Mohon tunggu...
Yuni Bues
Yuni Bues Mohon Tunggu... -

- Suka makan & ketawa\r\n- Karyawati di satu perusahaan di Jerman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Seandainya Orang Utan Bisa Bicara

20 Juli 2014   20:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:47 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="546" caption="Ilustrasi kompasiana / kompas.com"][/caption]

"Haben wir schon letztes Jahr für Orang Utans gespendet? (Sudahkah kita menyumbang untuk orangutan tahun lalu)?", tanya suami ke saya sambil tangannya membuka amplop surat dari BOS (Borneo Orangutan Survival) Jerman. Surat dari BOS Jerman selalu kita terima setahun sekali yang isinya memberitahukan kegiatan yang sudah dan akan dilakukan mereka untuk orangutan, serta mengingatkan kita untuk membantu secara finansial.

Sejak tahun 2006 saya dan suami menjadi penyumbang setia BOS Jerman. Organisasi non pemerintah ini didirikan tahun 2001 atas inisiatif Dr.Klaus Ursul Schadel yang bertujuan untuk membantu BOS Foundation di Indonesia yang didirikan oleh Dr.Smits (1991) demi menyelamatkan orangutan dan hutan tropis Indonesia. Tahun 2007 mantan menteri lingkungan hidup jerman Jürgen Trittin mengambil alih sebagai pelindung perkumpulan ini.

Sebagai salah satu anggota di dalam dewan organisasi amal jerman, BOS Jerman (saya singkat BOS J) wajib melaporkan secara transparan penggunaan uang dari para penyumbangnya. Saat ini BOS J mempunyai 500 anggota, 520 sponsor & 2.384 'orangtua asuh' untuk orangutan & ikut juga memikul tanggung jawab untuk merawat lebih dari 700 orang utan di stasiunnya , membayar gaji para pekerja & pengembalian orangutan ke habitatnya.

Orangutan sebagai hewan primata & mamalia, yang dari DNA nya (96,4%) mempunyai hubungan kekerabatan dekat dengan manusia, nasibnya masih selalu mengenaskan. Populasinya yang tersebar di Sumatra dan Kalimantan setiap tahunnya semakin berkurang, karena banyaknya eksploitasi hutan yang dilakukan secara berlebihan. Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, pabrik kertas, pertambangan gelap, penebangan liar & juga kebakaran hutan, yang sepertinya memang disengaja untuk kepentingan pihak tertentu. Semua ini menjadi penyebab utama deforestasi hutan. Akibatnya banyak tumbuhan & satwa yang punah atau kalaupun masih ada, jumlah mereka sudah masuk dalam kategori "lampu merah", seperti halnya orangutan. Menurut data dari WWF Indonesia & OrangUtan Information Center jumlah mereka diperkirakan kurang dari 40.000 ekor. Selain karena rusaknya habitat mereka, lamanya pola asuh anak oleh induknya (5-7 tahun), juga menjadi penyebab menurunnya populasi mereka. Apalagi orang utan betina hanya melahirkan 1 anak (2 anak, jarang sekali terjadi).

Beberapa kali saya dan suami menonton film dokumentar orangutan di TV yang dibuat oleh BOS Foundation, membuat hati kita sangat miris & sedih melihat nasib orang utan sewaktu mereka dibawa ke stasiun perawatan dan rehabilitasi di Samboja Lestari atau Nyaru Menteng, Kalimantan Timur. Ada yang badannya sudah penuh luka dan kurus kering, ada yang bulunya sudah rontok, matanya buta, kecanduan rokok, tidak bisa jalan karena kegemukan, dll, bahkan ada yang dikomersilkan sebagai prostitusi. Kadang-kadang mereka mati di dalam perjalanan karena lukanya yang parah. Memang benar, manusia adalah predator utama untuk orang utan. Seringkali para pekerja BOS harus ribut dengan si pemilik dan juga aparat keamanan yang menjadi backingnya, sewaktu orang utan diambil dari pemiliknya. Benar-benar tidak mudah pekerjaan petugas itu, di mana kesadaran kita masih sedikit untuk melindungi hewan yang menjadi maskot negara kita. Dan juga hukum yang belum bisa sepenuhnya dijalankan untuk para pelakunya, walaupun keberadaan orang utan dilindungi dengan UU 5 Thn.1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati & Ekosistemnya.

Di Samboja Lestari orang utan tersebut dikarantena terlebih dulu selama 2 minggu. Mereka diperiksa kesehatannya, barangkali mengidap TBC atau hepatetis yang ditularkan manusia atau parasit lainnya. Setelah itu dipasang Mikrochip untuk lebih mudah mengenali mereka. Jika kondisi mereka sudah sehat, mereka dipindah ke rehabilitasi. Rehabilitasi tak ubahnya seperti sekolah untuk mereka. Di sini mereka akan diajari untuk mengenal kembali habitat asalnya. Mis.bagaimana mencari makanan, membuat sarang untuk tidur, mengenal hewan & tumbuhan beracun. Baru setelah mereka siap & sudah melewati  'translocation', mereka dikembalikan ke habitatnya.

Untuk menyelamatkan orang utan dari kepunahan, BOS Foundation (BOS F) pada thn.2010 menyewa lahan di Kehje Sewen dari pemerintah RI seluas 86.000 ha (860 km2) selama 90 tahun. Untuk bisa mendapatkan ijin pemakaian lahan itu, maka BOS F mendirikan PT. Restorasi Habitat Orang Utan Indonesia (RHOI). Dari luas lahan tersebut, hanya kira-kira 390 km2 yang cocok untuk 'back to nature' orang utan. Perjalanan yang ditempuh dari Samboja Lestari ke Kehje Sewen juga tidak mudah, perlu waktu 15 jam & untuk sampai ke Base Camp masih harus jalan kaki. Karena dari Topografi Kehje Sewen tidak menguntungkan untuk industri penebangan kayu & tidak adanya populasi besar dari orangutan liar, yang biasanya menjadi konflik untuk orang utan pendatang baru, makanya daerah ini dianggap aman untuk pengembalian orang utan ke asalnya. BOS F memperkirakan 130 ekor orang utan masih akan dilepaskan lagi ke habitatnya, sebagaimana yang telah mereka lakukan April 2012.

Sebagian hutan yang dimilki BOS F merupakan daerah suci untuk suku Dayak yang bermukim di sekitarnya. Makanya BOS F juga berterima kasih ke mereka, karena dengan itu daerahnya masih terlindungi. Suku Dayak ini hidupnya dari generasi ke generasi hanya sebagai petani, pemburu & pengumpul hasil rotan, madu atau sarang burung walet. Tidak hanya tenaga & pikiran yang telah dikeluarkan BOS F, tetapi juga uang (1 juta €) untuk melindungi daerah Kehje Sewen.

Walaupun tujuan dari BOS F & BOS J untuk membantu indonesia menyelamatkan orang utan dari kepunahan, bukan berarti niat & tindakan baik mereka langsung didukung penuh oleh pemerintah kita. Tidak jarang mereka mendapat hambatan karena birokrasi yang berbelit-belit dan dipersulit, seperti yang mereka alami belum lama ini, ketika BOS J mengirimkan peralatan kedokteran hewan yang berupa 22 senapan bius & 4 pistol seharga 27.000€ dari jerman ke Indonesia. Karena peralatan itu masih sangat mahal dan sulit mendapatkannya di indonesia, maka dipesanlah di jerman. Peralatan itu akan digunakan untuk memindahkan, menyelamatkan & mengembalikan orangutan ke asalnya. Tidak kurang dari 2 tahun lamanya baru kiriman itu akhirnya bisa diserahkan ke BOS F di Indonesia Maret 2014. Keterlambatan itu karena adanya penundaan permohonan dokumen yang diperbaharui oleh petugas di Indonesia, seperti polisi, menteri kehutanan, militer & bea cukai.

Belum lagi perundingan dengan kedutaan Indonesia yang memakan waktu berbulan-bulan lamanya & selalu disertai penyerahan dokumen-dokumen lainnya, walaupun pada waktu pengiriman lampiran semua dokumen penting yang berlaku sudah disertakan. Dengan adanya penyimpanan barang kiriman yang lama di indonesia, maka ongkos pun menjadi bertambah kira-kira 400€. Pungutan biaya itu seharusnya sudah bisa digunakan untuk kepentingan orang utan. Dengan adanya sistem birokrasi seperti ini, kita bisa membayangkan bagaimana nasib kelanjutan hidup orangutan yang memerlukan pertolongan. Waktu adalah nyawa ! Tanpa dukungan kita semua dan pemerintah Indonesia, kerja mereka tidak bisa maksimal.

Saya sebagai orang Indonesia terpanggil untuk turut serta memikul tanggung jawab demi kelangsungan hidup orangutan, sebisa yang saya mampu. Saya tidak mau dan tidak tega melihat habitat mereka dirusak dan ereka harus lari ke mana-mana untuk mencari makanan demi mempertahankan hidup. Bayi dan induknya harus berpisah. Berapa lama mereka harus hidup seperti ini terus ? Semua mata di dunia menyorot tindakan kejam kita terhadap mereka. Apakah kita tidak merasa malu ?

Mereka adalah milik kita. Mereka adalah keluarga kita. Berikanlah tempat yang seharusnya menjadi rumah mereka. Berbuatlah sesuatu untuk kelangsungan hidup mereka ! Jangan sampai anak cucu kita mengenal mereka hanya dari gambarnya.

Orangutan....nasibmu memang tidak sebaik saudaramu.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun