Mohon tunggu...
Salma Asti
Salma Asti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Journalism Student

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

PPPK, Tak Semua Guru Honorer dapat Menjajalnya

2 Januari 2023   14:00 Diperbarui: 2 Januari 2023   14:01 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mulyana, guru honorer di SD Negeri Cikeruh, Sumedang, Jawa Barat. (Foto: Dok. pribadi)

Menjadi guru adalah panggilan hati bagi Mulyana. Ia merupakan bapak dua anak dengan profesi sebagai guru honorer di SD Negeri Cikeruh, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Memikul tanggung jawab menjaga kualitas pendidikan murid-muridnya, tingkat kesejahteraan guru honorer masih jauh tak setimpal dengan pengabdiannya. 

Rendahnya upah yang diberikan guru honorer menjadi masalah utama yang tak kunjung terselesaikan. Padahal, beban tanggung jawab mereka sama dengan guru berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil).Hal tersebut mengharuskan Mulyana untuk mencari kerja sampingan usai bel pulang sekolah berbunyi. 

Mulyana terpaksa harus memutar otaknya kembali seselesainya mengajar untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. "Ketika saya pulang ke rumah tetep harus berpikir mencari kegiatan lain yang bisa menghasilkan lebih", ujarnya.

Mulyana mengaku upah perbulan untuk seorang guru honorer bisa dibilang terlalu kecil walaupun sudah dikelola sehemat mungkin. Dirinya berusaha untuk menggeluti pekerjaan apapun sebagai sampingannya mulai dari berjualan pakaian hingga menjadi ojek online rela Ia lakukan setelah pulang mengajar.

 "Kadang-kadang sambil ngorder barang, kadang-kadang jualan pakaian, tetep siang pulang ke rumah masih harus cari-cari lagi kegiatan tambahan", tutur Mulyana.

Berbeda dengan Dayat, seorang guru honorer sekolah swasta asal Cirebon. Menjadi guru bukanlah impian utamanya dulu. Ia mengaku sebelumnya ingin menjadi tentara karena postur tubuhnya yang tinggi. 

Kemudian timbul rasa ingin menjadi guru setelah dirinya mengajar sebagai guru honorer di sebuah madrasah saat menduduki bangku SMA. Sayangnya, nasib guru honorer tidak sebanding dengan apa yang sudah dikerahkan dirinya ke dunia pendidikan di Indonesia. Upah yang tak sebanding dengan beban tanggung jawab guru honorer mengharuskan Dayat mencari pekerjaan sampingan.

Sedikit berbeda dengan Mulyana yang mencari pekerjaan sampingan apapun itu, Dayat  lebih memilih mencari pekerjaan yang masih berkaitan dengan dunia pendidikan dan hobinya, salah satunya adalah menulis. Selain itu, Dayat juga menyukai dunia literasi sehingga dirinya juga sambil berjualan majalah anak-anak demi mencukupi kebutuhan hidupnya.

Sistem Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja atau PPPK dicanangkan pemerintah sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan bagi ASN non-PNS, termasuk tenaga kerja honorer. 

Berbeda dengan PNS, PPPK memiliki perjanjian kontrak dalam masa kerjanya. Hak-hak antara keduanya pun memiliki perbedaan, akarnya terlihat dari regulasi yang berbeda pula. 

Pendapatan PNS tertera dalam PP Nomor 11 Tahun 2017 jo PP Nomor 17 Tahun 2020, serta Perpres Tentang Gaji dan Tunjangan PNS. Sementara itu, pendapatan PPPK tertera pada Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2020 dan PP Nomor 49 Tahun 2018.

Berdasarkan Pasal 19 PP Nomor 49 Tahun 2018, PPPK menerapkan sistem seleksi administrasi dan seleksi kompetensi. Dimana pada seleksi kompetensi ini, calon PPPK melakukan tes manajerial, teknis, dan sosial kultural.

Pelamar PPPK diatur batas usianya minimal 20 tahun dan maksimal tergantung jabatan yang dilamar. Hal ini karena tiap jabatan memiliki ketentuan batas usia yang berbeda. Masa jabatannya pun berbeda tiap posisinya. Selain itu, PPPK hanya bisa melamar jabatan tertentu, dalam kata lain, ruang lingkupnya terbatas.

Dengan segenap kebijakan, PPPK diharapkan menjadi solusi untuk mengurangi tenaga honorer di lingkungan pemerintahan sekaligus memberikan kesejahteraan. Selain itu, program ini juga dilakukan untuk mengatasi kekurangan tenaga pendidik.

Meski program PPPK ini telah dicanangkan oleh pihak pemerintah dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan guru-guru honorer, rupanya kenyataannya program ini belum bisa sepenuhnya mewujudkan hal tersebut. 

Mulyana sendiri telah mencoba untuk mendaftarkan diri untuk PPPK. Akan tetapi, persyaratan dan kriteria yang tertera rupanya tidak bisa ia penuhi, sebab, pendidikan minimalnya adalah jenjang S-1, sedangkan Mulyana masih bergelar diploma. Guru-guru lain juga mengalami hal serupa yang berkaitan dengan kriteria PPPK. Tidak hanya mengenai gelar, tetapi juga kriteria mata pelajaran yang tersedia. 

Mulyana mengaku tidak bisa mengikuti seleksi sebab ia merupakan guru mata pelajaran umum yang tidak memenuhi kriteria. Halangan untuk mengikuti seleksi PPPK ini juga dirasakan oleh Dayat, lulusan program studi Pendidikan Luar Sekolah (sekarang Pendidikan Masyarakat) tidak linear dengan pengajaran di SD atau SMP.

Keterikatan dengan pemerintah menjadi faktor menurunnya minat guru honorer. Banyak guru honorer yang tidak ingin dipindahkan ke tempat lain setelah terpilih PPPK. 

Selain itu, guru honorer lama tersalip oleh guru honorer baru, karena PPPK mensyaratkan guru-guru yang terdaftar di Dapodik (data pokok pendidikan) yang masa kerjanya minimal 2-3 tahun, sehingga, guru honorer baru bisa langsung mendaftar. Menurutnya, persyaratan tersebut seharusnya bisa diperbaiki agar bisa memprioritaskan guru honorer senior.

Berangkat dari pengalaman pribadi maupun yang dialami oleh rekan-rekannya, Mulyana menaruh harapan, terutama kepada pemerintah, agar tenaga pendidik lebih diperhatikan, "Kami tidak menuntut banyak, yang penting kan apa yang kami lakukan ya minimal dihargai dengan setimpal," ujarnya.

Selain itu, ia juga berharap adanya pemberian tunjangan yang merata untuk guru honorer. Program PPPK mungkin bisa menjadi solusi, tetapi pada implementasinya, banyak tenaga pendidik yang terhalang dan tidak bisa mencoba kesempatan tersebut. Tunjangan yang dijanjikan oleh program PPPK dengan tujuan untuk mensejahterakan, nyatanya hanyalah angan-angan bagi sebagian besar tenaga pendidik.

Serupa, Dayat pun merasakan keresahan program PPPK ini, karena linearitas latar belakang pendidikan dengan lowongan jabatan yang tersedia. Ada keterbatasan yang dirasakan tenaga pendidik honorer untuk mengikuti PPPK. 

Persoalan pemerataan tenaga pendidik, pemerintah dapat menentukan skema sebelum melakukan perekrutan. Dengan demikian, jumlah kebutuhan guru masing-masing daerah terlihat dengan jelas. Kekurangan guru tak terjadi di satu atau dua wilayah saja, program PPPK ini pun harus menjawab keresahan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun