Ketika ada berita tentang orangtua yang menegur guru karena tidak terima anaknya ditegur. saya jadi ingat cerita seseorang: "Dulu pernah ada tukang bangunan yang menegurku ketika berbuat salah, sejak saat itu aku tidak melakukan kesalahan itu lagi."
Ya, anak-anak kita kelak tidak hanya dididik oleh kita "orangtuanya", mereka akan dididik oleh banyak pengalaman dan banyak orang bahkan dari orang yang tidak dikenal dan tidak memiliki otoritas terhadap anak kita.
Asalkan mereka siap "dididik".
Siap dididik berarti mau dan mampu mendengarkan, memiliki kemampuan mengobservasi dan merefleksikannya, serta cukup mengenali diri sendiri.
Dari mana anak belajar hal tersebut pertama kali? Dari respon orangtua.
Mereka belajar mendengarkan ketika merasa didengarkan.
Mereka belajar mengobservasi ketika diberi ruang mengobservasi.
Mereka belajar merefleksikan ketika terbiasa melihat dan mendengarkan proses refleksi.
Mereka belajar mengenali diri ketika merasa dikenali.
Pernah mendengar seorang Psikolog merespon keluhan kliennya?
Apakah ia akan menyudutkan dan menggurui kliennya? Tentu tidak, tapi juga tidak membela dan buru-buru menenangkan/menyenangkan kliennya.
Ya. Respon yang netral juga lebih dibutuhkan anak daripada kita selalu berusaha menyenangkan hatinya, membelanya, atau malah mendukungnya ketika anak berbuat yang kurang baik.
Ketika orangtua menanggapi dengan netral, anak pun belajar untuk berpikir dari sudut pandang lain. Dari yang tadinya masih berpusat hanya pada dirinya masih sering mengeneralisir "Temanku ngga baik", "Sekolahnya ngga seru", "Bu Guru galak", dna lainnya. Pelan-pelan berkembang untuk memperluas perspektifnya. "Oh, aku kurang nyaman kal0 main bola sama Si A tapi kalo ngobrol, dia seru lho"
"Pelajaran X memang belum aku kuasai, tapi masih banyak hal lain yang menyenangkan di sekolah. Dan aku bisa berlatih untuk menguasai Pelajaran X", "Ternyata tadi Bu Guru hanya menegur karna aku melakukan kesalahan. Aku akan berusaha untuk tidak mengulanginya"
Respon "buntu" seperti "Sabar ya", "Udah, jangan dipikirin", "Gpp kok" tidak akan otomatis mengubah pemikiran dan perasaannya. Dan memang orangtua sekalipun tidak dapat mengatur apa yang dipikirkan dan dirasakan anak. Tapi, kita dapat membantu menggalinya dari hasil pemikirannya sendiri.
Menggali sudut pandang anak dapat membantu mereka mengenali perasaan dan pemikirannya sekaligus meningkatkan kemampuan observasi mereka. Tentu dilakukan setelah emosinya reda.
"Kesal ya tadi main sm A?" "Dia melakukan apa?" "Kira-kira kenapa dia melakukan itu?" "Selain main bola, kalian biasanya melakukan apa?" "Hal apa yang kamu sukai dari A?" "Oh, ternyata dia menyenangkan ya kslo ngobrol" "Gpp, kita boleh kok memilih kegiatan yang nyaman dilakukan bersama teman"
Seseorang yang terbiasa mengobservasi dan merefleksikan, insyaAllah juga memiliki pengendalian emosi yang lebih baik dan mempunyai referensi yang lebih banyak untuk membantunya memahami suatu permasalahan.
Yuk, berlatih merespon dengan netral.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H