Niat Siemens jelas tidak bisa berjalan dengan mulus, karena pihak preservasi setempat menolaknya. Alasannya, Siemens melanggar hukum tentang perlindungan bangunan bersejarah, yang di dalamnya sudah dijelaskan, bahwa penambahan atau pengurangan bangunan akan mengurangi nilai penting bangunan itu sendiri. Apalagi Fassade rumah itu merupakan suatu karya seni arsitektur Frederician yang terakhir yang ada di Berlin-Mitte bersama-sama dengan kebun & temboknya. Selain itu pihak DPG juga tidak mau pindah & ingin terus memakai rumah itu. Walaupun beberapa politikus berdiri di belakang kepentingan Siemens, tapi sepertinya hal itu bukan jaminan, bahwa keinginan Siemens bisa dengan mudah terlaksana. Apalagi masyarakat banyak yang menentangnya. Pembahasan tentang ini akan dilakukan di Parlemen (September) dengan mengundang para ahli bangunan & pihak-pihak yang berwenang, termasuk Siemens, sebelum Kementerian mengambil keputusan final.
Dari kasus-kasus yang telah dipaparkan di atas, jelas sekali terlihat adanya perbedaan yang sangat mencolok dari tindakan pemerintah & masyarakat di tanah air dengan di sini dalam upaya melindungi benda-benda peninggalan sejarah. Di tanah air mereka bertindak dulu (merusak atau merobohkannya), baru setelah itu diadakan pengkajian atau malahan tidak dilakukan sama sekali. Sedangkan di sini kebalikannya, diteliti & dikaji secara mendalam dengan meminta masukan & mendengarkan semua pendapat dari pihak-pihak yang bersangkutan, baru setelah itu bertindak.
Benda-benda peninggalan sejarah di tanah air keberadaannya masih dipandang sebelah mata & sering-kali diabaikan. Rasa memiliki untuk merawat, melindungi & menjaganya masih minim sekali. Bukan hanya di kalangan masyarakatnya saja, tetapi pemerintah pun masih ikut bermain di dalamnya. Sudah berapa banyak benda peninggalan sejarah yang lenyap karena dibisniskan, dicuri atau berganti bentuknya. Bangunan bersejarah yang dilindungi bisa dengan gampangnya berpindah kepemilikan & dirobohkan, dengan atau tanpa ijin pihak yang berwenang. Tidak jarang bangunan yang sudah dirusak, baru kemudian dilakukan peninjauan kembali untuk memastikan nilai sejarahnya, sebab adanya protes dari badan konservasi atau kelompok masyarakat pecintanya. (Itu mah sudah terlambat banget, ibarat nasi sudah jadi bubur). Atau bisa juga berdalih, yang penting, bagian-bagian lamanya masih ada & bisa dikonstruksi ulang. (Emangnya robot, yang bisa diutak-atik terus bentuknya). Selain itu pemilik bangunan juga masih sering dipersulit dalam menggunakan hak pakainya. PBB yang setiap tahunnya naik serta adanya birokrasi yang njelimet untuk merawat bangunannya. Dengan kendala-kendala seperti itu, makanya tidak aneh, jika banyak bangunan bersejarah yang dibiarkan pemiliknya rusak begitu saja atau dijual dengan harga sangat murah. Yang nantinya akan berubah wujudnya, sesuai keinginan si pembeli.
Di sini pemilik bangunan bersejarah diwajibkan untuk memperhatikan perawatannya. Selain itu lingkungan di dekat atau di sekitar bangunan tidak boleh ada yang dirubah, agar penampilan utuhnya bisa tetap terjaga. Seandainya ada kekurangan yang ditemui & perlu perbaikan, maka pihak instansi yang berwenang berhak mengajukan keberatan agar si pemilik membenahinya. Untuk tidak membebani perekonomian pemilik dengan segala ijin atau petunjuk perawatan yang ada, pihak otoritas konservasi akan memberikan bantuan kredit atau subsidi.Â
Jika bangunan itu sudah terancam bahaya (mis.mau roboh) & instansi tersebut sudah membayar (lewat pemberian kredit) lebih dari 50% dari harga tanahnya, maka Kota Berlin berhak untuk mengambil alih kepemilikannya. Seperti itu Kota mempunyai hak pertama untuk membeli atau menolak penjualan tanahnya, di mana bangunan itu berdiri. Jika terjadi pelanggaran, mis.pemilik merubah beberapa bagian yang ada atau merobohkannya tanpa ijin dari pihak konservasi, maka pemilik akan dituntut untuk membangunnya kembali seperti bentuk aslinya. Perubahan atau perobohan bangunan bersejarah secara keseluruhan atau sebagian akan diperbolehkan (itupun harus ada ijin dulu), jika alasan kepentingan privat tidak terbukti & sebagian besar masyarakat menginginkannya. (Suara masyarakat dilibatkan, karena salah satu syarat pemberian label 'bangunan bersejarah' juga dilihat dari kepentingan umumnya).
Penemuan benda-benda peninggalan sejarah dari hasil penggalian, seperti uang logam kuno, perkakas, perhiasan, senjata, gerabah, paving, kuburan atau yang lainnya harus segera dilaporkan ke petugas, walaupun lokasinya ada di tanah kita sendiri. Dalam waktu min.4 hari setelah penemuan harus sudah dilakukan penelitian & tempat penemuannya harus dibiarkan seperti keadaan semula. Penggalian lanjutan hanya boleh dilakukan jika sudah ada ijin.Â
Pelestarian benda-benda peninggalan sejarah di tanah air menuntut adanya kesadaran yang tinggi dari kita & pemerintah. Jika salah satu tokoh pelakunya tidak ikut (enggan) berpartisipasi di dalamnya, jangan harap masih adanya peninggalan yang tersisa. Penghilangan, perusakan atau pemusnahan peninggalan sejarah sama halnya menghapuskan identitas & perjalanan hidup suatu bangsa. Oleh karena itu sebelum semuanya terlambat, selamatkan benda-benda bersejarah yang masih kita miliki, karena di dalamnya tersimpan bagian hidup kita.Â
Selain itu, peninggalan sejarah yang terawat dengan baik, akan punya nilai jual yang tinggi. Lihat aja berapa juta turis yang berkunjung setiap tahun ke egara-negara Eropa (mis. Italia, Jerman, Perancis, Austria, dan lainnya) yang datang hanya untuk menikmati keindahan & keunikan bangunan tuanya. Tanpa itu bisa dipastikan pemasukan devisa mereka akan menurun. Seburuk-buruknya baju yang kita kenakan, jauh lebih buruk jika kita menanggalkannya. Jadilah bangsa yang selalu ingat akan sejarahnya !
Sumber:Â
- Magnus Haus.
- Denkmalschutz.
- Harian Rakyat Merdeka "Demi Pentingkan Proyek, Pemprov Diminta Jangan Lupakan Sejarah".
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H