Dengan mereplikasi negara di dunia digital, Tuvalu berharap sejarah dan budayanya dapat dilestarikan untuk generasi mendatang. Menurut Kofe, banyak generasi tua di Tuvalu yang tidak mau pindah karena memiliki ikatan dengan tanah airnya. Selain itu, transformasi menjadi negara digital juga merupakan cara alternatif untuk mempertahankan fungsi dan kedaulatan negara meskipun wilayahnya pada akhirnya tenggelam. Namun, masa depan Tuvalu masih tak menentu. Karena dunia digital tidak dapat sepenuhnya menggantikan lahan di seluruh wilayah.
Apa yang dialami oleh Tuvalu sekarang menggambarkan realita pahit dari krisis iklim. Meski Tuvalu bertanggung jawab atas lingkungannya sendiri, tapi dampak krisis iklim yang mereka rasakan hari ini diakibatkan oleh pancaran dari negara-negara lain yang jumlahnya jauh lebih besar. Dan yang lebih menyedihkan, negara kecil seperti Tuvalu harus menanggung risiko ini sendirian.
Kofe mengatakan dia berharap pembentukan negara digital akan memungkinkan Tuvalu untuk terus berfungsi sebagai sebuah negara bahkan jika itu benar-benar tenggelam. Hal ini penting karena pemerintah memulai upaya untuk memastikan bahwa Tuvalu terus diakui secara internasional sebagai sebuah negara dan batas lautnya, serta sumber daya di dalam perairan tersebut dipertahankan bahkan jika pulau-pulau tersebut tenggelam.
Tuvalu akan menjadi negara pertama yang mereplikasi dirinya sendiri di metaverse. Seoul dan pulau Barbados juga mengikuti. Pada tahun 2021, mereka berdua mengatakan akan memasuki metaverse masing-masing untuk memberikan layanan administrasi dan konsuler.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H