"Najma, jelaskan pada ayah maksud dari semua ini!" Kata ayah lembut dan tegas namun dapat merontokkan lututku lantaran takut. Aku terduduk dan menangis di depannya. Aku melihat ibuku di balik tirai yang memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga sedang memelototiku agar tak membuka suara sedikit pun.
"Najma, bicara saja sayang. Ayah sudah di sini maka semua akan baik-baik saja." Ucap Ayah seraya mengusap punggungku yang terus saja bergetar sebab isak tangis. Aku pun bercerita bahwa ibu memaksaku menjadi buruh cuci dan mengambil semua uang hasil menjadi buruh cuci tanpa menyisakan padaku sepeser pun. Ayah begitu murka pada ibu kala itu dan itulah yang membuatku takut. Aku takut apabila nantinya ibu akan melampiaskan kemarahannya padaku karena berbuat hal yang telah dilarangnya.
JEDAR pintu terbanting menyisakan gemetar pada tubuhku. "Najma! Apa apaan ini?! Kenapa kau berkata begitu pada ayahmu ha?! Bukankah sudah kuperingatkan padamu untuk tidak memberitahukan perihal pekerjaanmu itu?!" Ibu memasuki kamarku setelah membanting pintunya. Aku hanya bisa terdiam dan memeluk lututku. Ayah sedang pergi membeli beberapa bahan makanan untuk kami bertiga jadi ibu bisa puas memarahiku. Terus saja ia memarahiku tanpa aku jawab sedikit pun sampai pada akhirnya ia melayangkan pukulannya ke kepalaku dengan keras.
 "Anak tak tahu diuntung" plak! Bentaknya sembari memukulku hingga kepalaku terbentur oleh barang yang sepertinya berbahaya. Sejurus dengan itu ayah tiba dengan tergesa gesa mendengar suara benturan yang katanya sangat keras. Ibu berubah menjadi seperti malaikat yang menenangkanku. Ibu memelukku dan mengusap-usap kepalaku dengan lembut seraya berbisik "awas kalau kamu memberitahu yang sebenarnya pada ayah."
"tadi Najma terpeleset dan akhirnya terbentur meja dan menangis. Aku di sini tengah menenangkannya sayang." Ucap ibuku dengan penuh kepalsuan kepada ayah. Ayah mendekat dan melihat kondisiku. Perlahan aku merasa kepalaku sedikit basah dan saat itu juga ayah mulai panik. Aku belum terlalu bisa mencerna apa yang terjadi karena syok atas pukulan ibuku.
Ayah membawaku menuju rumah sakit. Wajahnya sangat tegang melihat darah di kepalaku. Sesampainya di rumah sakit langsung saja aku dibawa masuk ke unit gawat darurat. Lukaku diperiksa oleh perawat yang ada.
"Mohon maaf pak, luka anak bapak cukup panjang dan untuk menghentikan pendarahan kami perlu melakukan penanganan lebih lanjut. Kulit kepala pada.." sayup-sayup aku mendengar penjelasan dokter pada ayahku dan sepertinya mereka akan melakukan operasi padaku. Â Operasiku berhasil dan ayahku kembali ke perbatasan setelah aku benar-benar pulih. Entah bagaimana caranya untuk meyakinkan atasannya agar memberikan jangka libur yang panjang untuk ayah. Itu momen terakhirku bersama ayah. Setelah itu ayah selamanya pergi meninggalkanku dan ibu. Ia tewas di dalam pertempuran dengan pemberontak daerah dan dikuburkan di daerah tersebut.
Itu salah satu memori ketika ayahku masih hidup. Banyak sekali perlakuan ibu padaku yang kusembunyikan darinya. Sering kali aku mendapat perlakuan fisik seperti itu. Entah apakah ayah memaafkanku atau tidak ketika berada di akhirat nanti. Sungguh aku rindu padanya. semoga ia tenang di surga.
Ibuku menikah lagi setelah lima bulan ayah meninggal. Ayah tiriku kejam dan bahkan lebih kejam dari ibuku. Di rumahnya aku seakan lebih rendah dari anjing. Mereka memberiku makan dengan makanan sisa dan tidak akan memberiku makan jika tak ada makanan sisa bagiku. Satu satunya yang kusyukuri saat ini adalah mereka mau menyekolahkanku walau aku harus bekerja untuk mengisi pundi-pundi uang milik mereka.
Pelacur, itulah aku kala itu. Ayah tiriku ternyata pemilik rumah bordil di tepi jalan besar. Sejak mereka menikah aku menjadi salah satu pelacurnya pada usiaku yang masih di bawah umur, 14 tahun.
"Najma sayang, mulai saat ini kamu telah menjadi anakku. Kamar ini aku persembahkan untukmu sayang. Betahlah di sini." Ucapnya ketika memberikan sebuah kamar mewah di rumah mewahnya yang ternyata rumah bordil. Aku tak tahu menahu kala itu, kukira ia seperti halnya ayahku yang benar-benar baik hati. Namun ternyata dia penuh kebusukan sama halnya dengan ibu. Mereka hanya memikirkan cara untuk terus mengisi pundi-pundi uangnya. Bodohnya aku menerima kebaikannya ketika ia memberikan kamar indah bak kamar seorang putri raja.