Mohon tunggu...
Salma Laila
Salma Laila Mohon Tunggu... Mahasiswa - universitas muhammadiyah surakarta

mahasiswa ilmu quran tafsir universitas muhammadiyah surakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akankah Ada Hari Esok Untukku?

18 Mei 2024   19:40 Diperbarui: 19 Mei 2024   04:22 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bang.. apa aku sudah gila?!" Tanyaku sesaat setelah telepon diangkat.

"Apa seperti ini yang disebut gila Bang? Aku sudah gila kan? Katakan padaku! Apa aku gila?" Tanyaku bertubi-tubi dengan penuh tangis kepada sosok di ujung telepon sana.

Dari atas ranjang aku melihat sekeliling. Aku mengedarkan pandangan dan tertuju pada sosok gadis kecil yang sangat mirip denganku tengah menangis ketakutan memeluk lututnya.

"Abang.. bahkan aku berhalusinasi melihat diriku kecil sekarang." Kataku sembari masih menangis kepada pria yang aku hubungi dengan telepon genggam canggih era 2023. Tak terdengar jawaban apa pun. darinya kecuali helaan nafas panjang dan berat keluar dari mulutnya.

Entah dari mana asalnya suara pintu terbanting terdengar tepat di telingaku. JEDAR! "Najma! Apa apaan ini?! Kenapa kau berkata begitu pada ayahmu ha?! Bukankah sudah kuperingatkan padamu untuk tidak memberitahukan perihal pekerjaanmu itu?!" tak selang lama suara ibuku juga terdengar tepat di telingaku padahal saat ini aku sedang berada di kos sendirian.

 Bayangan-bayangan masa lalu muncul di benakku seakan tengah terjadi saat ini. Suara-suara bentakan dan pukulan yang aku alami seakan kembali terulang. Kututup kedua telingaku dengan tangan.

"Aa cukup!" Teriakku pada semua halusinasi yang tengah berkecamuk dalam hariku. Tangisku semakin kencang sebab semua yang terjadi terngiang-ngiang dalam telinga.

Bertahun tahun yang lalu kala ayahku masih hidup semua tak serunyam ini walau ibuku memaksaku bekerja sebagai buruh cuci di desa kami. Kala itu usiaku 11 tahun ketika aku menjadi buruh cuci untuk tetangga-tetanggaku terutama untuk teman-teman gosip ibuku. Ayahku tak tahu menahu tentang hal ini karena kala itu ia sedang bertugas di perbatasan negara sebagai TNI.

Hari itu ayah pulang dan aku tak tahu bahwa ia telah di rumah. Aku memasuki ruang tamu yang lenggang sembari membawa tumpukan baju kotor milik tetangga.

 "Bu, cuciannya Bu indah aku taruh di sini. Aku masih harus mengambil baju milik Bu candra." Kataku pada ibu dari ruang tamu. Tak disangka justru ayahku yang muncul

"a ayah?" tanyaku tergagap. Terkejut dengan kehadiran ayah di hadapanku. Serba salah rasanya karena membongkar apa yang ibu lakukan padaku selama ayah pergi. Inginku katakan semua tapi aku tak berdaya apabila ayah meninggalkanku lagi pasti ibu memukuliku habis-habisan.

"Najma, jelaskan pada ayah maksud dari semua ini!" Kata ayah lembut dan tegas namun dapat merontokkan lututku lantaran takut. Aku terduduk dan menangis di depannya. Aku melihat ibuku di balik tirai yang memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga sedang memelototiku agar tak membuka suara sedikit pun.

"Najma, bicara saja sayang. Ayah sudah di sini maka semua akan baik-baik saja." Ucap Ayah seraya mengusap punggungku yang terus saja bergetar sebab isak tangis. Aku pun bercerita bahwa ibu memaksaku menjadi buruh cuci dan mengambil semua uang hasil menjadi buruh cuci tanpa menyisakan padaku sepeser pun. Ayah begitu murka pada ibu kala itu dan itulah yang membuatku takut. Aku takut apabila nantinya ibu akan melampiaskan kemarahannya padaku karena berbuat hal yang telah dilarangnya.

JEDAR pintu terbanting menyisakan gemetar pada tubuhku. "Najma! Apa apaan ini?! Kenapa kau berkata begitu pada ayahmu ha?! Bukankah sudah kuperingatkan padamu untuk tidak memberitahukan perihal pekerjaanmu itu?!" Ibu memasuki kamarku setelah membanting pintunya. Aku hanya bisa terdiam dan memeluk lututku. Ayah sedang pergi membeli beberapa bahan makanan untuk kami bertiga jadi ibu bisa puas memarahiku. Terus saja ia memarahiku tanpa aku jawab sedikit pun sampai pada akhirnya ia melayangkan pukulannya ke kepalaku dengan keras.

 "Anak tak tahu diuntung" plak! Bentaknya sembari memukulku hingga kepalaku terbentur oleh barang yang sepertinya berbahaya. Sejurus dengan itu ayah tiba dengan tergesa gesa mendengar suara benturan yang katanya sangat keras. Ibu berubah menjadi seperti malaikat yang menenangkanku. Ibu memelukku dan mengusap-usap kepalaku dengan lembut seraya berbisik "awas kalau kamu memberitahu yang sebenarnya pada ayah."

"tadi Najma terpeleset dan akhirnya terbentur meja dan menangis. Aku di sini tengah menenangkannya sayang." Ucap ibuku dengan penuh kepalsuan kepada ayah. Ayah mendekat dan melihat kondisiku. Perlahan aku merasa kepalaku sedikit basah dan saat itu juga ayah mulai panik. Aku belum terlalu bisa mencerna apa yang terjadi karena syok atas pukulan ibuku.

Ayah membawaku menuju rumah sakit. Wajahnya sangat tegang melihat darah di kepalaku. Sesampainya di rumah sakit langsung saja aku dibawa masuk ke unit gawat darurat. Lukaku diperiksa oleh perawat yang ada.

"Mohon maaf pak, luka anak bapak cukup panjang dan untuk menghentikan pendarahan kami perlu melakukan penanganan lebih lanjut. Kulit kepala pada.." sayup-sayup aku mendengar penjelasan dokter pada ayahku dan sepertinya mereka akan melakukan operasi padaku.  Operasiku berhasil dan ayahku kembali ke perbatasan setelah aku benar-benar pulih. Entah bagaimana caranya untuk meyakinkan atasannya agar memberikan jangka libur yang panjang untuk ayah. Itu momen terakhirku bersama ayah. Setelah itu ayah selamanya pergi meninggalkanku dan ibu. Ia tewas di dalam pertempuran dengan pemberontak daerah dan dikuburkan di daerah tersebut.

Itu salah satu memori ketika ayahku masih hidup. Banyak sekali perlakuan ibu padaku yang kusembunyikan darinya. Sering kali aku mendapat perlakuan fisik seperti itu. Entah apakah ayah memaafkanku atau tidak ketika berada di akhirat nanti. Sungguh aku rindu padanya. semoga ia tenang di surga.

Ibuku menikah lagi setelah lima bulan ayah meninggal. Ayah tiriku kejam dan bahkan lebih kejam dari ibuku. Di rumahnya aku seakan lebih rendah dari anjing. Mereka memberiku makan dengan makanan sisa dan tidak akan memberiku makan jika tak ada makanan sisa bagiku. Satu satunya yang kusyukuri saat ini adalah mereka mau menyekolahkanku walau aku harus bekerja untuk mengisi pundi-pundi uang milik mereka.

Pelacur, itulah aku kala itu. Ayah tiriku ternyata pemilik rumah bordil di tepi jalan besar. Sejak mereka menikah aku menjadi salah satu pelacurnya pada usiaku yang masih di bawah umur, 14 tahun.

"Najma sayang, mulai saat ini kamu telah menjadi anakku. Kamar ini aku persembahkan untukmu sayang. Betahlah di sini." Ucapnya ketika memberikan sebuah kamar mewah di rumah mewahnya yang ternyata rumah bordil. Aku tak tahu menahu kala itu, kukira ia seperti halnya ayahku yang benar-benar baik hati. Namun ternyata dia penuh kebusukan sama halnya dengan ibu. Mereka hanya memikirkan cara untuk terus mengisi pundi-pundi uangnya. Bodohnya aku menerima kebaikannya ketika ia memberikan kamar indah bak kamar seorang putri raja.

Ketika malam tiba pada hari itu seorang pria berbaju rapi masuk ke dalam kamarku, Itulah malam terakhir kegadisanku. Ayah tiriku menjual diriku dengan harga paling tinggi di rumah itu. Ah aku tak ingin mengingat hal kelam tersebut.

Ketika SMA aku bertemu seorang laki-laki yang sangat baik padaku. "bang Yusran, aku ini pelacur, aku ini pelacur." Ucapku sambil menangis tersedu-sedu setelah aku mengetahui bahwa ia berencana melamarku setelah aku lulus sekolah 3 bulan lagi. Ia orang yang taat agama, dia mengerti Islam dan ajaran ajarannya. Sungguh tak terduga jawabannya ketika aku jujur atas nasibku.

"Najma, itu bukan salahmu. Allah maha penerima Taubat. Lagi pula kau dipaksa melakukannya. Kau begitu karena keadaan. Aku tahu kau tidak akan berbuat demikian dengan sengaja. Benar kan?" katanya dengan lembut. Ia menerimaku apa adanya bahkan setelah mengetahui hal paling buruk yang pernah kulakukan. Aku terpesona dengan kalimatnya. Dia menerimaku dan memberiku harapan dalam satu waktu.

Hari wisudaku tiba. Hari itu pula bang Yusran melamarku. Aku menjadi istri sahnya tepat satu hari sebelum ia berangkat kuliah di Sudan.

"Abang, Najma enggak mau LDR." Rengekku pada bang Yusran. "maaf sayang, abang harus berangkat. Insyaallah suatu hari nanti abang bawa Najma ke sana ya?" ucap bang Yusran menenangkanku. Walau kami sudah menikah aku belum mau bang Yusran menyentuhku. Aku takut terkena HIV karena pekerjaanku sebelumnya. Walau sebenarnya kami sudah cek HIV dan hasilnya negatif namun tetap saja diri ini khawatir akan memberi hal buruk bagi sosok yang bisa menggantikan peran ayah kandungku yang telah lama tiada.

Aku tinggal jauh dari rumah orang tuaku. Sendirian di kos yang dipilihkan bang Yusran untukku agar aku bisa nyaman dan tidak di zalimi oleh kedua orang tuaku. Tak ada yang tahu tempat tinggalku kecuali keluarga bang Yusran karena aku tidak punya teman dan bang Yusran pun merahasiakannya dari keluargaku.

Aku selalu kontrol ke psikiater atas saran dan bujukan dari suamiku sejak aku mengeluh tentang halusinasi dan suara-suara yang terngiang dalam telingaku. Hari itu aku akan pergi kontrol ke psikiaterku. Mungkin ini sudah menjadi kontrol kelimaku. Ketika bercermin aku lihat wajah dan kulitku sangat tidak sehat, pucat dan lebih hitam. Entah sejak kapan sudah begini. Aku baru saja menyadarinya. Mungkin sebab kepalaku yang terus saja sakit dan sesak nafas yang sering kali terjadi.

Ketika aku memandang perubahan diriku saat ini, aku terbatuk hebat. Refleks tanganku menutup mulut agar ludah tak sembarang keluar. Bukan hanya ludah yang terlihat namun juga bercak darah. Aku tak lagi terkejut karena hal ini bukan kali pertama. Aku takut mengganggu proses pembelajaran bang Yusran bila memberitahunya akan hal ini. Batukku tak kunjung mereda dan justru berujung pada muntah darah. Tadinya aku sudah siap menuju psikiater dan sekarang aku harus mengganti baju yang penuh darah ini.

Aku tak menghiraukan seberapa banyak darah yang keluar sebelum berangkat kesini. Aku tak akan menyia-nyiakan kebaikan bang Yusran karena telah mengerti kondisiku. Kepalaku sangat pening hingga harus memegang dinding rumah sakit ketika menuju ruang psikiaterku.

"kuat! Aku pasti kuat!" ucapku pada diri sendiri.

[Bang Yusran sayang, Najma sudah berada di rumah sakit untuk kontrol psikiater. Terima kasih sudah sangat baik padaku sejak pertama kali kita bertemu. Semoga Allah jadikan kita berdua berjodoh hingga di akhirat.] Aku mengirimkan pesan teks padanya. Semoga ia membacanya agar tenang.

Ting! Satu pesan masuk pada ponselku. [Sayang..] belum sempat aku membaca keseluruhan pesan rasanya kepalaku sangat berat, badanku limbung, semua hitam.

"Bang Yusran.. aku minta maaf, mungkin itu pesan terakhir dariku." bruk!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun