Melihat dampak dari kebijakan hubungan luar negeri Amerika Serikat sejak dua dekade terakir untuk mengintervensi negara-negara di timur tengah, maka kita bisa mengatakan bahwa intervensi tersebut tidaklah membawa perbaikan yang signifikan bagi negara-negara timur tengah bahkan bagi tentara dan warga Amerika Serikat sendiri. Amerika Serikat mungkin punya pembenaran untuk melakukan kebijakan prefentif untuk menyeran musuh-musuhnya dan menegakkan demokrasi.Â
Namun, Amerika Serikat, setidaknya untuk dua dekade ini menunjukkan ketidakmampuannya untuk merawat kebijakannya tersebut. Misalnya di Iraq, Afghanistan dan Yaman.Â
Jatuhnya rezim Saddam Hussein yang tanpa bukti dituduh memiliki senjata pemusnah massal secara simbolis menunjukkan kemenangan Amerika Serikat disana. Tetapi, Jatuhnya Saddam Hussein tidak otomatis membuat Iraq menjadi lebih baik. Intervensi ini membangkitkan gerakan-gerakan militan dan terorisme yang sebelumnya bahkan tidak ada dan/atau pengaruhnya tidak begitu signifikan pada masa rezim Saddam Hussein.Â
Kelompok militan Tentara Islam di Irak (al jaysh al islmi f'l-`irq) hingga sampai yang paling merusak pada dekade lalu yaitu Negara Islam di Iraq dan Suriah (al-Dawlah al- Islamyah f l-Irq wa-sh-Shm). Pula yang terjadi di Afghanistan, perang selama 20 tahun dengan biaya jutaan dollar dan nyawa ribuan tentara yang gugur untuk menumbangkan Taliban hanya menghasilkan kembalinya rezim Taliban kembali memerintah Afghanistan.Â
Sementara untuk konflik Yaman, Amerikat Serikat mungkin tidak terlibat langsung dalam peperangan disana. Namun dengan Amerika Serikat sebagai penyumbang utama dana untuk Arab Saudi menunjukkan bahwa Amerika Serikat turut berperan dalam melanggengkan krisis kemanusiaan di Yaman.Â
Peperangan yang diakibatkan oleh kebijakan neokonservatis Amerika Serikat menimbulkan masalah-masalah baru seperti krisis Ekonomi dan krisis pengungsi yang mengguncang Eropa. Bagaimana Amerika Serikat bisa menghasilkan masalah-masalah ini dan seberapa besar dampak buruk yang telah terjadi akibat kebijakan Amerika Serikat ini ?
Melihat dari asumsi dasar yang dipegang oleh para penganut neokonservatisme yang memimpin pada masa George W. Bush (Bush Junior), kita simpulkan bahwa mereka melihat keamanan negara adalah hal yang paling utama, dan untuk mencapai hal itu, musuh-musuh yang mengancam negara haruslah ditumpas habis sebelum mereka menyerang negara, bahkan jika musuh tersebut berada disebrang lautan.Â
Amerika Serikat pun memiliki tanggung jawab moral sebagai negara terbesar dan terkuat sebagai penganut demokrasi untuk menyebarkan paham demokrasinya ini. Mereka melihat demokrasi adalah "obat segala penyakit" bagi negara-negara berkonflik.Â
Contoh paling sukses dari demokrasi adalah Uni Eropa yang dahulunya adalah negara yang saling berperang satu sama lain pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II namun sekarang dapat saling berkerjasama diberbagai sektor untuk mencapai kesejahteraan bersama.Â
Bahkan apabila ada permasalahan antar negara Uni Eropa, peperangan adalah solusi paling terakhir dan tidak pernah dipakai sama sekali oleh para anggota Uni Eropa. Dengan kata lain, Penganut Demokrasi tidak akan berperang satu sama lain. Hal inilah yang dilihat oleh kaum Neokonservatisme sebagai solusi bagi negara-negara yang berkonflik sehingga harus diintervensi.Â
Salah satu contoh dari intervensi tersebut yang paling mencontohkan adalah saat Amerika Serikat membatu mujahidin Afghanistan untuk melawan invasi Uni Soviet. Kemudian Amerika Serikat mendukung Aliansi Utara Afghanistan untuk menumbagkan rezim Taliban pada tahun 2001 dan menggantinya dengan pemerintahan yang demokratis.
Walaupun terkesan rasional, namun dalam prakteknya kebijakan yang dibuat oleh Amerika Serikat malah menjadi tidak rasional. Bagaimana tidak ?Â
Dalam Perang Irak misalnya, Amerika Serikat tidak ada alasan yang kuat bahkan dukungan dari dunia internasioanl untuk menginvasi Irak. Terbukti pula bahwa Saddam Hussein tidak memiliki senjata pemusnah massal seperti ketakutan yang dipropagandakan oleh George W. Bush (Bush Junior) dan para penganut neokonservatisme.Â
Dampak dari ketakutan tidak berdasar tersebut akhirnya malah membawa efek domino yang memperparah instabilitas di kawasan timur tengah. Terbukti dengan kemunculan-kemunculan kelompok militan dan teroris yang melihat Amerika Serikat sebagai musuh yang harus diusir. Contoh pertempuran yang terjadi setelah kejatuhan Saddam Hussein adalah Pertempuran Fallujah I dan Pertempuran Fallujah II antara kelompok mujahidin lokal dengan Amerika Serikat dan tentara bayaran Black Water. Tidak hanya berhenti disitu.Â
Kemunculan Kelompok militan Tentara Islam di Irak (al jaysh al islmi f'l-`irq) hingga sampai yang paling besar dan merusak hingga kewilayah Suriah pada dekade lalu yaitu Negara Islam di Iraq dan Suriah (al-Dawlah al-Islamyah f l-Irq wa-sh-Shm) beserta kelompok-kelompok teroris yang saling berperang satu sama lain.
Contoh lain yang dapat diambil adalah Afghanistan. Sejak invasi Uni Soviet ke Afghanistan, Amerika Serikat telah mengintervensi untuk memerangi pengaruh dari Komunisme Uni Sovet di Afghanistan. Hal tersebut diikuti pula dengan memasok senjata dan melatih para mujahidin Afghanistan untuk melawan Uni Soviet.Â
Namun, Setelah terusirnya Uni-Soviet, kelompok mujahidin ini malah berperang satu sama lain memperebutkan kekuasaan hingga akhirnya Taliban menguasai Kabul pada tahun 1996 dan membunuh dan menggantung Presiden Najibullah. Amerika Serikat mencoba untuk memperbaiki kesalahan tersebut dengan mendukung Aliansi Utara untuk menumbangkan Taliban.Â
Peperangan terus berlangsung dan krisis berjalan bersamaan hingga akhirnya pada 11 September 2001 Amerika Serikat menjalankan kebijakan War On Terror untuk benar-benar menghabisi musuh-musuh yang terlibar dalan serangan 9/11, termasuk Taliban yang dianggap memiliki hubungan dengan Al-Qaeda.Â
Hingga akhirnya Taliban jatuh dan diganti dengan bentuk negara yang demokratis. Namun sangat disayangkan kemenangan tersebut tidak diikuti dengan dukungan dari masyarakat yang masih loyal terhadap Taliban. 20 tahun berlalu, jutaan dollar dan ribuan tentara terbunuh dalam perang tidak bisa menumpas Taliban dan masyarakat yang mendukungnya. Taliban terus menguasai daerah-daerah di Afganistan sementara Amerika Serikat pun terkesan tidak bertanggung jawab dengan meninggalkan Afghanistan dalam kondisi militer yang tidak siap.Â
Sehingga pada 15 Agustus 2021, Taliban berhasil merebut kembali Kabul setelah 20 tahun lamanya. Militer Amerika Serikat dan Tentara Nasional Afghanistan meninggalkan kendaraan dan senjata-senjata mutakhir yang dikuasai oleh Taliban, Membuat mereka menjadi kelompok militan terkuat didunia. Kemenangan Taliban pula mengakibatkan gelombang pengungsi yang ingin keluar dari Afghanistan karena ketakutan kepada rezim Taliban.
Masalah terbesar yang diakibatkan oleh pendekatan militer baik dalam bentuk langsung maupun dukungan tidak langsung kepada rezim yang dibela Amerika Serikat adalah krisis pengungsi dan krisis ekonomi. Berdasarkan data yang dihimpun dari Pew Research Center, pengungsi-pengungsi dari timur tengah telah mencapai jumlah 54 juta jiwa pada tahun 2016, dua kali lipat dari jumlah pada tahun 2005 dan terus bertambah.Â
Para korban perang ini memiliki banyak kebutuhan yang harus dipenuhi seperti tempat tinggal, makanan dan minuman, kesehatan, pendidikan, dan lain lain yang tentunya membutuhkan dana yang sangat besar. Terlebih, para pengungsi tidak dapat mencari pekerjaan di negara asalnya akibat konflik yang masih berlanjut dan juga dinegara suaka akibat dari surat-surat dan perizinan yang membatasi.
Kebijakan yang dibuat oleh Amerika Serikat telah memberikan efek domino yang merugikan khususnya bagi negara-negara Eropa dan Amerika Serikat itu sendiri.Â
Para neokonservatis pembuat kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam menegakkan demokrasi ke negara-negara berkonflik selama dua dekade ini menunjukkan sifat ketidaksabaran dan cendrung terlalu berfokus kepada pendekatan militer dan melanggengkan perang.Â
Bentuk intervensi langsung seperti di Iraq dan Afghanistan menimbulkan masalah baru seperti fenomena "mati satu, tumbuh seribu" kelompok militan dan terorisme yang silih berganti setelah kejatuhan Saddam Hussein dan kembalinya Taliban kekancah pemerintahan dengan kekuatan militer berkali-kali lipat dibanding saat pertama kali Amerika Serikat Menumbangkan mereka Pada 2001 lalu.Â
Keterlibatan Amerika Serikat dalam mendanai Arab Saudi dalam berperang melawan Militan Houthi Yaman dibanding menggunakan kebijakan non-militeristik menghasilkan konflik berkepanjangan dan menunjukkan tidak ada itikad dari para pembuat kebijakan untuk menciptakan kedamaian dan perbaikan di negara konflik. Kebijakan ini selain merugikan negara yang berkonflik juga merugikan negara-negara Eropa yang dibanjiri oleh pengungsi-pengungsi dari negaranya.Â
Selain dari banjirnya para pengungsi yang memberi dampak kepada masalah ekonomi, pula krisis ini meningkatkan sentimen-sentimen rasisme dan membangkitkan gerakan-gerakan sayap kanan, baik dalam bentuk kelompok politis maupun kelompok ekstrimis untuk naik kepermukaan.Â
Di Amerika Serikat sendiri, Warga dan kalangan militer baik dari tentara aktif dan veteran menganggap kebijakan-kebijakan intervensi ini seharusnya tidak dilakukan. Kebijakan ini pula dilihat sebagai kebijakan yang menghambur- hamburkan uang yang seharusnya bisa dinikmati untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat Amerika Serikat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H