Mohon tunggu...
Salisa Amalia
Salisa Amalia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Communication and Islamic Broadcasting Student

Hanya ingin berbagi sedikit ilmu yang dimiliki. Semoga bermanfaat~

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Studi Kasus Twitter Menjadi Ruang Publik Baru dengan Teori Konvergensi Simbolik

9 Oktober 2021   21:48 Diperbarui: 9 Oktober 2021   22:03 1392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Secara garis besar, ruang publik dideskripsikan dalam tiga ranah penting yakni : (1) Ruang publik sebagai arena, bahwa ruang publik menyediakan basis komunikasi antar. masyarakat. (2) Ruang publik itu adalah publik itu sendiri, (3) Ruang publik adalah agen, Relasi antar ketiga ranah tersebut dalam ruang publik menghasilkan opini publik sebagai hasil kesepakatan dan partisipasi antar aktor dalam ruang publik.

Sedangkan ruang publik baru disini yang dimaksud adalah perkembangan internet, yaitu media sosial. Munculnya sosial media telah memunculkan adanya arena ruang publik baru bagi bagi masyarakat Indonesia. Internet yang disebutnya sebagai media baru, telah menjanjikan adanya forum-forum baru untuk pengembangan kelompok-kelompok minat atau interest groups. Dengan demikian, internet diharapkan mampu menjadi arena baru bagi wacana-wacana publik dan opini publik.  

Pada perkembangan selanjutnya ruang publik juga menyangkut ruang yang tidak saja bersifat fisik, tetapi juga ruang di mana proses komunikasi bisa berlangsung, seperti media massa pada saat itu dan internet saat ini. Terhadap kemunculan internet sebagai ruang publik baru kelas menengah Indonesia, hal itu sebenarnya bisa dilihat dari intensitas penggunaan sosial media sebagai alat utama media baru di Indonesia. Adapun media sosial utama yang menjadi trend di Indonesia seperti halnya WhatsApp, Instagram, Facebook, dan Twitter yang diakses melalui perangkat smartphone.

Sejatinya, ruang publik baru yang berbasiskan media sosial ini mampu melakukan transformasi masalah privat menjadi ruang publik yang kemudian untuk dikritisi satu sama lainnya tergantung pada isu yang diangkat. Selain halnya menawarkan proses intim dan respons yang cepat, keunggulan ruang publik yang ditawarkan dalam media sosial ini juga mampu menarik dukungan massa yang kuat. Hal itulah yang kerap kali berpotensi menciptakan adanya people power oleh citizen journalism karena hanya berdasarkan pada obrolannya di media sosial.

Morris dan Ogan melihat komputer dan internet sebagai bentuk media komunikasi baru yang memilki karakter dan perbedaan dengan media konvensional. Terdapat lima karakter yang membedakan media baru dengan media konvensional pada umumnya, diantaranya yaitu :

  • Packet Switcing. Salah satu bagian yang membedakan antara internet dengan media komunikasi yang lain. Packet switching memberikan cara yang berbeda dalam menyampaikan sebuah pesan. Dengan packet switching yang dimiliki internet, data yang berupa teks, gambar maupun suara dapat dikirimkan secara bersamaan, tanpa terkurangi sedikitpun.
  • Multimedia. Pesan yang dikirimkan melalui media internet dapat dikemas dalam berbagai bentuk multimedia, baik suara, gambar maupun video. Kesemuanya dapat disajikan secara bersamaan dan melalui beberapa channel.
  • Interactivity. Tidak semua media konvensional bersifat interaktif, dimana komunikator dan komunikan bisa saling berhubungan secara real time sebagaimana apabila keduanya bertatap muka secara langsung. Dalam konteks media baru sebagai sebagai sumber informasi, pengguna dapat menjadi producer dan consumer dalam waktu yang bersamaan.
  • Synchronicity. Pertukaran pesan yang dilakukan melalui media internet tidak hanya memindahkan pesan begitu saja, tetapi dengan media internet, tidak ada lagi batasan ruang dan waktu, semuanya dapat dilakukan kapan dan dimana saja.
  • Hypertextuality. Media internet menyajikan sesuatu yang berbeda dengan media konvensional, baik segi mengkonsumsinya maupun cara memproduksinya. Dalam memproduksi sebuah pesan di media konvensional, diharuskan mengikuti aturan-aturan pada umumnya. Hal ini berbeda dengan media online yang menyajikan pola produksi dan konsumsi pesan yang tidak sama dengan media konvensional. Pengguna media online dibebaskan menentukan cara mengkonsumsi maupun memproduksi pesan yang ada, sesuai dengan yang diharapkan penggunanya.

Dengan adanya ruang publik baru yang berupa ruang publik virtual dianggap sebagai rruang publik yang paling ideal dan lebih menjamin terciptanya demokratisasi. Walau demikian, tidak selamanya ruang virtual (virtual space) bisa dianggap sebagai ruang publik (public sphere) virtual sebagaimana dimaksudkan oleh Habermas. Menurut Nasrullah (2012:38), hal ini karena internet bisa dikatakan hanya merupakan medium yang digunakan untuk diskusi atau debat politik, pertukaran ide atau gagasan, sampai membangun wacana sebagai jawaban atas realitas politik.

Akan tetapi, fungsi ini sama juga dengan penggunaan internet sebagai sarana virtual semata. Sementara virtual sphere, lebih relevan terwujud melalui grup-grup diskusi maupun forum perbincangan politik sebagai respon atas realitas politik yang terjadi. Dalam hal ini telah berlangsungnya percakapan yang memunculkan simbol / fantasi yang ditanggapi oleh kelompok-kelompok lain, sehingga penerima dan pemberi pesan satu sama lain mengerti maksud pesan yang disampaikan dan memiliki tujuan yang sama. Konsep inilah yang sesuai dengan Teori Konvergensi Simbolik.

Teori Konvergensi Simbolik (Symbolic Convergence Theory) dari Ernest Bormann fokus pada aktivitas simbolik berupa perbincangan para netizen di komunitas virtual. Menurut Johan F Cragan, akar konvergensi simbolik juga bisa digunakan dalam komunikasi kelompok kecil, kepentingan publik, massa dan komunikasi politik. Ada pun yang menjadi objek penelitiannya adalah konvergensi simbolik yang berlangsung dalam perbincangan politik di ruang publik baru komunitas virtual. Konvergensi simbolik yang dimaksud merupakan proses berbagi realitas simbolik umum melalui pola berbagi tema fantasi yang berlangsung di komunitas situs media sosial, salah satunya Twitter yang terdapat dalam studi kasus ini.

Sumber Referensi : 

Habermas, Jurgen. (2015). The Structural Transformation of the Public Sphere. Cambridge: Polity Press.

Jati, Wasisto Raharjo. (2016). Cyberspace, Internet, dan Ruang Publik Baru: Aktivisme Online Politik Kelas Menengah Indonesia. Jurnal Pemikiran Sosiologi Vol. 3 No. 1.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun