Mohon tunggu...
SALMAN
SALMAN Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh Pendidikan

#Pulang Dengan Bahagia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Sebut Rindu

19 Juni 2023   08:23 Diperbarui: 19 Juni 2023   08:30 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini aku terbangun cukup awal tidak seperti biasanya. Udara kota Vichy yang sangat sejuk pagi ini membuat tulang-tulangku terasa mengerut dan kulitpun berkerut.

"Bukankah ini masih musim panas?" Gumamku dalam hati.

Hmm ternyata bukan udara dingin ini yang membuatku gelisah, tidak mungkin lima tahun sudah aku di kota ini tapi masih terganggu dengan udara sejuk disini.

Kuputuskan untuk berjalan keluar dari studio tempat tinggalku, menelusuri jalan-jalan sempit yang sunyi bagaikan kota mati. Ya Vichy ini kota kecil di selatan Prancis yang jumlah penduduknya sangat sedikit. Jangankan malam atau subuh, disiang haripun kota ini sangat sepi, sangat jarang yang berlalu lalang baik manusianya ataupun kendaraan. Seperti biasa sebelum subuh aku sudah tiba didepan Mosque de Vichy (Masjid Vichy). Aku sangat beruntung, hanya berjalan 500 meter saja dari studioku terdapat sebuah masjid yang tentu saja merupakan tempat yang langka di Prancis ini. Setiap subuh selalu kusempatkan untuk berjamaah di sini, tapi jangan dibayangkan masjid ini memiliki kubah dan menara seperti masjid-masjid di Indonesia. Lebih tepat masjid ini hanyalah sebuah rumah berlantai dua. Lantai pertama sebagai tempat sholat pria dan lantai kedua tempat sholat kaum hawa.

Tepat lima menit sebelum Adzan subuh, pintu masjidpun dibuka. Tampak Emir telah hadir di Masjid. Dia asli Pakistan dan sudah lama menetap di Vichy sebagai Imam masjid. Aku sering ngobrol dengannya membahas berbagai hal, pengetahuannya sangat luas walaupun ia masih berusia dua puluhan tahun.

"Salam, a va?" terdengar suara lirih seseorang sambil menepuk pundak kiriku.

"Salam, Alhamdoulillah, bien." Sahutku dengan jawaban bahwa pagi ini kabarku baik.

Dialah Monsieur Abdoullah, asli Aljazair yang sudah kuanggap sebagai ayahku sendiri. Sejak awal kedatanganku di Vichy, dialah orang pertama yang ku kenal. Dia memiliki toko daging halal tepat di samping studioku. Orangnya sangat ramah penuh senyum dan sering memberikan hadiah daging gratis.

"Qu'est-ce qui se passe?" Monsieur Abdoullah menanyakan apa yang terjadi padaku.

Aku hanya terdiam dan tertunduk, pikiranku melayang jauh ntah kemana.

"Anakku, lima tahun kita sudah saling kenal, aku tahu pasti kamu punya masalah, ceritalah!" Lanjut Monsieur Abdoullah.

Aku bingung mau mulai dari mana, rasanya lidah ini kelu untuk berkata, bibir ini terkunci terdiam seribu bahasa.

"Rien monsieur, merci" Kujawab hanya dengan kata tidak apa-apa Pak, terima kasih.

Akupun beranjak pergi meninggalkan Monsieur Abdoullah yang bingung dengan sikapku pagi ini.

Kutelusuri kembali jalanan sempit kota Vichy diiringi suara burung gagak yang sahut menyahut menyambut mentari pagi. Sesekali aku berpapasan dengan penduduk lokal yang bergegas menuju halte mengejar bus pertama yang akan segera tiba. Namun aku tak akan kembali ke studioku, tujuanku pagi ini adalah taman alun-alun kota Vichy. Disana kurasakan ketenangan, menyendiri ditengah pohon-pohon rindang.

Di depan bangunan opra de vichy, aku mulai menulis sebuah email untuk dia. Ya untuk dia yang mengganggu pikiranku beberapa hari ini. Dia yang membuatku meradang, kesal, marah dan tak mampu kupejamkan mata dalam kantukku. Beribu email telah kualamatkan padanya, namun tak satupun surat-suratku itu dibalasnya. Hari ini, tepat lima tahun sejak awal kami bertemu, di taman ini, di depan bangunan ini. Hampir setiap tahun kami merayakannnya di sini, setiap pagi layaknya hari ini. Namun hari ini aku harus menyendiri di sini, menantikan dia yang mungkin tidak akan datang atau sudah melupakan hari ini.

Tidakkah dia tahu betapa aku sangat bingung kali ini? Dialah orang yang telah menjerumuskanku ke kota ini. Ya aku pakai kata menjerumuskan sebagai tanda terima kasihku kepadanya yang mewujudkan impianku hidup di benua biru. Tapi dia benar-benar membuatku marah tak bertepi, saat setengah tahun lalu memutuskan bergabung di ONG (LSM) kemanusiaan menuju Suriah.

"Quoi? En Syirie? T'es fou?"

"Apa? Ke Suriah? Kau gila?" kata-kata terakhirku kepadanya ketika keputusan itu diungkapkan kepadaku.

Kenapa harus jauh-jauh kesana jika di sini masih bisa membantu dalam kemanusiaan. Apa yang dia cari dalam hidupnya?. Aku akui dia itu seperti malaikat tanpa sayap, bagaikan angin yang menyemai kehidupan. Tapi tidak harus berangkat ke sana, mempertaruhkan nyawa dan ya tidak ada keuntungan finansial untuk dirinya. Hmm ntahlah, mungkin pemikiranku yang terlalu kapitalis atau dia yang terlalu syurgawi.

Mentari masih terlelap

Ketika aku menyendiri disini

Diselimuti semilir angin dari balik rumah tua yang gemerlap

Bertahan dalam kesunyian hati.

 

Aku teriak pada angin

Aku menyeru pada langit

Aku bersimpuh pada bumi

Semua hening, bersikap dingin

 

Engkau disana menjemput angan

Aku disini menanti angan

Kepada awan kutitipkan rasa

Kepada bumi kuserahkan jiwa

 

Puisi itu akan menjadi untaian kata di email terakhirku untuknya. Walaupun aku yakin dia tidak akan membacanya, tak akan pernah membacanya. Tak akan lagi kusebut dia, tak akan lagi kuingat dia, sudahlah semua akan kuakhiri disini, saat ini. Kututup kisahku dan kisahmu, kutengadahkan tanganku dengan seuantaian kalimat reste en paix Rindu.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun