Berkenalan dengan Bahaya Food Waste
Food waste atau sampah makanan sering kali dibuang dalam limbah rumah tangga. Food waste sendiri tergolong jenis sampah organik yang apabila pengelolaannya tidak baik dapat menimbulkan masalah terhadap lingkungan serta kesehatan (Putranto, 2023). Salah satu dampak dari kurangnya pengelolaan food waste adalah bahaya gas metana yang berkontribusi besar terhadap pemanasan global, kemudian gas karbondioksida dan sulfur  (Bainus dkk., 2019; Makmun, 2021).Â
Adanya residu food waste dalam bentuk gas metana ini 25 kali lipat lebih berbahaya dari karbondioksida, ditambah food waste ini sendiri juga memiliki karbondioksida dan sulfur yang menjadi penyebab permasalahan pernapasan (Khusnulkhatimah, 2020; Makmun, 2021).
Permasalahan lainya adalah, sampah baik organik dan nonorganik yang dibuang pada TPA di Indonesia pada umumnya langsung dibuang di tanah tanpa diberikan lapisan terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan kesuburan tanah terganggu karena kandungan Bahan Buangan Berbahaya (B3) dalam sampah (Hatuwe dkk., 2020). Risiko bencana akibat food waste terjadi dalam berbagai bentuk seperti pemanasan global, polusi udara, dan polusi tanah. Dengan demikian, food waste harus dikelola dan dikurangi untuk mencegah bencana dan pencemaran, melalui perilaku bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup.
Perilaku Bertanggung Jawab Mengelola Food Waste
Perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan dalam konteks food waste adalah berbagai upaya mereduksi, mengendalikan, dan mengelola sampah. Pertama, untuk mengurangi sampah makanan, setiap orang harus membeli, mengambil, serta mengonsumsi makanan dengan batas wajar.Â
Hindari pembelian makanan yang berlebihan karena akan terbuang ketika melewati batas kedaluwarsa. Penerapan prinsip 3R juga dapat dilakukan (Reduce, Reuse, Recycle), tidak hanya menekan pengeluaran sampah, ketika pembuangan juga dilakukan pemilahan sampah (Putranto, 2023). Setelah pemilahan, dilakukan pembuatan kompos serta ecoenzim untuk kemandirian pengolahan sampah food waste atau sampah organik di setiap keluarga (Marlina, 2023).
Kompos sendiri merupakan bahan organik seperti food waste (sisa sayuran, buah-buahan) yang mengalami penguraian oleh mikroorganisme seperti bakteri, jamur, dan cacing tanah. Hasil proses dekomposisi memberikan pupuk bernutrisi untuk perbaikan struktur dan kesuburan tanah. Food waste dan limbah organik yang terurai menjadi berguna ketika terolah sebagai pupuk kompos. Upaya ini semakin mengurangi jumlah sampah rumah tangga yang dikirimkan ke TPA (Marlina, 2023). Â
Selanjutnya, pembuatan ecoenzim dari food waste (sisa sayuran, buah-buahan) yang melalui proses dekomposisi. Ecoenzim atau enzim lingkungan merupakan jenis enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang hidup di lingkungan alami seperti air, tanah, dan lumpur (Marlina, 2023). Ecoenzim berperan untuk proses penguraian bahan organik menjadi senyawa sederhana lebih ramah lingkungan seperti air, nutrisi untuk lingkungan; dan karbondioksida untuk proses fotosintesis tumbuhan. Pengelolaan food waste menjadi ecoenzim dapat membantu dalam mengurangi residu kimiawi berbahaya pada lingkungan, serta meminimalisir risiko bencana akibat pengelolaan sampah makanan yang buruk (Kriswantoro dkk., 2022).
PenutupÂ
Risiko bencana dari food waste dapat ditanggulangi dengan perilaku bertanggung jawab terhadap lingkungan yang dilakukan berbagai pihak. Pemerintah, lembaga, masyarakat, keluarga, dan individu harus berperan bersamaan untuk mencegah risiko pemanasan global, pencemaran tanah, pencemaran udara, dan pencemaran air. Upayakan 3R (Reduce, Reuse, Recycle), bijak dalam konsumsi makanan, dan mandiri dalam pengolahan sampah.  Â
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya