Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 Tentang Bank Tanah ("PP 64/2021") merupakan peraturan pelaksanaan atau peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Cipta Kerja ("UU Cipta Kerja"). Bank Tanah merupakan lembaga baru yang dibentuk dan diamanatkan oleh UU Cipta Kerja.Â
Hal ini menjadi sangat baru bagi Indonesia. Bank Tanah dibentuk oleh pemerintah pusat yang diberi kewenangan khusus untuk mengelola tanah. Kemunculan regulasi ini menimbulkan banyak penolakan dari masyarakat. UU Cipta Kerja itu sendiri dalam pembentukannya penuh dinamika, penolakan, hingga mengakibatkan demo yang panjang dan besar dari masyarakat. UU Cipta Kerja dibuat hanya untuk kepentingan investasi dan untuk memperkaya golongan tertentu.Â
Hal ini bisa dilihat dari norma-normanya yang menghapuskan aturan-aturan yang melindungi buruh, lingkungan, dan sebagainya. Sebaliknya, UU Cipta Kerja justru memuat aturan-aturan yang mempermudah usaha dan investasi. Adapun aturan tentang Bank Tanah yang merupakan aturan turunan dari UU Cipta Kerja berarti memuat aturan untuk menunjang UU Cipta Kerja, artinya untuk menunjang usaha dan investasi serta memperkaya golongan tertentu.
Konflik agraria merupakan permasalahan yang sudah ada sejak dulu kala. Bahkan pada masa kolonial, masalah tanah ini disebut sebagai masalah kolonial yang sangat besar. Tanah adalah komoditas. Tanah juga memberi penghidupan bagi manusia seperti untuk tempat tinggal, berkebun, bertani, berdagang, berusaha, dan lainnya. Karena itu tanah sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat.Â
Namun, permasalah utamanya yakni perbedaan akses untuk mendapatkan tanah itulah yang menyebabkan hanya orang-orang kaya atau pemilik modal saja yang memonopoli hak-hak atas tanah. Sehingga terjadi kesenjangan ekonomi yang semakin jauh.Â
Maka muncul gagasan reforma agraria, yakni: "Penataan kembali struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, dan buruhtani tak bertanah."Â
Salah satu program reforma agraria adalah landreform yang merupakan redistribusi tanah yang timpang agar menjadi lebih adil.Â
Setelah masyarakat mendapatkan tanah, reforma agraria juga akan menunjang penggunaan tanah secara berkelanjutan seperti memberi modal, menyediakan jasa advokasi, memfasilitasi informasi baru dan teknologi, memberi pendidikan dan pelatihan, serta akses terhadap bermacam sarana produksi dan bantuan pemasaran. Dengan begini, masyarakat dapat bertahan dengan penggunaan tanahnya dan bisa mencapai kebutuhan ekonomi.
Namun, terdapat beberapa poin mengapa PP 64/2021 tentang Bank Tanah ini mengancam pelaksanaan reforma agraria. Bank Tanah ini mengadopsi asas domein verklaring. Asas ini menganggap tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya maka menjadi tanah milik negara.Â
Asas ini telah dihapus oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 Tentang Pokok-Pokok Agraria ("UUPA") dengan ketentuan hak menguasai oleh negara negara (bukan hak milik) atas tanah untuk mmencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.Â
Meskipun ketentuan UUPA ini juga memiliki banyak kekuarangan tapi tentu saja pengembalian asas domein verklaring adalah yang terburuk. Asas ini digunakan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk mengakuisisi tanah masyarakat. Maka dapat dilihat bahwa asas domein verklaring ini memiliki karakteristik kolonialisme. Asas ini dapat dilihat dari cara kerja Bank Tanah sebagai milik negara. Bahkan dipersempit lagi menjadi milik pemerintah.
Dalam Pasal 1 dan 2 PP 64/2021 mengatur bahwa Badan Bank Tanah dibentuk oleh pemerintah pusat, bertanggung jawab kepada presiden, dan kekayaannya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Kemudian Bank Tanah ini dapat memperoleh tanah yang kemudian tanah-tanah tersebut dapat ia gunakan untuk jual-beli, sewa, kerja sama usaha, hibah, tukar menukar, dan lainnya yang tidak terbatasi.Â
Pemanfaatan tanah tersebut tertuang dalam Pasal 14 PP 64/2021. Meskipun tidak disebutkan dalam peraturannya tapi hak-hak tersebut sama saja dengan negara seolah-olah punya hak milik tanah.Â
Padahal sesuai Pasal 21 ayat (1) UUPA hak milik tanah hanya dibolehkan untuk warga negara Indonesia (perseorangan). Hak milik merupakan hak yang paling tinggi di antara hak atas tanah lainnya. Dengan pemanfaatan yang telah disebutkan tersebut tentu saja menghasilkan banyak kekayaan yang nantinya akan masuk ke kantong pemerintah dan para pengusaha. Hal ini sama saja dengan praktik monopoli kecuali lebih parah lagi, praktik ini dilakukan atas nama negara.
Negara yang dalam hal ini dilakukan oleh pemerintah pusat dengan kewenangan dan kuasa begitu besar dimilikinya dapat memperoleh tanah dengan leluasa sesuai Pasal 6 dan 7 PP 64/2021. Bank Tanah dapat memperoleh tanah hasil penetapan pemerintah, tanah bekas hak, kawasan dan tanah telantar, pelepasan kawasan hutan, tanah timbul, reklamasi, tanah bekas tambang, tanah pulau-pulau kecil, dan lainnya.Â
Hal ini berpotensi bagi lembaga negara ini untuk merampas tanah masyarakat. PP 64/2021 jika dilihat struktur dan tata bahasa secara keseluruhannya, tidak sama sekali Bank Tanah ini diperuntukan sebagai pendistribusian dan pengadaan tanah (landreform) untuk masyarakat apalagi yang berpenghasilan rendah.Â
Misalnya pada Pasal 17 PP 64/2021 mengatakan jaminan ketersediaan tanah bagi hal-hal yang disebutkan dengan huruf a sampai y, jaminan ketersediaan tanah untuk masyarakat baru dicantumkan pada huruf p.Â
Ini menunjukkan bahwa landreform bukanlah tujuan pembentukan sistem Bank Tanah ini. Pasal 15 yang mengatur tentang pendistribusian tanah, menempatkan distribusi untuk masyarakat di poin paling akhir dengan kedudukan pertama yakni distribusi tanah untuk kementerian/lembaga.Â
Menurut penulis, sebenarnya pemerintah terang-terangan pada peraturan ini bahwa Bank Tanah bukan untuk menyediakan tanah bagi masyarakat.Â
Sebaliknya, peraturan ini menekankan pada penguasaan besar oleh pemerintah dengan dalih untuk kepentingan umum dan pembangunan nasional. Praktik monopoli yang dilakukan pemerintah ini menempatkan rakyat kecil semakin tidak bisa mengakses tanah sehingga yang miskin semakin miskin.
Berakar dari permasalahan di atas, peraturan Bank Tanah ini mendorong liberalisasi pasar tanah dan kemudahan badan usaha asing menguasai tanah. Pasal 19 menyebutkan Bank Tanah menjamin dan mendukung ketersediaan tanah untuk pembangunan dalam rangka peningkatan ekonomi dan investasi. PP 64/2021 melihat tanah sebagai komoditas yang mudah diperjualbelikan dan dimonopoli sekelompok orang.Â
Kelompok pemilik modal, kelompok oligarki. Seperti yang telah dijelaskan di awal, seluruh ketentuan dalam UU Cipta Kerja memberi kemudahan berusaha dan investasi. Pengaturan yang mencakup berbagai sektor saling harmoni memberi kemudahan perizinan berusaha dan investasi tanpa memperdulikan keselamatan dan keadilan.Â
Begitupun Pasal 23 PP 64/2021 yang menyebutkan langsung bahwa Bank Tanah mempunyai kewenangan membantu memberikan kemudahan perizinan berusaha/persetujuan.Â
Padahal UUPA selalu mencantumkan penggunan tanah untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa PP 64/2021 tidak memprioritaskan hak rakyat sama sekali. Jika melihat keseluruhan PP 64/2021, tidak ada sama sekali memberi afirmasi kepada masyarakat miskin.
Padalah Pasal 6, 10, dan 15 UUPA mengatur asas fungsi sosial hak atas tanah. Penggunaan tanah dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah dan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat yang seluruhnya ditujukan untuk tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.Â
Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk menjalankan pemerintahan. Pemerintah diberi wewenang oleh rakyat untuk menjamin keadilan tanah seperti telah disebutkan fungsi sosial atas tanah. Pemerintah diberi mandat oleh rakyat melalui regulasinya menjamin hak atas tanah untuk seluruh masyarakat secara adil.Â
Maka rakyat miskin yang tentu saja memiliki akses sangat terbatas atas tanah seharusnya diberi perlindungan hak berupa afirmasi dari negara. Namun, dalam PP 64/2021 yang mengatur tentang Bank Tanah tidak memberi afirmasi itu melainkan lebih mengutamakan kepentingan usaha pemerintah ataupun swasta.
Dari paparan di atas, terlihat PP 64/2021 telah melanggar beberapa ketentuan UUPA seperti penghapusan domein verklaring, penyelewengan hak menguasai oleh negara dan fungsi sosial hak atas tanah, Bank Tanah juga tidak melakukan landreform sesuai dengan Reforma Agraria.Â
PP 64/2021 tidak melakukan penataan kembali struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah demi kepentingan rakyat kecil. Â Melainkan Bank Tanah justru menghidupkan kembali konflik agraria pada zaman kolonial yaitu asas domein verklaring. Hal ini justru mematikan pelaksanaan Reforma Agraria.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H