Mohon tunggu...
Salisa Amalia
Salisa Amalia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Communication and Islamic Broadcasting Student

Hanya ingin berbagi sedikit ilmu yang dimiliki. Semoga bermanfaat~

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Contoh Studi Kasus Interaksionisme Simbolik: "Fenomena Lampung yang Identik dengan Begalnya"

10 September 2021   14:33 Diperbarui: 10 September 2021   16:12 16659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang 

Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan budaya yang suku bangsanya beragam, sehingga bangsa Indonesia sering disebut bangsa yang multietnis. Pemaknaan terhadap perbedaan etnik tersebut penting untuk diketahui mengingat Indonesia adalah negara multietnis yang sangat rentan dengan konflik, baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi. Hal ini disebabkan akibat tindakan manusia yang berawal dari bagaimana manusia memaknai objek, peristiwa dan nilai menurut kapasitas budaya yang dimiliki masing-masing. Hasil pemaknaan tersebut akan menjadi sistem nilai yang menjadi legalitas kebenaran dalam setiap tindakan manusia.

Masalah utama dari kemajemukan etnik adalah munculnya prasangka antaretnis. Konflik inilah yang nantinya menumbuhkan nilai etnosentrisme, yaitu memahami hanya nilai-nilai (budaya) yang dimilikilah yang memiliki kebaikan, kebenaran dan keunggulan. Bahkan akan berkembang paham steroetip, yaitu selalu memandang negatif terhadap nilai-nilai yang dimiliki oleh anggota etnik (budaya) lain. Akibatnya tumbuh prasangka-prasangka etnik yang dalam bentuk ekstremnya adalah konflik antaretnis dalam bentuk pertikaian, bahkan peperangan.

Salah satu kasus yang komperhensif dengan keadaan ini, yaitu tentang pandangan kepada etnik Lampung yang kerap dikenal dengan khas “begalnya”. Paradigma seperti itu yang akhirnya menimbulkan prasangka buruk terhadap masyarakat yang beretnis Lampung. Jika melihat realitanya saat ini, di manapun etnik Lampung itu tinggal, anggapan pertama yang terlintas adalah berasal dari etnik yang buruk, yaitu rawan begal. Untuk itu peneliti akan melihat bagaimana individu dengan berbagai pengalaman interaksi memberi makna pada perbedaan etnik yang kemudian menghasilkan pendekatan interaksi simbolik.

Pembahasan

Teori interksionisme simbolik (symbolic interactionism) diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan George Herbert Mead tahun (1863 – 1931). Teori interaksi simbolik berangkat dari pemikiran bahwa realitas sosial merupakan sebuah proses yang dinamis. Individu-individu berinteraksi melalui simbol, yang maknanya dihasilkan dari proses negosiasi yang terus-menerus oleh mereka yang terlibat dengan kepentingan masing-masing.

Dalam kehidupan sosial, manusia menggunakan simbol untuk mempresentasikan maksud mereka, demikian juga sebaliknya. Proses penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak yang terlibat dalam interaksi sosial pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka. Individu memilih perilaku sebagai hal yang layak dilakukan, berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada. Pemahaman terhadap simbol harus dipahami bahwa simbol adalah objek sosial yang muncul dari hasil kesepakatan bersama dari individu-individu yang menggunakannya. Individu-individu tersebut memberi arti, menciptakan, dan mengubah objek di dalam interaksi.

Interaksionisme simbolik pada intinya menjelaskan tentang metode individu yang dilihat bersama dengan orang lain, menciptakan sistem simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia. Pemaknaan individu terhadap lingkungannya berlangsung dalam proses kurun waktu yang panjang. Berangkat dari teori interaksionisme simbolik oleh Herbert Blumer dan George Herbert Mead, peneliti mencoba menguraikan bagaimana individu dengan berbagai pengalaman interaksi memberi makna pada etnik Lampung yang identik dengan begalnya.

Aksi pembegalan masih saja marak terjadi di Indonesia. Parahnya lagi, ada sejumlah daerah di Indonesia yang dikenal dengan stigma begalnya, salah satunya Lampung. Sejak dahulu stigma Lampung identik dengan para begal seolah tak terbantahkan, menyusul banyaknya kasus-kasus pembegalan di berbagai kota termasuk Jakarta yang masih saja terjadi. Jika terjadi kasus begal yang tertangkap beraksi di Jakarta, kebanyakan dari mereka mengaku sebagai warga Lampung atau berasal dari Lampung. Sehingga kesan orang luar Lampung terhadap warga Lampung pun jadi sedikit agak miring.

Terkait begal dan pencuri kendaraan bermotor yang juga merambah wilayah Jakarta, Depok, dan Tengerang yang konon banyak ber-KTP Lampung, sebenarnya banyak hal yang harus diluruskan. Misalnya, penyebutan oleh polisi “begal kelompok Lampung”. Kalaupun faktanya memang benar ada kelompok begal ber-KTP Lampng, penyebutan “begal kelompok Lampung” tentu kurang pantas dan merugikan. Itu adalah semacam stigma atau label (meaning) yang jelas merugikan warga Lampung, khususnya yang tak pernah terlibat dalam kasus kriminal. Jika diibaratkan, hal ini sesuai dengan peribahasa “nila setitik, rusak sebelanga”, sebagian kecil bagian masyarakat yang terlibat, tetapi semuanya terkena getahnya.

Yang paling berpengaruh dalam membentuk identitas etnis atau suku adalah lingkungan keluarga dan lingkungan etnis suku yang mengajarkan nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tersebut nantinya dibawa kemana pun mereka berada, termasuk ketika merantau ke tempat yang mayoritas kesukuannya berbeda. Jika seseorang pendatang yang pergi ke tempat yang jauh dari lingkungan asalnya, maka secara tidak langsung akan terbentuk identitas dari orang lain terhadap kita (looking the glass).

Hal tersebut dapat terlihat ketika orang berasal dari Lampung merantau ke luar Lampung atau sekedar pergi ke Jakarta, pertanyaan perkenalan rasanya sudah berubah. Dulu ketika orang Lampung bertemu dengan orang baru di Luar Lampung, yang ditanya mungkin berkaitan dengan gajah Way Kambas Lampung. Namun semakin ke sini, terlihat perubahan yang cukup mengecewakan. Pertanyaan perkenalannya akan berubah menjadi “Dari Lampung? Di sana banyak begal ya?”, “Wah, Lampung begal ya?” atau pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya.

Hal yang mungkin terjadi juga ketika orang luar Lampung berkenalan dengan orang berasal dari Lampung, mereka tidak akan menanyakan hal demikian. Tetapi dalam pemikiran (thought) mereka, hal pertama yang ada di benak orang Jakarta misalnya terhadap orang Lampung yaitu berasal dari daerah rawan begal. Awalnya mungkin mengagetkan mengetahui respons orang lain dalam memandang budaya etnis lain, namun perlahan-lahan akan mengerti tentang perspektif orang lain terhadap etnis kita. Permasalahan sebaliknya yang mungkin juga bisa terjadi ketika orang Sumatera berkomunikasi dengan orang Jawa. Di mana mereka pada awalnya akan melihat bahwa gaya bicara orang Sumatera yang keras seperti membentak, namun perlahan-lahan mereka akan mengerti bahwa memang seperti itulah budaya mereka.

Konflik (prasangka) dapat muncul ketika terdapat perbedaan yang tajam antara apa yang kita pikirkan tentang diri kita dan yang orang lain pikirkan tentang diri kita. Perbedaan persepsi tersebut dapat menyebabkan kesalahpahaman (misscommunication) dalam proses komunikasi. Komunikasi yang seharusnya menghasilkan pemahaman bersama (mutual understanding) antara komunikator dan komunikan, justru sebaliknya menghasilkan kesalahpahaman, prasangka, konflik dan bahkan pertikaian.

Prasangka tersebut disebabkan oleh; (1) Kecenderungan berprasangka dengan orang yang bersaing dengan kita, apalagi ia berasal dari kelompok etnik lain; (2) Sikap etnosentrisme, yaitu cenderung mempengaruhi pandangan bahwa orang luar kelompok etnik lebih buruk dari orang dalam kelompok etnik; (3) Menilai orang yang tidak dikenal dengan stereotip, walaupun stereotip tersebut tidak sepenuhnya benar, namun tetap menjadi dasar penilaian yang mudah digunakan; (4) Cenderung menetapkan jarak sosial dan diskriminasi antara orang dalam dan luar etnik; (5) Menggeneralisasi kelompok lain berdasarkan pengalaman terhadap beberapa individu; (6) Tuntutan kemajuan pembangunan; misalnya modernisasi, pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang menuntut kualifikasi SDM yang profesional sehingga menggeser kelompok etnik tertentu.

Menurut Martin dan Nayakama (2008:92), identitas dapat berdasarkan gender, seks, usia, etnik dan ras, agama, klas sosial, dan sebagainya. Berbicara masalah etnik tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan masalah identitas, karena ientitas adalah konsep diri kita. Identitas dikembangkan melalui proses yang tidak mudah,tetapi melalui proses yang rumit dalam kurun waktu yang lama. Terkadang kita tidak sekedar memiliki satu identitas, tetapi multi identitas yang dipengaruhi oleh masyarakat dan budaya secara dinamis.  Peneliti rasa simbolik terhadap suatu etnis dan membentuk identitas inilah yang sesuai dengan pemikiran George Herbert Mead dalam Teori Interaksionisme Simbolik.

Blumer mengembangkan lebih lanjut gagasan Mead dengan mengatakan bahwa ada lima konsep dasar dalam interaksi simbolik, yaitu: (1) Konsep diri (self), memandang manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak di bawah pengaruh stimulus, melainkan organisme yang sadar akan dirinya. (2) Konsep perbuatan (action), karena perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri sendiri, maka perbuatan itu berlainan sama sekali dengan gerak makhluk selain manusia.  (3) Konsep objek (object), memandang manusia hidup di tengah-tengah objek, (4) Konsep interaksi sosial (social interaction), interaksi berarti bahwa setiap peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain, mencoba memahami maksud orang lain. (5) Konsep tindakan bersama (joint action), artinya aksi kolektif yang lahir dari perbuatan masing-masing peserta kemudian dicocokan dan disesuaikan satu sama lain.

Kesimpulan Blumer bertumpu pada tiga premis utama, yaitu: (1) manusia bertindak berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu bagi mereka; (2) makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain; (3) makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung.

Berangkat dari Teori Blumer tersebut, dapat kita komperhensifkan dengan fenomena Lampung yang identik dengan begalnya. Pada dasarnya memang terdapat konsep aksi yang dahulu dilakukan orang Lampung, yaitu aksi pembegalan itu sendiri. Lalu semakin ke sini, semakin marak juga kasus pembegalan di luar Lampung, khususnya Jakarta, yang para pelakunya mengaku berasal dari Lampung. Hal itulah yang menyebabkan stigma muncul bahwa begal berasal dari lampung.

Tentu saja hal ini tidak terlepas dari interaksi sosial yang terjadi di masyarakat. Terdapat kesepakatan dalam individu dan sosial yang didefinisikan melalui interaksi dengan orang lain. Tetapi yang menjadi permasalahannya, masih terdapat konsep diri dalam individu yang bertolak belakang dengan hasil meaning yang dibentuk. Untuk sebagian warga Lampung yang tidak pernah terlibat dalam aksi pembegalan, mungkin mereka akan merasa bahwa peran yang diberikan orang lain terhadapnya tidaklah tepat.

Pada dasarnya Indonesia memiliki keberagaman etnik yang unik. Pemahaman-pemahaman terhadap suatu etnik seperti sudah tumbuh sejak mereka berada dalam lingkungannya. Walaupun mereka diajarkan untuk merasa bangga menjadi anggota etnik suku tertentu, namun mereka juga ditanamkan untuk melihat perbedaan secara positif dan proposional pada etnik lainnya.

 

 

Sumber Referensi :

Bachtiar, Wardi. 2006. Sosiologi Klasik. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Dadi Ahmadi. 2008. Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar. Mediator

Laksmi. 2017. Teori Interaksionisme Simbolik dalam Kajian Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Pustabiblia: Journal of Library and Information Science.

Sigit, Tripambudi. 2012. Interaksi Simbolik Antaretnik Di Yogyakarta. Veteran University of National Development Yogyakarta.

Soeprapto, Riyadi. 2002. Interaksi Simbolik, Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta: Averrpes Press dan Pustaka Pelajar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun