Aa..." Aku terengah engah. Syukurlah ini hanya mimpi, namun kenapa terasa begitu nyata bagiku. Aku sungguh kelelahan seperti tengah berlari ratusan kilometer. Aku sungguh merasa takut akan mimpi itu. Aku merasa ini bukanlah mimpi kosong. Namun, semua kupendam sendiri tanpa seorangpun yang tau.
Sejak mimpi itu terjadi, hari hariku terasa begitu kelam. Sering diriku menangis. Mimpi itu begitu menghantuiku. Karena sejak malam itu ada sosok lelaki yang terus menatapku dari kejauhan.
“Ah sudahlah, mungkin cuma halusinasiku.” Pikirku
Hari terus berlalu. PLAK!! Tamparan mendarat di wajahku. Ibu menamparku karna selalu menangis dimalam hari. Aku tak cerita kenapa aku begitu cengeng setiap malam menangis ketika ayah pergi. Aku ketakutan, dan aku merasa aman di dekat ayahku. Setiap malam aku melihat sosok sosok yang benar benar asing bagiku. Dan setiap malam pula kumenangis dan berakhir dengan tamparan serta kemarahan ibuku.
Semua tekanan ini membuatku muak, pembulian yang terjadi pada diriku juga sangat menyakitkan. Pagi itu aku tak selera pergi ke sekolah. Semalam aku dikasari oleh ibuku sendiri. Dan siang nanti aku harus menerima cemoohan dari teman teman?.
Aku menangis lagi mengingat semua hal yang telah terjadi. PLAK!! Tamparan mendarat di pipiku. Sepertinya memerah karna tamparan itu berasal dari tangan ayahku.
"KAMU KENAPA NANGIS?!? EMOSIMU ITU DARJ SETAN! ITU SETAN!, NIH SETANNYA MASUK KE AKU.” Teriak Ayahku setelah menamparku.
"A-aku hanya tak mau bersekolah sekali saja,” “Aku takut diejek teman teman." Ucapku pelan
tak mungkin caraku ini berhasil. Benar saja, aku tetap diantar menuju sekolah dengan mata penuh air mata.
Masa sekolah dasar berakhir dengan cukup mengerikan di ingatanku. Pendaftaran sekolah menengah dimulai. Aku hanya berharap tak bersekolah dengan para pembullyku. Namun..
Namun... Ternyata semua masih berlanjut, aku melihat segereombolan anak seusiaku yang selalu membullyku di sekolahan ketika mendaftar sekolah menengah. Baiklah, aku sekarang hanya berharap agar tidak sekelas lagi dengan mereka. Namun, harapan itu pupus kembali. Aku mendapati mereka tengah berbincang dikelas ketika hari pertama sekolah. Kelasku.
Ya, kita satu kelas!
Pandangan mereka bak serigala memandang mangsanya. Tangan kanan dan kiriku dipegang rapat rapat dan mereka melakukan 'ritual' yang selalu mereka lakukan padaku ketika jam istirahat dan pulang sekolah. Mereka meneriakkan apa saja ditelingaku. Rasanya perih ketika itu berlangsung. Dan akan berakhir bila mereka telah jenuh.
“Hei hei mau ke mana kau bocah aneh.” Panggil mereka kepadaku.
Aku hanya berlalu tanpa mengindahkan ucapannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H