Bagi siapapun yang tak lekang dari pemikiran "pahlawan itu, tokoh yang pasti bersenjata dan bertumpah darah", maka kau salah besar. Sumber dari penjuru bumi bagian mana yang kau dapat? Lantas, perihal bagaimana beliau yang menulis frasa demi frasa, menekan tuts demi tuts piano, menoreh semangat demi peluh pada tiap baitnya, perihal beliau yang melahirkan anak anak berwujud lantunan lagu demi membakar semangat para pejuang, kau anggap apa?
--
Pada arah barat kompas bumi, jika kau menelusuri dengan bijak, terletaknya lah Batavia. Jika disana ada Batavia, pun juga sobatnya, Kwitang. Tempat penghasil ahi-ahli pencak silat khas Betawi. Dikelilingi bangunan-bangunan pengguna roof, berdinding tebal, cat putih pucat mendominasi, fasad-fasad simetris, dengan pintu-pintu jati besar berdiri kokoh menyambut siapapun yang hendak datang. Pohon-pohon tua besar, juga sungai tenang terpampang nyata di sana.
Bulan 3, hari 11, tahun 1914, mungkin berkah dari Sang Kuasa. Lahirlah di Kwitang, seorang anak adam dengan sehat ditengah-tengah krisisnya peralatan medis. Anak adam yang tak diangka-sangka namanya akan dikenang bahkan sampai kiamat datang.
"Ismail. Aku namakan kamu Ismail, wahai anak tampan nun gagah"
"Ismail Marzuki"
"Maing. Aku akan sebut dia Maing"
Suasana haru menyelimuti keluarga kecil itu. Ya, anak keempat mereka selamat. Ia selamat!. Setelah terbalut duka akan kepergian 2 anak sebelumnya yang tak tertolong saat diantarkan ke bumi, akhirnya si kecil harapan keluarga itu hadir. Pemilik arti nama "selalu diberkati, artistik, menarik, dan penuh perhatian" itu tumbuh menjadi anak yang sungguh mandiri. Dengan memegang titel piatu sejak ia menginjak 3 bulan kelahirannya, anak yang dibesarkan kakak pertama dan ayahnya itu memiliki ketertarikan jelas akan musik.
"Ayah sedang apa? Itu apa yang ada di tangan ayah?"
"Ini rebana, Maing. Ayah sedang bersiap akan penampilan besok di gedung tua persimpangan jalan"