Merujuk diatas, dengan demikian tidak perlu saya memaparkan bagaimana banyaknya literatur yang mendukung bahwa orientasi seksual (termasuk LGB) sangat mungkin lebih terkait proses psikologis, bisa jadi factor belajar, trauma masa kecil, masa pembentukan identitas seksual yang bermasalah, atau mungkin saja factor social juga berpengaruh, misalnya sub-culture dan gaya hidup. Pada sisi inilah perilaku LGB bisa menyebar.
Mengkritisi logika dr. Ryu Hasan yang menyatakan bahwa homoseksual adalah sebagaimana memilih bermain drum atau gitar; Jika itu sebatas pilihan yang menunjukan adanya minat dan proses belajar, mengapa kemudian secara sewenang menjustifikasi homoseksual sebagai takdir (genetika) untuk secara implisit mendukung homoseksual? Sebaliknya, pada satu sisi menyuarakan LGB bukanlah penyimpangan karena sebatas pilihan (sebagaimana norma di Barat), namun mengapa kukuh menonjolkan kelainan otak sebagai faktor tunggal (yang secara ilmiah juga belum tertegaskan)? Opini beliau menjadi tidak konsisten.
Perlu dipahami mengapa hanya menyorot LGB dan tidak melibatkan T (transgender), hal ini karena kasusnya beda. Secara garis besar gangguan seksual terbagi tiga, yaitu penyimpangan orientasi seksual (penyuka anak kecil, mayat, benda mati, binatang, ekhsibisionis dsb), disfungsi seksual (impotensi dan ejakulasi dini contohnya), dan terakhir gangguan identitas gender atau transgender. Diagnosis yang ketiga ini sangat kuat factor biologisnya yaitu terkait kromosom yang ditandai kelainan dalam perkembangan tanda-tanda seksual dan reproduksi. Namun demikian, beberapa kajian juga menunjukkan bahwa transeksual bisa juga karena factor psikologis terutama trauma dan proses belajar.
Bagaimana menyikapi LGBT
Saya sendiri pada tataran ini tidak akan menyampaikan secara eksplisit opini saya agar tidak bias dengan pemaparan professional yang saya ajukan. Sekalipun dalam bawah sadar mempengaruhi sudah pasti, sebagaimana dr. Ryu Hasan yang memiliki pengalaman dan pandangan unik tentang moralitas dan agama.
Hanya saja, sebagaimana pemaparan saya diatas, perlu pandangan yang komprehensif untuk menyikapi LGBT. Tidak bisa dari perspektif yang sempit, apalagi menelan mentah-mentah apapun dari luar. Bagaimana konteks sociokulutural Indonesia juga harus dipertimbangkan. Kajian-kajian dari medis misalnya bagaimana prevalensi (angka rata-rata) penyakit menular seksual (PMS) dikalangan heteroseksual, LGBT, pecandu narkoba harus juga dilihat. Belum lagi, sebagai kata penutup, Anugerah hidup adalah membuat pilihan karena hidup bukan sebatas menjalani takdir apalagi sekedar memuaskan syahwat.
Sebagai seseorang yang masih belajar dan apalagi homoseksualitas bukan minat utama kajian saya, kedangkalan ataupun kesalahan sangat mungkin. Mohon maaf karenanya. Semoga bermanfaat.