalagi kalua udah dijatahin "ini buat nabung ya". Ya ngga susah lah, tinggal terima uang dari orang tua, terus celengin di celengan atau bank. Intinya tidak ada uang milik kita yang "berkurang".
Tapi ketika sudah punya penghasilan sendiri, berarti nabungnya ya dari kantong kita. Sehingga tidak lagi semudah menjalankan kebiasaan menabung, tapi ada emosi lebih yang terlibat dan persepsi tentang uang itu sendiri. Dan fondasinya adalah :
- Kemampuan membedakan kebutuhan dan keinginan
- Kemampuan menunda/menahan keinginan
Sayangnya fondasi ini tidak dapat diajarkan di sekolah ataupun tempat lain, karena berkaitan dengan persepsi dan emosi yang terbangun sejak dini. Dari mana fondasi tersebut terbangun? Sama halnya relasi dengan orangtua, orang lain, uang dan benda lainnya juga dibangun di rumah sering kita dengar bahwa "kekayaan dan kemiskinan itu diturunkan" dan bukan hanya materinya yang diwariskan.
Pernah bertanya-tanya kenapa Miliarder "lama" biasanya tidak melakukan flexing seperti Miliarder "baru"? karna meski uangnya sama banyak, tapi mindset dan konsep dirinya berbeda.
"Orang yang menunjukkan perilaku flexing di media sosial disampaikan Lu'luatul Chizanah (Dosen UGM) mengindikasikan self esteem atau harga diri yang lemah. Tanpa disadari orang yang kerap melakukan flexing sebenarnya tidak mempunyai kepercayaan terhadap nilai dirinya. Flexing dilakukan sebagai upaya untuk menutupi kekurangan harga diri dengan membuat orang lain terkesan." (sumber: ugm.ac.id)