Di tengah kabut pagi yang menyelimuti lahan pertanian di dataran tinggi, Damar, seorang petani muda dari Jawa Timur, berdiri memandangi hamparan padi yang menguning. Di belakangnya berdiri Pak Karto, sosok yang dikenal bijak di desa itu, dan sudah bertahun-tahun menjadi penasehat para petani setempat. Hari itu, keduanya tengah berbincang tentang masa depan pangan di Indonesia, topik yang semakin hari semakin hangat dibicarakan.
"Damar, tahu nggak?" ujar Pak Karto sambil menunjuk pada padi-padi yang bergoyang ditiup angin. "Ini bukan cuma soal tanah dan air, tapi soal bagaimana kita bisa menjaga ketahanan pangan di negeri ini. Ini tentang kita semua."
Damar mengangguk. Sebagai seorang pemuda yang baru saja kembali ke desanya setelah mengenyam pendidikan pertanian di kota, Damar merasa beban itu semakin nyata. Forum Bumi yang baru-baru ini diadakan oleh Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia, menjadi topik yang membuatnya merenung lebih dalam tentang masa depan ketahanan pangan negeri ini. Forum tersebut menghadirkan Pak Ifan Martino, seorang ahli ketahanan pangan yang memberikan pandangan jauh ke depan terkait pembangunan berkelanjutan.
Pak Ifan menjelaskan di forum itu, "Kita perlu mengubah cara pandang kita tentang ketahanan pangan, bukan hanya soal cukup atau tidaknya jumlah pangan, tapi juga soal keberlanjutan ekosistem dan keanekaragaman pangan lokal yang ada di Indonesia." Kata-katanya menggema di benak Damar. Betapa pentingnya menjaga keragaman tanaman yang tumbuh di negeri ini, agar tidak tergilas oleh sistem produksi yang hanya fokus pada tanaman-tanaman yang paling menguntungkan secara ekonomi.
Dalam perjalanan pulang, Damar mencoba merenungi kata-kata itu. Di pinggir jalan, ia melihat hamparan sawah yang berubah bentuk menjadi deretan bangunan beton. Ia sadar bahwa keanekaragaman tanaman semakin terancam oleh perkembangan kota yang tidak terbendung. Menjaga keanekaragaman itu seperti menjaga identitas bangsa, pikirnya, dan ia merasa perlu melakukan sesuatu.
Keesokan harinya, Damar memutuskan untuk bertemu dengan ketua kelompok tani di desanya. Ia mempresentasikan ide untuk mempertahankan dan membudidayakan varietas-varietas padi lokal yang kerap terpinggirkan. Damar mengajak mereka berinvestasi pada bibit-bibit padi asli Indonesia yang memiliki kemampuan adaptasi luar biasa di berbagai kondisi iklim.
"Aku nggak mau kita hanya fokus menanam varietas yang cepat tumbuh dan laku di pasar, tapi kita lupa dengan jenis padi lokal yang sudah dari dulu tumbuh di sini," jelas Damar berapi-api. "Jika suatu saat nanti terjadi krisis pangan, kita masih punya cadangan benih yang bisa bertahan."
Pak Karto menyetujui gagasan Damar, dan bersama-sama mereka menggerakkan petani lain untuk berpartisipasi. Mereka membuat program pembibitan padi yang memprioritaskan jenis-jenis padi lokal.
Langkah demi langkah, desa itu mulai berubah. Damar mulai mencatat setiap varietas padi yang mereka tanam, bersama keunggulan dan ketahanannya terhadap hama serta kondisi cuaca. Mereka bekerja sama dengan Bank Benih Indonesia untuk mendapatkan bibit varietas lokal yang unggul dan tahan terhadap berbagai kondisi.
Beberapa bulan kemudian, Damar dan para petani lain menghadiri kembali sesi diskusi Forum Bumi yang digagas Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia, di mana mereka dihadapkan dengan realitas ketahanan pangan yang kompleks. Dalam acara tersebut, Pak Ifan menjelaskan lebih lanjut tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang berfokus pada ketahanan sosial, budaya, dan ekologi, termasuk ketahanan pangan. Dengan penuh semangat, ia berkata, "Jika kita ingin mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan, kita harus bisa menjaga hubungan erat antara produksi pangan, ketersediaan air, dan energi. Kita perlu mengadopsi pendekatan yang holistik dan berkelanjutan."
Kata-kata itu menyadarkan Damar bahwa perjuangannya untuk mempertahankan varietas padi lokal tidak cukup. Ada kebutuhan untuk memperkuat sistem irigasi dan memperhatikan keberlanjutan lahan pertanian agar produksi pangan tetap terjaga. Bersama-sama, mereka mengadakan sesi belajar untuk para petani agar dapat menerapkan teknologi pertanian yang lebih ramah lingkungan.
Dalam perjalanan panjang itu, Damar berhadapan dengan tantangan yang tidak mudah. Sebagian petani yang semula menolak kini mulai paham dan menerima manfaatnya. Mereka melihat hasil nyata dari padi lokal yang lebih tahan terhadap perubahan cuaca, sementara harga di pasaran pun menguntungkan. Damar, yang awalnya hanya bermimpi kecil, kini mulai melihat dampak dari perjuangan mereka.
Mimpi Damar untuk mempertahankan keanekaragaman pangan di desanya mulai menarik perhatian para pemuda desa yang lain. Mereka, yang awalnya enggan mengikuti jejaknya, kini mulai tergerak untuk ikut menjaga keberlanjutan lahan pertanian mereka. Setiap sore, Damar mengajak mereka berkumpul di sebuah gubuk kecil di pinggir sawah, berbagi cerita dan pengalaman tentang tantangan yang mereka hadapi sehari-hari.
Suatu hari, ketika sedang berdiskusi dengan para petani muda itu, Damar mengungkapkan ide barunya. "Aku ingin kita tidak hanya mempertahankan bibit lokal untuk padi saja, tapi juga mencoba menanam tanaman pangan lain, seperti umbi-umbian dan kacang-kacangan yang dulu pernah ada di sini tapi sekarang jarang kita temukan lagi," ujarnya. Ia menjelaskan, tanaman-tanaman ini tidak hanya bisa meningkatkan keberagaman pangan, tetapi juga berkontribusi terhadap kesuburan tanah dan kesehatan ekosistem.
Pak Karto, yang ikut mendengarkan percakapan itu, tersenyum bangga. Ia menepuk bahu Damar dan berkata, "Nak, ini yang namanya cinta pada tanah dan alam. Kalau kita menjaga tanah ini dengan penuh tanggung jawab, tanah ini akan selalu memberi kita makanan, bahkan saat dunia di luar sana mengalami krisis."
Para petani muda pun setuju untuk mencoba menanam jenis tanaman lain di lahan-lahan mereka, mengombinasikannya dengan padi lokal. Mereka mulai melakukan percobaan dengan sistem tanam bergilir, mengombinasikan berbagai tanaman di lahan yang sama. Setiap bulan, mereka bergantian menanam umbi-umbian, sayuran hijau, dan kacang-kacangan. Hasilnya tidak langsung terlihat, tetapi setelah beberapa musim, tanah yang awalnya gersang perlahan menjadi lebih subur.
Ketika hasil panen mereka mulai bervariasi, mereka bahkan mulai menjual produk pangan ini di pasar lokal. Meski permintaannya tidak sebesar padi atau jagung, mereka bangga karena tanaman-tanaman lokal ini menjadi bagian dari upaya mereka untuk meningkatkan ketahanan pangan desa. Tanaman-tanaman itu tumbuh dengan baik, bahkan ketika musim kemarau datang dan lahan sawah lainnya mulai kekurangan air.
Keberhasilan kecil yang mereka raih mendorong Damar untuk mencoba lebih jauh. Ia mengajukan ide kepada kepala desa untuk membangun pusat edukasi kecil tentang keanekaragaman pangan di desa itu. Pusat ini akan berfungsi sebagai tempat belajar bagi petani lokal dan generasi muda yang tertarik mendalami sistem pertanian berkelanjutan. Dengan semangat, kepala desa mendukung gagasan itu dan mengusulkan untuk menggunakan salah satu bangunan tua di desa sebagai pusat edukasi tersebut.
Di pusat edukasi itu, Damar dan para petani muda mulai mengadakan pelatihan. Mereka berbagi tentang pentingnya keanekaragaman pangan dan menjaga kelestarian bibit lokal kepada siswa-siswa sekolah dasar yang sering berkunjung. "Kalau kita nggak jaga keanekaragaman ini, mungkin suatu hari anak-anak kita hanya akan tahu nasi atau jagung dari cerita saja," ujar Damar saat menjelaskan pentingnya keberagaman tanaman pangan kepada anak-anak.
Ketika musim panen tiba, pusat edukasi itu penuh dengan hasil panen dari bibit lokal. Para siswa ikut serta membantu memanen padi dan mengolah hasil pertanian dengan gembira. Kegembiraan itu tidak hanya terlihat di wajah para siswa, tetapi juga di wajah Damar dan petani muda yang lain. Mereka merasa bahwa upaya mereka untuk mempertahankan keberagaman pangan akhirnya mendapatkan dukungan dari generasi yang lebih muda.
Suatu sore, Damar duduk di tepian sawah, mengamati anak-anak yang bermain di ladang. Ia merasakan kedamaian di hatinya, seolah ia telah menyatu dengan tanah yang ia rawat selama ini. Pak Karto menghampirinya dan duduk di sampingnya. "Damar, perjalananmu ini belum selesai, tapi kamu sudah menanamkan harapan bagi banyak orang," ujar Pak Karto dengan nada bangga. "Apa yang kamu lakukan hari ini adalah warisan yang akan diingat orang-orang di desa ini."
Damar mengangguk pelan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa masih banyak tantangan yang harus dihadapi, dari menjaga kualitas benih hingga menghadapi perubahan iklim yang semakin tidak menentu. Namun, ia juga sadar bahwa langkah-langkah kecil yang ia lakukan telah membawa perubahan besar. Berkat dukungan komunitasnya, desa itu kini menjadi simbol ketahanan pangan dan keanekaragaman hayati, bukti bahwa keberagaman adalah kekuatan yang mampu menopang kehidupan di masa depan.
Di bawah langit yang membentang, Damar berdiri di tengah sawahnya, meresapi hembusan angin yang mengalir lembut membawa harapan. Padi-padi yang melambai bagai menyambut masa depan yang cerah, hasil dari tangan-tangan yang menjaga cinta dan ketulusan terhadap bumi yang mereka pijak. Dalam sunyi, Damar mendengar bisikan alam, sebuah janji tak terucap bahwa setiap benih yang dirawat dengan keikhlasan akan tumbuh, berakar, dan memberi kehidupan bagi yang datang kemudian. Masa depan ketahanan pangan bukan hanya tentang tanah yang subur atau air yang mengalir, tetapi tentang hati yang tak lelah merawat, jiwa yang tak henti percaya. Di sanalah, di setiap butir padi yang tersemai, ia menanamkan sebuah mimpi---Indonesia yang kuat, tangguh, dan kaya dalam keanekaragamannya, menyambut generasi dengan kekayaan yang abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H