Walaupun terkesan rasional, namun dalam prakteknya kebijakan yang dibuat oleh Amerika Serikat malah menjadi tidak rasional. Bagaimana tidak ?Â
Dalam Perang Irak misalnya, Amerika Serikat tidak ada alasan yang kuat bahkan dukungan dari dunia internasioanl untuk menginvasi Irak. Terbukti pula bahwa Saddam Hussein tidak memiliki senjata pemusnah massal seperti ketakutan yang dipropagandakan oleh George W. Bush (Bush Junior) dan para penganut neokonservatisme.Â
Dampak dari ketakutan tidak berdasar tersebut akhirnya malah membawa efek domino yang memperparah instabilitas di kawasan timur tengah. Terbukti dengan kemunculan-kemunculan kelompok militan dan teroris yang melihat Amerika Serikat sebagai musuh yang harus diusir. Contoh pertempuran yang terjadi setelah kejatuhan Saddam Hussein adalah Pertempuran Fallujah I dan Pertempuran Fallujah II antara kelompok mujahidin lokal dengan Amerika Serikat dan tentara bayaran Black Water. Tidak hanya berhenti disitu.Â
Kemunculan Kelompok militan Tentara Islam di Irak (al jaysh al islmi f'l-`irq) hingga sampai yang paling besar dan merusak hingga kewilayah Suriah pada dekade lalu yaitu Negara Islam di Iraq dan Suriah (al-Dawlah al-Islamyah f l-Irq wa-sh-Shm) beserta kelompok-kelompok teroris yang saling berperang satu sama lain.
Contoh lain yang dapat diambil adalah Afghanistan. Sejak invasi Uni Soviet ke Afghanistan, Amerika Serikat telah mengintervensi untuk memerangi pengaruh dari Komunisme Uni Sovet di Afghanistan. Hal tersebut diikuti pula dengan memasok senjata dan melatih para mujahidin Afghanistan untuk melawan Uni Soviet.Â
Namun, Setelah terusirnya Uni-Soviet, kelompok mujahidin ini malah berperang satu sama lain memperebutkan kekuasaan hingga akhirnya Taliban menguasai Kabul pada tahun 1996 dan membunuh dan menggantung Presiden Najibullah. Amerika Serikat mencoba untuk memperbaiki kesalahan tersebut dengan mendukung Aliansi Utara untuk menumbangkan Taliban.Â
Peperangan terus berlangsung dan krisis berjalan bersamaan hingga akhirnya pada 11 September 2001 Amerika Serikat menjalankan kebijakan War On Terror untuk benar-benar menghabisi musuh-musuh yang terlibar dalan serangan 9/11, termasuk Taliban yang dianggap memiliki hubungan dengan Al-Qaeda.Â
Hingga akhirnya Taliban jatuh dan diganti dengan bentuk negara yang demokratis. Namun sangat disayangkan kemenangan tersebut tidak diikuti dengan dukungan dari masyarakat yang masih loyal terhadap Taliban. 20 tahun berlalu, jutaan dollar dan ribuan tentara terbunuh dalam perang tidak bisa menumpas Taliban dan masyarakat yang mendukungnya. Taliban terus menguasai daerah-daerah di Afganistan sementara Amerika Serikat pun terkesan tidak bertanggung jawab dengan meninggalkan Afghanistan dalam kondisi militer yang tidak siap.Â
Sehingga pada 15 Agustus 2021, Taliban berhasil merebut kembali Kabul setelah 20 tahun lamanya. Militer Amerika Serikat dan Tentara Nasional Afghanistan meninggalkan kendaraan dan senjata-senjata mutakhir yang dikuasai oleh Taliban, Membuat mereka menjadi kelompok militan terkuat didunia. Kemenangan Taliban pula mengakibatkan gelombang pengungsi yang ingin keluar dari Afghanistan karena ketakutan kepada rezim Taliban.
Masalah terbesar yang diakibatkan oleh pendekatan militer baik dalam bentuk langsung maupun dukungan tidak langsung kepada rezim yang dibela Amerika Serikat adalah krisis pengungsi dan krisis ekonomi. Berdasarkan data yang dihimpun dari Pew Research Center, pengungsi-pengungsi dari timur tengah telah mencapai jumlah 54 juta jiwa pada tahun 2016, dua kali lipat dari jumlah pada tahun 2005 dan terus bertambah.Â
Para korban perang ini memiliki banyak kebutuhan yang harus dipenuhi seperti tempat tinggal, makanan dan minuman, kesehatan, pendidikan, dan lain lain yang tentunya membutuhkan dana yang sangat besar. Terlebih, para pengungsi tidak dapat mencari pekerjaan di negara asalnya akibat konflik yang masih berlanjut dan juga dinegara suaka akibat dari surat-surat dan perizinan yang membatasi.