Tahapan pertama, (1970 M.-1980 M.), merupakan masa pengkajian dan peletakan dasar awal metodologi pemahaman terhadap al-dhikr, al-risalah dan al-nubuwwah serta beberapa kata kunci lain dalam al-Qur'an. Dalam kurun waktu 10 tahun tersebut, Shahrur mendapati beberapa hal yang selama ini dia anggap sebagai dasar Islam, namun ternyata bukan, karena ia tidak mampu menampilkan pandangan Islam yang murni dalam menghadapi tantangan abad 20.Â
Menurutnya, hal itu dikarenakan dua hal: Pertama, pengetahuan tentang akidah Islam yang diajarkan di madrasah-madrasah beraliran Mu'tazilah atau Asy'ari. Kedua, pengetahuan tentang fiqh yang diajarkan di madrasah-madrasah beraliran Maliki, Hanafi, Syafi'i, Hanbali, ataupun Ja'fari. Menurut Shahrur, apabila penelitian ilmiah dan modern masih terkungkung oleh kedua hal tersebut, maka studi Islam berada pada titik yang rawan.
Tahap kedua terhitung mulai 1980-1986 M. Pada fase ini, Shahrur belajar banyak pada Ja’far Dik al-Bab tentang linguistik termasuk filologi, serta mulai mengenal pandangan-pandangan al-Farra', Abu Ali al-Farisi serta muridnya, Ibn Jinni, dan al-Jurjani. Sejak itu, Shahrur berpendapat bahwa sebuah kata memiliki satu makna, dan bahasa Arab merupakan bahasa yang didalamnya tidak terdapat sinonim. Selain itu, antara nahwu dan balaghah tidak dapat dipisahkan, sehingga menurutnya, selama ini ada kesalahan dalam bahasa Arab diberbagai madrasah dan Universitas.
Sedangkan tahap ketiga mulai 1986-1990 M. dalam tahap ini, Shahrur mulai intensif menyusun pemikirannya dalam topik-topik tertentu. 1986-an akhir dan 1987 M., ia menyelesaikan bab pertama dari al-Kitab wa al-Qur'an, yang merupakan masalah-masalah sulit. Bab-bab selanjutnya diselesaikan sampai 1990 M.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H