Mohon tunggu...
Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf Mohon Tunggu... Mahasiswa - Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Dan sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penikmat Kajian keislaman dan filsafat.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Becoming

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Emansipasi Perempuan Modern

1 Februari 2022   00:34 Diperbarui: 1 Februari 2022   00:36 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi saya, sederhananya, perempuan membutuhkan tiga hal untuk dapat meraih perjuangannya.

Pertama, jaminan negara agar perempuan dapat keluar dari mitos-mitos yang memenjarakannya. Negara membantu perjuangan perempuan dengan melahirkan sistem dan regulasi yang melindungi perempuan. Regulasi yang menjamin perempuan terfasilitasi saat bekerja di sektor publik, yang juga menjamin perempuan dapat sejajar dengan laki-laki dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan mendapat penghidupan yang layak. Tentunya, negara juga harus menjamin regulasi tersebut dipraktikkan oleh seluruh stakeholders di pelosok Indonesia. Termasuk juga menjamin bahwa ada lembaga independen yang mengontrol implementasi dari regulasi tersebut.

Kedua, peran yang dapat diambil untuk membantu perjuangan perempuan adalah menghargai pekerjaan mereka, baik pekerjaan domestik maupun publik. Seringkali perempuan tidak mendapat penghargaan saat memasak, mencuci baju, mengurus anak, dan melakukan pekerjaan lainnya, karena pekerjaan seperti itu dianggap kodrat dan kewajiban. Sedangkan perempuan yang melakukan kerja di sektor publik, dianggap sekedar membantu suaminya memenuhi kebutuhan keluarga.

Bukan dianggap sebagai sikap mandiri perempuan untuk meraih apa yang dicita-citakannya. Di titik inilah, apresiasi orang-orang sekitar dibutuhkan untuk menyulut semangat perempuan terus berinovasi, baik di sektor domestik maupun di sektor publik.

Ketiga, peran pembedayaan keluarga adalah satu hal penting yang membantu perempuan mengukuhkan eksistensinya sebagai warga kelas satu. Dalam keluarga yang dimaksut, tugas rumah tangga tidak lagi dimaknai secara penuh sebagai beban kerja ibu, namun beban kerja seluruh keluarga. Label pekerjaan rumah tangga adalah milik perempuan adalah mitos yang seratus persen keliru. Kenyataannya, ayah yang baik dan berdaya dituntut untuk bisa melakukan tugas rumah tangga seperti mengurus anak, mendampingi belajar, bahkan mencuci dan memasak.

Anak harus (wajib) paham bahwa Ibunya bukanlah orang yang 24 jam berada dirumah. Artinya, kemandirian anak untuk mengurus diri sendiri diperlukan ketika Ibu sibuk dengan kerjanya di sektor publik. Kunci dari pemberdayaan keluarga sebenarnya sangat sederhana. Pertama, masing-masing anggota keluarga paham tugasnya. Kedua, komunikasi antar anggota keluarga agar tidak ada kesalahpahaman dan kekosongan power dalam keluarga.

Tak kalah pentingnya, perempuan sendiri tidak boleh kendor dengan perjuangannya untuk mengukuhkan diri sebagai warga kelas satu, sejajar dengan laki-laki. Perempuan harus mampu menunjukkan kapasitas dan kemampuannya untuk berprestasi, bersaing dengan laki-laki secara sehat. Pendek kata, jangan hanya mengandalkan belas kasihan untuk mendapat posisi sebagai warga kelas pertama.

Syahdan, pengakuan emansipasi perempuan sebagai sebuah norma dan prinsip formal Indonesia modern, ternyata memunculkan sejumlah dilema baru. Konstruksi perempuan modern yang mampu berkiprah di wilayah publik, hadir secara bersamaan dengan konstruksi perempuan lama sebagai aktor kunci di wilayah domestik. 

Alih-alih memposisikan perempuan secara setara dengan counterpart laki-lakinya, perempuan justru menanggung beban tanggung jawab ganda di wilayah publik, dan wilayah domestik. Ini menjadi sebuah dilema tersendiri yang menjadi tantangan bagi upaya mewujudkan kesetaraan gender dan emansipasi perempuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun