Mohon tunggu...
Muhamad Salis Yuniardi
Muhamad Salis Yuniardi Mohon Tunggu... PhD student -

Psikolog klinis dan saat ini sedang "nyantrik" belajar lagi psikologi klinis di Institute of Neuroscience, Newcastle University, UK

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mampukah “Ahmad Dahlan Wannabe” Membangun Pendidikan Indonesia?

28 Juli 2016   17:01 Diperbarui: 28 Juli 2016   17:13 5780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengapa Anies diganti?

Pergantian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dari Dr Anies Baswedan ke Prof. Muhadjir Effendy cukup mengagetkan? Ada banyak pertanyaan muncul mengingat sejauh ini, dalam kacamata publik dari luar, kinerja pak Anies dirasa baik dan tidak ada persoalan yang berarti. Selain itu, secara personal beliau adalah orang yang terbukti tulus mengabdi pada pendidikan terbukti dengan gerakan mengajarnya yang mampu menggerakkan ribuan pemuda untuk turun tangan secara langsung membenahi pendidikan khususnya di pelosok-pelosok Indonesia. 

Bukti nyata yang sangat menginspirasi. Jika pergantian karena alasan kinerja, sekali lagi dalam kaca mata public yang melihat sebatas dari luar, ada beberapa menteri lain yang kinerjanya jelek namun tidak diganti? Lalu apa alasan sebenarnya? Hanya satu kalimat yang bisa saya ungkapkan, “pak Anies orang baik dan tulus, dan orang yang baik dan tulus akan selalu berkontribusi pada kebaikan dimanapun posisi dirinya”.

Namun saya tidak akan mengulas mengenai hal ini karena saya juga bagian dari “orang luar” tersebut, apalagi sudah empat tahun hanya mencermati perkembangan pendidikan Indonesia sebatas dari media dan kisah-kisah pengalaman di facebook dan group-group whatsap kerabat dan sahabat. 

Mengutip selintas dengar kata pengamat di sebuah stasiun televisi yang saya lihat dari youtube, hanya presiden Joko Widodo yang paling tahu alasan dibalik pergantian pak Anies. Dalam tulisan ini saya akan mencoba membahas tentang Prof. Muhadjir dalam batas yang saya ketahui, kaitannya dengan KH. Ahmad Dahlan, dan optimisme tentang pendidikan di Indonesia ke depannya. Ya, OPTIMISME, sebuah kata yang menjadi salah satu esensi dari pendidikan itu sendiri.

Sekilas KH Ahmad Dahlan, Muhammadiyah dan Muhadjir

KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912, selain sebagai ormas Islam yang pertama kali berdiri di Indonesia, banyak mungkin yang tidak menyadari bahwa KH Ahmad Dahlan sejatinya adalah peletak pondasi pendidikan di Indonesia. Hal ini karena gerakan pertama kali yang dilakukan KH Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah adalah pendidikan, yaitu mendirikan sekolah “modern” yang bukan hanya mengajarkan tentang tauhid, syariah ataupun fiqh-fiqh Islam namun juga ilmu-ilmu pengetahuan modern. 

Bukan hanya dalam kurikulumnya, namun juga dalam pola pengajarannya, melalui sistem sekolah dengan bangku-bangku dan budaya memakai baju tidak harus model gamis/jubah. Sesuatu hal yang mendobrak paradigm model pendidikan Islam saat itu sekaligus menjadi kontroversi, setara dengan kontroversi upaya beliau membetulkan arah kiblat masjid Agung Yogyakarta. KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dan meletakkan pondasi pendidikan Indonesia ini satu dekade sebelum Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa.

Visi inilah yang diteruskan para pengagum KH Ahmad Dahlan dan menjadikan Muhammadiyah lebih dikenal melalui kontribusinya dalam pendidikan, selain di bidang kesehatan dan pengembangan ekonomi masyarakat. Visi yang diwujudkan melalui pendirian dan pengelolaan 11 ribu sekolah mulai dari TK hingga setingkat sekolah menengah atas, 67 pesantren dan 172 lembaga setingkat perguruan tinggi. Menyebar di seluruh Indonesia dari pelosok paling terpencil hingga di tengah bingar kota. Semuanya didirikan dengan semangat ikhlas dan tanpa banyak subsidi negara sebagaimana lembaga pendidikan negeri.

Selanjutnya, Prof Muhadjir Effendy atau biasa dipanggil pak Muhadjir boleh dibilang adalah Ahmad Dahlan wannabe, orang yang mengagumi dan ingin meniru perjuangan KH Ahmad Dahlan yang iklas berjuang untuk pendidikan Indonesia. Hal ini tentu bisa dilihat dari pilihannya untuk berprofesi di bidang pendidikan sedari awal karirnya, sekalipun sempat selama kurang dari 5 tahun (sekitar tahun 90an) tergoda mencicipi politik dengan sempat bergabung Golkar Malang. 

Namun, setelahnya, sepenuhnya ia mengabdi menjadi dosen di Universitas Negeri Malang (dulu IKIP Malang) dan setelah ditempa di beberapa jabatan, ia mengemban amanah menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Malang selama 3 periode, sebelum kemudian terakhir menjadi ketua bidang Pendidikan di PP Muhammadiyah yang mengelola seluruh pendidikan di bawah Muhammadiyah sebagaimana tersebut diatas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun