Mohon tunggu...
Tentang Kita dan Anak
Tentang Kita dan Anak Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan Karakter Anak

Talk about #parenting #charactereducation #fitrahbasededucation #techeducation #techenthusiast Pemuda Berdampak 2022 | Peringkat II KTI tentang Pendidikan Karakter Anak | Fasilitator Dampak Sosial Indonesia 2022 | Pegiat Pendidikan Karakter Anak | Awardee Beasiswa Zillenial Teacher 2022 | Awardee Beasiswa IMN 2023 | Awardee Beasiswa kitabisa.com 2023 | Awardee Beasiswa Wardah Inspiring Teacher 2023 | Sustainability Enthusiast | Tech Ethusiast | President of @sekolahinspirasi.id | ICT Teacher of @sekolahglobalmandirijakarta | Character Education Activist of @sekolahguruindonesia

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Kebiasaan Apa yang Membedakan Antara Rich Mindset dan Poor Mindset?

25 Desember 2023   06:17 Diperbarui: 25 Desember 2023   06:57 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mudah Bersyukur VS Mudah Mengeluh

Pertanyaannya, Ya gimana mau bersyukur, hidup aja serba susah. Tentu bukan kesusahan yang disyukuri tapi seorang yang mudah bersyukur adalah seorang yang mampu melihat sekecil apapun dan bukan fokus pada kegelapan.

Kalau mindset berkecukupan tidak ditentukan dari jumlah kekayaan yang kita punya, lalu kebiasaan apa yang bisa kita lakukan untuk membangun mindset berkecukupan pada anak?

Mudah bersyukur

Rich mindset itu tidak mudah mengeluh.

Kalau contohnya dalam usaha, biasanya yang membedakan rich mindset dengan poor mindset adalah sekalipun menemui kegagalan, rich mindset akan mengambil pelajaran dari kegagalan tersebut dan berusaha memperbaikinya. Sedangkan poor mindset akan sibuk mengeluh dan tak mau lagi berusaha. "Ya iyalah, ngga mengeluh modalnya masih banyak"

Hmm, kalua kita ngga bisa menyamai "modal uang"nya, masa ngga mau mengusahakan "modal bersyukur"nya dulu? Bukankah Allah menjanjikan akan menambah nikmat jika kita bersyukur? "Tapi, bukannya itu toxic positivity ya?"

Toxic positivity terjadi jika kita lompat ke afirmasi positif dengan mengabaikan perasaan yang sebenarnya dan tidak menggali makna dibalik hal yang terjadi.

Pernah mendengar proses healing dengan mensyukuri hal-hal kecil setiap harinya? Seseorang yang kesulitan mensyukuri hal-hal kecil umumnya hanya bisa memaknai kesuksesan-kesuksesan besar untuk disyukuri, padahal kita tidak selalu bisa mencapai kesuksesan-kesuksesan besar. Sehingga pada jangka panjang akan menimbulkan kecemasan "aku ngga pernah berhasil", "aku ngga bisa", "aku ngga berharga", dan sebagainya.

Dari mana hal tersebut terbentuk?

Anak-anak akan menyerap energi dan meniru bagaimana kita mensyukuri hal-hal sederhana di sekeliling kita.

"Alhamdulillah ya Nak kita sudah sampai di rumah"

"Alhamdulillah ya hari ini kita bisa melakukan A, B, C"

"Kamu senang hari ini? Alhamdulillah ya Allah"

"Terima kasih Nak sudah mau berusaha. Alhamdulillah ya, Allah memberi kemampuan untuk kamu bisa melakukan A, B, C"

Dokpri
Dokpri

Bahkan dari bahasa tubuh kita pun anak bisa membaca, ketika kita mengerjakan sesuatu dengan enjoy atau mengeluh misuh-misuh.

Tapi mensyukuri ini harus sesuai dengan perasaannya ya. Kalau lagi sedih ya jangan diajak bersyukur

Misal anak bilang "kok kita ngga punya A kayak temanku" Ya jangan diceramahin ruste disuruh bersyukur. Cukup diterima saja perasaannya terlebih dahulu. Jika sudah relax, bisa berdialog untuk memperluas pandangannya tentang hal tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun