Trauma saat masih kecil, mengapa hal ini bisa terjadi? Karena ketika kecil, seseorang tidak mengetahui cara-cara untuk menghadapi masalahnya. Sehingga ketika mereka tidak memiliki satu pun orang dewasa yang mendampinginya menghadapi masalah, ia pun merasa tidak aman dan "kewalahan" dengan perasaannya.Â
Kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi memang bisa menimbulkan luka batin dan pada anak-anak, kebutuhan emosionalnya tentu lebih banyak yang belum bisa dipenuhi sendiri. Pemahaman kita tentang anak-anak seringkali terbalik. Ketika anak-anak belum bisa berpikir dengan baik, dibilang "gimana sih, harusnya kan udah ngerti". Tapi ketika mereka menunjukkan perasaannya, seringkali tidak dianggap serius. "gitu aja nangis" "anak-anak sih bentar juga lupa, biarin aja kalo nangis". Padahal perasaan mereka lah yang lebih dulu berkembang, jadi seharusnya perasaannya lah yang dianggap serius, bukan otak berpikirnya yang dituntut "serius".
Nah, anak-anak yang merasa "sendiri" menghadapi emosinya atau punya ketakutan bercerita dengan leluasa karena respon orangtua, akan berisiko menimbulkan luka batin ketika menghadapi masalah yang mereka anggap "besar". Memang belum tentu benar masalah "besar", tapi yang pasti perasaan itu tidak pernah salah.. Perasaan itu subjektif, jadi apa perasaan kita ketika diremehkan perasaannya?
Ketika menghadapi masalah, orang dewasa tentu memiliki lebih banyak opsi untuk menghadapinya dibanding anak-anak. Kalau merasa kaget ketika ada suara yang menggelegar, kita bisa "menganalisa". "Oh, cuma suara knalpot" atau kalaupun berpotensi membahayakan kita juga punya alternatif gimana seharusnya merespon. Tapi anak-anak yang kaget "cuma" karena suara balon pecah, ya butuh bantuan kita untuk meregulasi perasaan kagetnya dan menjelaskan tentang sumber suara tersebut.
Kalau merasa cemas ketika masuk kantor di hari pertama, bisa meyakinkan diri "tenang, kamu bisa kok. Ini kan baru hari pertama", bisa berdoa supaya lebih relax, bisa belajar ini itu supaya lebih siap, atau bisa menenangkan diri sejenak sambil minum teh atau ngobrol sama teman. Tapi anak-anak yang cemas "cuma" gara-gara masuk sekolah baru ya butuh kita untuk meregulasi kecemasannya dan membantunya agar nyaman.
Merasa marah ketika seseorang bersikap kurang baik, kita bisa memutuskan mengambil jeda supaya lebih tenang, bisa mengkomunikasikannya "aku ngga suka lho tadi, kamu bersikap seperti itu", bisa menganalisa "oh tadi dia melakukan A karena...", bisa membuat batasan "sikap dia ngga mempengaruhi aku kok.. Tapi kalau dia gitu lagi, ya nanti aku tegur". Tapi anak-anak yang marah "cuma" karena mainannya dipinjam tanpa izin ya butuh kita untuk meregulasi. kemarahannya dan mencontohkan bagaimana merespon hal tsb.
Kalau merasa takut ditinggalkan orang yang dicintai, kita bisa berdoa supaya lebih tenang, kita bisa ngobrol dengan orang tersebut supaya terbangun trust, kita bisa belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi supaya orang juga nyaman dengan kita, dll. Tapi anak-anak yang takut ditinggalkan atau takut melihat kemarahan orangtuanya ya butuh kita untuk meregulasi ketakutannya dan membangun trust.
Jadi salah banget kalo masih bilang "biarin aja, biar ngga manja" atau "anak harus dikerasin biar kuat". Yakin kuat? Kalau marah-marah ketika ada masalah, kabur ketika ada konflik, cemas ketika menemukan kesulitan dan selalu "meledak" ketika ada trigger. Apakah itu yang dikatakan kuat/tangguh? Anak-anak kita mempelajari cara menghadapi masalah, konflik, kesulitan, tantangan terutama dari orangtuanya.
Kalau ingin anak-anak kita menjadi anak yang tangguh, jangan pernah biarkan mereka merasa "sendiri". Maka semarah apapun orangtua, pesan yang sampai harus jelas. "Yang kita tolak adalah perilakunya, bukan dirinya".
"Safety is not the absence of threat, it is the presence of connection" Dr. Gabor Mate