Beberapa hari belakangan saya membaca maraknya penyebaran surat ungu (tulisan) sesorang rekan mahasiswa Phd di Australia untuk Ahok dan pagi ini bangun tidur (12/11/2016) saya membaca sebuah berita di harian Republika tentang buku (berupa pdf) yang ditulis Ahok. Dua tulisan yang menarik diulas, merangsang saya untuk sedikit ikut berdiskusi sembari mengisi kekosongan waktu menunggu ujian akhir.
Saya melihat sepertinya ada kesalahpahaman (saya enggan menyebutnya kedangkalan) dalam melihat persoalan terkait Ahok, kesalahpahaman yang mungkin kita lakukan semua (pihak yang menentang, dan juga pihak yang membelanya). Sebuah api kesalahpahaman yang jika kita terus kobarkan dengan saling mengunggulkan pendapat masing-masing (ego), mencela pendapat lawan, dan enggan menjadi bagian yang menyiramkan air kesejukan, maka benarlah kekhawatiran banyak pihak bahwa NKRI bisa jadi hanya akan menjadi sejarah panjang konflik tak terhentikan sebagaimana saat ini terjadi di Iraq, Syiria and juga Pakistan.Â
Empat tahun lebih tinggal di UK saya banyak berteman dan mendengar cerita dari rekan-rekan dari negara-negara konflik tersebut, sekalipun saya tidak pernah tahu secara langsung namun sungguh apa yang terjadi di negara mereka adalah sangat menyedihkan. Kekerasan ego dan sektarianisme, kerakusan harta dan kekuasaan, sekaligus adanya peran nyata pihak esternal yang menciptakan sekaligus mengambil keuntungan dari konflik di negara-negara tersebut adalah akar masalahnya.
Kesalahpahaman pertama adalah benarkah penolakan Ahok karena penolakan umat muslim Indonesia terhadap pemeluk agama lain ataupun penolakan terhadap etnis tionghoa? Benarkah pula penolakan Ahok dilandasi keinginan untukmenghancurkan NKRI?Â
Sejarah panjang Indonesia sudah menunjukkan bahwa muslim Indonesia sangat mencintai NKRI, menerima Bhineka Tunggal Ika, dan tidak memiliki kebencian terhadap pemeluk agama lain ataupun etnis Tionghoa. Tanpa mengesampingkan perjuangan dari para pahlawan yang beragama non Islam, pangeranDiponegoro, tuanku Imam Bondjol, Cut Nya’ Dhien, KH. Ahmad Dahlan, bung Tomo, Jendral Soedirman, dan puluhan lagi nama pahlawan nasional adalah bukti nyata bagaimana darah para pejuang muslim telah tertumpah di bumi pertiwi Indonesia untuk merebut sekaligus mempertahankan kemerdekaan Indonesia.Â
Bagaimana muslim Indonesia menerima perubahan Piagam Djakarta adalah bukti yang sangat nyata muslim Indonesia menerima NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Sepanjang sejarah panjang Indonesia pula, tidak pernah ada kegaduhan yang bermakna penolakan terhadap penetapan pahlawan nasional ataupun pejabat yang beragama non-Islam. Mulai dari jaman BPUPKI, Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, bahkan di Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla, sepertinya tidak pernah ada penolakan terhadap pejabat yang beragama non-Islam.Â
Tidak perlu melongok terlalu jauh, saat inipun walikota Solo juga non-Muslim dan masyarakat Solo yang mayoritas muslim (bahkan pondok pesantren Ngruki yang identik dengan garis keras juga ada di Solo) juga menerima dan mematuhinya. Jika dalam sejarah panjang Indonesia ada percikan-percikan kecil kerusuhan karena kebencian agama ataupun kebencian terhadap etnis tionghoa rasanya terlalu kecil untuk menggambarkan itulah Indonesia ataupun itulah muslim Indonesia. Sekali lagi, sejarah panjang Indonesia menjadi bukti nyata bahwa MUSLIM INDONESIA MENCINTAI NKRI.Â
Begitu pula dalam kasus Ahok, berapa banyak muslim yang membelanya adalah bukti lain bahwa penolakan ahok bukan dilandasi kebencian agama ataupun penolakan terhadap etnis tionghoa. Memang ada beberapa pihak yang dilandasi kerakusannya akan kekuasaan memanfaatkan penolakan terhadap ahok, namun selama ini fakta sudah menunjukkan jika pengaruh mereka terlalu kecil, bahkan untuk menggerakkan dan menyatukan golongan mereka sendiri. Oleh karena itu, melihat banyaknya kontroversi gaya dan kebijakan ahok, masifnya penolakan ahok dan kecilnya pengaruh orang-orang rakus tadi, maka sekali lagi, PENOLAKAN AHOK DISEBABKAN GAYA DAN KEBIJAKAN KEPEMIMPINANNYA DAN BUKAN DILANDASI KEBENCIAN AGAMA ATAUPUN PENOLAKAN TERHADAP ETNIS TIONGHOA.
Di sinilah menariknya pula, saya mengamati (dari media) bagaimana gaya komunikasi dan isi bahasa ahok, dan ditegaskan oleh curahan isihatinya yang termuat di Republika, saya menangkap adanya kesan insekuritas dalam dirinya. Hal ini bisa dipahami mungkin ahok pernah mendapat pengalaman traumatis mendapat perlakukan diskriminatif karena agama dan etnisnya.Â
Hal inilah yang kemudian membuat ia membentuk gambaran diri bahwa ia adalah representasi dari agama dan etnis tertentu sehingga serangan terhadap dirinya adalah serangan terhadap agama dan etnisnya. Sebuah gambaran yang entah karena efek media atau kurang dewasanya kita, maka beberapa orang dari baik pihak yang mengkritik maupun yang membelanya kemudian menangkap hal yang sama. Inilah kesalahpahaman kedua, yaitu melihat ahok sebagai representasi agama dan etnis tertentu.
Namun demikian, kembali melihat sejarah panjang Indonesia dan bagaimana catatan media tentang kontroversi kepemimpinan Ahok, maka harus dilihat bahwa Ahok adalah Ahok. Ahok harus dilihat sebagai individu gubernur Ahok, bukan representasi agama dan etnis tertentu. Sehingga yang mengkritik ataupun yang membela harus selalu ingat akan koridor ini, bahwa sekali lagi AHOK ADALAH AHOK, BUKAN REPRESENTASI AGAMA DAN ETNIS TERTENTU. Jika koridor ini dipatuhi, maka rajutan NKRI akan terjaga.