"Merci Bernard pour le petit déjeuner" Ujarku kepada Bapak Kos sebagai ucapan terima kasih telah menyediakan sarapan pagi di hari pertama ini. Ternyata si Ibu masih tidur dan katanya dia memang bangun telat kalau di pagi hari. Ya wajar saja, apalagi di musim gugur menjelang musim dingin, rasanya tubuh ini hanya ingin bersembunyi dibalik bedcover yang tebal.
     " ce soir Bernard" pamitku pada Bernard. Disini kami tidak menggunakan sapaan Pak atau Bu. Tadi malam ketika aku baru sampai di Vichy dan dijemput mereka, dengan budaya Indonesia yang melekat padaku, aku selalu menyelipkan kata Pak dan Bu atau di bahasa Prancis (Monsieur dan Madame), namun mereka mengatakan bahwa tak perlu menggunakan kata itu untuk memanggil mereka. Ini pelajaran pertama mengenai budaya Prancis bagiku, jika di Indonesia bisa-bisa kena gampar dan dikutuk jadi batu jika tak menyelipkan kata Pak atau Bu untuk memanggil orang yang lebih tu.
     Ku buka pintu rumah ini seketika terpaan udara dingin bagai menyeruak langsung menyebar ke sendi-sendi tulang belulangku. Seolah-olah aku sedang masuk ke dalam pembekuan kulkas untuk daging potong. Masya Allah... bisa ya udara sedingin ini, belum terbayangku orang-orang hidup di suhu satu derajat dan bahkan bisa minus katanya. Baru beberapa detik aku keluar dari rumah ini serasa tubuh ini sudah membeku dan mengeras, semoga tubuh ini cepat beradaptasi dengan lingkungan yang begini ekstrim. Dari sini aku bersyukur bahwa Tuhan memang Sang Kreator ulung yang tak ada tandingnya. Di belahan dunia lain terdapat suhu yang hangat dan di belahan dunia lainnya suhu yang membeku namun kita semua dalam satu rumah yang dinamai Bumi.
     Dengan mengenakan pakaian berlapis ditambah jaket tebal yang benar-benar sangat tebal, kutelusuri jalanan Vichy langkah demi langkah. Terasa kesunyian dan keheningan yang kutemui di setiap sudut kota ini. Bagaikan kota mati walaupun saat ini waktu sudah menunjukkan setengah delapan pagi. Memang sih kalau musim gugur dan apalagi musim dingin, matahari keluar agak lama, dan ku rasa mereka juga sudah menyesuaikan waktu kerja dengan suhu dan iklimnya.
     Perjalananku di mulai dari Rue de Madrid, nama jalan tempat aku menginap menuju kampus yang bernama Cavilam yang terletak di jalan Celestin. Lumayan jauh sebenarnya kalo dilihat dari google map sekitar dua puluh menit berjalan kaki dan itu langkah orang Prancis loh ya yang jalannya cepat dan langkahnya panjang. Tapi tak apalah, kan aku ingin merasakan bagaimana kehidupan asli orang Prancis. Tak ayal sepanjang perjalanan mataku jelalatan ke kanan ke kiri menyaksikan bangunan ntah itu rumah ataupun toko yang tertata dengan rapi. Bahkan di kota sekecil Vichy inipun Prancis ini sangat menata posisi bangunan kota.
     Beberapa langkah dari rumah jiwa alay dan lebayku muncul. Aku merasa kerasukan film-film Eropa dengan Scene berjalan di tengah kota. Aku seolah-olah sedang masuk dalam scene itu, berjalan sendirian dengan jaket tebal, menghembuskan nafas agar memunculkan efek asap akibat dingin, dan ditemani suara burung gagak yang sesekali melintas di atas ubun-ubunku. Jiwa alay dan lebay ini tak luput dari proses mengabadikannya, bukan hanya sekali tapi beberapa kali aku berhenti untuk berswafoto dan mengambil beberapa video. "Oh la la c'est agrable" Gumamku sambil tersenyum-senyum sendiri.
     Akhirnya akupun tiba di Cavilam, suasananya dan bangunannya juga tidak berubah dan sama seperti tiga belas tahun yang lalu. Dan petualanganpun di mulai di Cavilam ini. Sejumlah misi dan rencana sudah kusiapkan untuk benar-benar menggali keistimewaan tempat ini. Mengapa bisa pendidikan disini sebagus dan sehebat itu? Dan apa yang membuat mereka benar-benar istimewa? Jreng...jreng "le temps pour le test" Waduh ada pulak tes awalnya mana mata masih ngantuk ditambah badan masih membeku, apa bisa otak jadi encer? Ku pikir tidak ada tes awal karena didalam program tidak pernah disampaikan kalo kegiatan diawali oleh tes. Tapi tak apalah namanya juga pelatihan dimana-mana memang seharusnya ada tes awal supaya tahu mau ditempatkan dimana.
     Alhamdulillah satu jam tespun telah dilalui, diawali dengan tes kemampuan mendengar dan diakhiri dengan tes kemampuan tata bahasa Prancis. Sebenarnya aku tidak sabar ingin tahu ditempatkan di kelas mana dan ingin segera memulai kelas ini. Tapi tunggu dulu, aku dan beberapa teman yang satu rombongan dari Indonesia dibawa berkeliling kampus dulu. Kami diperkenalkan bangunan kampus dan kelas yang akan kami gunakan selama di Cavilam. Mereka juga memperkenalkan aktifitas budaya apa saja yang akan diorganisir oleh pihak kampus.
     Setelah itu kami dibawa ke sebuah gedung yang masih milik Cavilam tapi dibawahnya ada seperti lounge dengan  minuman hangat dan cemilan gratis yang merupakan juga tempat berkumpulnya mahasiswa-mahasiswa Cavilam. Ternyata tempat ini digunakan sebagai ruang tunggu sebelum mengetahui kelas yang akan dimasuki. Dan biasanya ruang yang dinamai Club du Monde (Klub Dunia) ini buka setiap hari senin pagi pukul 10 sampai tengah hari. Tempatnya sagat asyik rasaku, karena selain bisa makan dan minum gratis terdapat permainan-permainan seperti pingpong dan permainan meja lainnya.
     Jamku sudah menunjukkan pukul sebelas tepat, dan kelaspun telah dibagikan ke setiap mahasiswa baru. Wah ternyata kelasku tepat terdapat di lantai satu dari bangunan Club du Monde. Hitungan lantai di Prancis ini beda dengan di Indonesia. Kalau di Prancis itu lantai 1 itu dihitung setelah lantai dasar. Jadi kalau di kita lantai satu itu ya lantai dasar, nah kalo di Prancis itu lantai satu berarti lantai dua bagi kita. Bingung? Gak usah bingung cus tengok google aja hehehe.
     Kelasku tak begitu besar, dan memang tipikal kelas di Prancis ini juga tidak ada yang besar, kalaupun ada itu namanya kelas untuk kegiatan seminar, seperti auditorium gitu. Terdapat sepuluh kelas mahasiswa saja di kelasku, memang idealnya untuk belajar bahasa itu tidak lebih dari lima belas orang. Dan ternyata di kelasku ini terdapat dua cewek dari Ukrania dan delapan dari Indonesia dong. Waduh... harapannya sih pengen lebih banyak peserta selain Indonesia, karena toh kami ini sebagai perwakilan Indonesia yang ingin juga berbagi hal hebat pendidikan di Indonesia ke pengajar asing. Tapi tak apalah tetap harus disyukuri dan dijalani. Setidaknya di kelas masih ada dua cewek Ukrania yang terlihat sedikit terintimidasi dengan ramainya kami dan ributnya suara kami ketika berdiskusi ataupun menyampaikan pendapat. Gak tau juga  sih apa karena penasaran atau memang benar-benar mau belajar, rasanya orang-orang Indonesia di Kelasku ini benar-benar aktif dan selalu ingin mengajukan pendapat. Sampai-sampai Rose Marie (Pengajarku) harus menghentikan kami dan memberikan kesempatan kepada dua orang cewek Ukraina itu.
---Bersambung---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H