Paris sungguh pengalaman yang luar biasa, mungkin bagi sebagian orang apalagi yang telah menetap di Eropa akan menjadi hal yang lumrah. Tapi bagiku anak Medan yang tinggal dekat pesisir yang terbiasa berlari dibawah terik matahari keadaan ini menjadi sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Terlebih lagi begitu keluar dari bandara nafas ini tiba-tiba mengeluarkan asap tanpa harus membakar nikotin seperti yang dilakukan orang-orang. Sontak aku menjadi kemaruk (Istilah orang medan menunjukkan seseorang yang norak) dan terus menerus bernafas agar aku bisa merasakan seperti di film-film Eropa selama ini.
Setelah melewati perjalanan panjang nan melelahkan, terasa tubuh mulai gemetaran, bukan saja karena lelah yang sudah menajalar dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki, namun udara dingin musim semi seakan memeluk erat sampai bulu roma pun ikut berselimut tebal. Satu derajat di     Ku seruput secangkir coklat panas dari sebuah cafteria yang berada di Bercy (stasiun kereta api sebagai tempat transit menuju Vichy). Dulu sekali aku pernah berfikir kenapa sih orang Prancis ini menyeruput coklat panas untuk mengusir rasa dingin. Ya lagi dan lagi jika belum dirasakan pasti tidak akan mengenal. Ternyata coklat panas ini cukup ampuh sebagai sedikir penawar rasa kaku yang mulai menjalar ke seluruh tubuh. Apa sedingin inikah yang dirasakan Jack ketika akan tenggelam di laut dalam film Titanic? Berlebihan memang, ya aku merasa begitu sampai di Benua Biru ini tingkat kelebaianku meningkat, termasuk ketika memutuskan untuk membuat tulisan ini.
     Sambil menunggu kereta yang memang cukup lama dari waktu ketibaan di Paris, ku coba mengamati lingkungan sekitar setasiun ini. Bercy bukan stasiun besar karena tidak berapa jauh ada stasiun yang lebih besar yaitu Gare du Nord. Jadi di Paris ini moda transportasi berupa kereta api teramasuk transportasi utama, selain lebih murah daripada pesawat terbang dan lebih praktis tidak harus melewati pemeriksaan yang ketat seperti di bandara. Tak ayal dari sejak pagi disini sambil menunggu pukul 12.55 Waktu Paris selalu saja banyak orang yang berlalu lalang masuk dan keluar stasiun kereta.
     Selang beberapa menit pengumuman bersahut-sahutan mengingatkan para penumpang agar tetap menjaga barang bawaan dan tidak meninggalkannya tanpa pengawasan. Pemberitahuan itu terus menerus disampaikan sampai akupun hapal kata dan nada dari mesin informasi itu. Ya setiap orang juga tahu kalau Paris tidak begitu aman, namun hal ini terjadi dimana saja di kota-kota besar. Bukan maksud membela Paris dan berlaku seperti orang Paris, tapi yang kurasakan bahkan di kota asalkupun pagar besi yang terpajang kokok di depan rumah bisa raib kala malam tiba. Jadi bukan hal yang aneh bagiku jika di Paris terdapat pencopet atau tindakan kriminal lainnya.
     Selagi asyik ngobrol dan bercengkrama dengan seorang teman yang kebetulan satu pesawat dari Doha ke Paris, tiba-tiba masuk pesan Whatsapp yang agak mengejutkan.
"Hati-hati kepada semua teman-teman, teman kita kecopetan" isi pesan digrup WA kami. Tak kutuliskan nama temanku itu disini karena tak elok kurasa kalau sampai dibaca orang namanya. Namun bukan namanya yang mau ku ekspos tapi lebih kepada kondisi nyata yang dialaminya. Sontak begitu membaca pesan itu aku terkejut, kami tadi memang satu pesawat juga tapi beliau bersama tiga orang teman lainnya lebih dulu meninggalkan bandara sementara aku dan satu temanku masih asyik memfoto dan membuat video di Bandara Charles de Gaule.
     "Gimana kejadiaannya mbak?" Tanyaku setibanya dia dan dua teman lainnya di Bercy.
     "Lima ratus euro raib dan dua juta rupiah juga tak tersisa" jawabnya
Sambil menoba tegar namun tak mampu juga dia menghentikan aliran air mata yang perlahan mulai jatuh. Jangankan dia yang merasakannya, aku saja yang mendengar beritanya jadi lemas. Lima ratus euro itu setara hampir sepuluh jutaan lebih, dan bagi orang Prancis juga itu jumlah yang banyak. Dan bagi kami uang segitu adalah upaya untuk bertahan selama tiga minggu disini.
     Kejadian itu ternyata berlangsung di RER (kereta api yang menghubungkan antara Bandara ke pusat kota. Katanya ada dua orang cewek yang mendekatinya dan mencoba mengajak berbicara. Namun ia tak mengerti apa yang disampaikan cewek itu, sambil mencoba memahami ternyata teman si cewek yang satunya lagi langsung beraksi. Ntah bagaimana caranya namun memang Paris terkenal dengan markasnya para pencopet handal dan levelnya sudah Internasional. Makanya setiap kali ke Eiffel akan kita temukan banyak tulisan pemberiatahuan akan bahasa copet. Pernah juga dalam sebuah film mengisahkan seorang pencopet perempuan yang sangat lihat dan sangat cepat larinya bahkan laki-lakipun tak sanggup mengejarnya.
     Bingung sih memang dengan situasi seperti ini. Meskipun sebenarnya program beasiswa kami ini untuk sarapan dan makan malam sudah ditanggung oleh keluarga tempat kami menetap namun untuk makan siang dan keperluan lainnya kan ditanggung pribadi. Kamipun hanya bisa menyabarkannya dan bertekad bahwa jangan sedih karena kita bersaudara disini. Inilah kalo kita di negeri orang, meskipun baru kenal beberapa jam selama di program ini tapi kita harus saling bahu membahu membantu karena kita tidak tahu juga kedepannya kita bagaimana.
     "Sudah mbak, Insya Allah nanti akan diganti sama Allah dengan yang lebih baik lagi" pesan kami padanya agar dia kuat karena bagaimanapun program ini belum dimulai dan baru akan dimulai ketika sampai di Vichy. Kereta ke Vichy pun akhirnya berangkat pada pukul 12.55 waktu Paris. Kita mulai perjalanan ini dengan semangat baru meskipun tak akan melupakan kenangan pahit di awal kaki menginjakkan Paris.
---Bersambung---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H