Muhadjir dan beberapa konsep pendidikannya
Ada beberapa hal menarik tercatat apabila berbicara tentang pak Muhadjir dan pendidikan ala Muhammadiyah. Pertama tentu tentang konsep pendidikan itu sendiri. Dalam suatu kesempatan, pernah penulis mendengar pak Muhadjir berkata dan menjelaskan mengapa UMM yang telah menjadi besar, satu dari sangat sedikit PT/PTS yang berakreditasi A, tidak menaikkan grade seleksinya setinggi mungkin sehingga mahasiswa yang masuk benar-benar mahasiswa cerdas sebagaimana ITB, UI ataupun UGM, selain mengapa pula tidak menaikkan biaya SPP-nya minimal setara SPP Universitas Brawijaya Malang yang adalah universitas negeri. Jawaban beliau mengena dan terkenang oleh penulis.
Kutipan bebasnya: “Sekolah yang baik adalah yang masuknya adalah heterogen keluarnya homogen, yang masuk ada yang cerdas dan ada yang kurang tapi semua keluarnya cerdas. Jika sekolah hanya menerima yang cerdas sehingga keluarnya cerdas, lalu apa yang dilakukan sekolah tersebut? Sekolah-sekolah Muhammadiyah juga tidak pernah berfikir mencari uang dengan hanya menerima siswa hanya dari keluarga mampu, jika itu terjadi, tidak ada ceritanya muhammadiyah membangun di pelosok, rusak ibadah jika hanya mencari uang”.
Awalnya penulis sedikit tidak setuju dengan pandangan ini dan berfikir itu artinya mutu lembaga pendidikan tidak berkembang dan artinya lembaga pendidikan, terutama PT-PT dibawah muhammadiyah selamanya tidak akan mampu menyaingi ITB, UI ataupun UGM. Namun demikian seiring waktu pandangan penulis berubah, terlebih bicara pendidikan dasar.
Selain dirubah oleh UMM dan juga lembaga-lembaga pendidikan dibawah Muhammadiyah yang membuktikan diri mampu meraih banyak prestasi sekalipun masuknya heterogen dan SPP-nya relatif murah, juga oleh pengalaman penulis yang 4 tahun ini berkesempatan merasakan pendidikan di UK, baik untuk pribadi maupun pendidikan dasar untuk anak penulis.
Sekolah negeri hingga setingkat SMA adalah gratis di UK, sedangkan untuk perguruan tinggi maka negara menyediakan pinjaman bagi warga negaranya yang harus dibayarkan apabila peminjam sudah mendapat pekerjaan dengan nominal gaji tertentu yang memadai untuk hidup sejahtera (bila dihitung perbulannya tetap lebih besar dari beasiswa DIKTI/LPDP dari pemerintah Indonesia).
Menarik adalah bicara tentang pendidikan dasarnya. Semua sekolah di UK memiliki standar yang secara umum sama, sehingga tidak ada namanya sekolah unggulan non unggulan yang sering sebenarnya lebih berkorelasi dengan tingkat kemahalan dan kemudian fasilitas yang disediakan. Tidak ada yang namanya seleksi masuk sekolah, apalagi setingkat SD, termasuk tidak ada psikotest yang jamak terjadi di Indonesia yang penulis sebagai psikolog juga “kagum” (baca: mempertanyakan) dengan validitas dan kredibilitasnya.
Pemilihan sekolah juga ditentukan dari jarak rumah ke sekolah, anak sekolah di sekolah yang terdekat dengan rumahnya. Anak dan ortu cukup jalan kaki ke sekolah, selain sehat, tidak macet, hemat bbm dan subsidi bbm bisa untuk pembangunan. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengembangan ketrampilan dasar pembelajar semacam minat baca, menulis, inovasi, kreatifitas dan berfikir kritis, bukan penekanan pada isi materi yang harus dihafal dan memaksa siswa SD membawa tas ransel berat penuh berisi buku tiap paginya.
Tidak ada yang namanya tidak naik kelas, anak masuk berdasar usia, raport bersifat individual dan tujuan evaluasi belajar terutama untuk evalusi sistem dan kualitas pengajaran, bukan sebatas evaluasi kemampuan siswa. Beberapa hal dari sistem pendidikan dasar di UK yang sebenarnya selaras dengan makna dasar pendidikan KH Ahmad Dahlan sejatinya, dan dalam amatan awam penulis, menjadi salah satu masalah besar pendidikan di Indonesia. Pernah suatu waktu penulis berkesempatan bertemu pak Muhadjir di UK, dan sedikit banyak berdiskusi tentang masalah pendidikan ini dan beliau terlihat sangat perhatian terhadapnya.
Point kedua adalah pentingnya keikhlasan apabila berbicara tentang pendidikan. Sesuatu hal yang sangat ditekankan di Muhammadiyah dan sejauh paham penulis juga diterapkan oleh pak Muhadjir. Salah satunya adalah tentang cerita-cerita yang menarik dibalik pendirian UMM, sebuah universitas swasta kecil hingga menjadi besar seperti sekarang. Dulu saat membeli tanah untuk pendirian UMM, para pendiri menggunakan uang pribadi dan bahkan menjaminkan sertifikat rumahnya guna uang tambahan.
Sebuah langkah beresiko, bukan hanya bagi pribadi para pendiri namun juga keluarganya. Generasi awal pengajar yang juga sekaligus karyawan hanya dibayar yang hanya cukup untuk makan, tidak cukup untuk mencicil motor. Juga cerita tentang telatnya pak Muhadjir dalam menempuh pendidikan lanjut. Jika budaya dibanyak PT/PTS umumnya para dosen berlomba dan berebut studi lanjut (s2/s3), beliau yang tentunya punya kesempatan, ternyata lebih memilih untuk “jaga gawang”.