Mohon tunggu...
Muhamad Salis Yuniardi
Muhamad Salis Yuniardi Mohon Tunggu... PhD student -

Psikolog klinis dan saat ini sedang "nyantrik" belajar lagi psikologi klinis di Institute of Neuroscience, Newcastle University, UK

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Perlu Suryakanta Untuk Membedah LGBT: Membedah Pandangan Dr. Ryu Hasan

10 Februari 2016   18:57 Diperbarui: 11 Februari 2016   20:11 3026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selintas mencermati Kompas Online beberapa pekan ini, menarik bagaimana "antusias"nya Kompas merayakan perbedaan dengan terus menerus mengangkat isu LGBT dan secara konsisten mengangkat satu pandangan semata terutama dari dr. Ryu Hasan. Inti yang hendak disampaikan adalah “tidak salah menjadi LGBT karena secara neurologi LGBT adalah bagian dari takdir”. Tidak ada yang salah dengan pandangan dr. Ryu Hasan karena dari sudut itulah seharusnya seorang neurology memandang. Namun demikian, terasa kurang paripurna untuk dengan mudah meng-amini pandangan dr. Ryu Hasan yang “sempit” tersebut. Hal ini, sekali lagi bukan karena salah, namun karena untuk membedah LGBT sendiri perlu kaca pembesar dan kajian yang komprehensif, tidak bisa dari satu perspektif neurologi semata.

Hal inilah yang membuat jiwa pelajar saya tergerak untuk mengingat-ngingat kembali pelajaran saat kuliah profesi psikologi klinis 12 tahun yang lalu, terdorong untuk menulis kembali hal-hal diluar kajian yang saat ini sedang saya teliti (anxiety disorders) disaat yang sama berlari dikejar target sebagai mahasiwa tahun keempat, sekaligus menggelitik saya untuk mengenal lebih jauh dr. Ryu Hasan.

Bagaimana beliau menyukai musik, pandangan keagamaannya yang boleh dibilang mungkin cenderung agnostic dan mungkin terkait pula dengan trauma doktrinasi agama di masa tumbuh kembangnya, dan tak luput pula terpaan kasus plagiarisme makalah yang sempat menerpanya. Seorang intelektual yang menarik. Hal ini bukan karena apa, tapi dalam prinsip saya hal ini penting untuk memahami pandangan seseorang.

Abnormalitas dan kompleksitasnya

Sangat penting menurut saya sebelum bicara LGBT kita kembali dulu memahami kriteria dasar penegakan diagnosis ganguan mental. Hal penting karena sering kali menjadi perdebatan apakah LGBT itu gangguan mental atau bukan, dan selalu pula rujukannya adalah Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (terbitan APA/ American Psychiatric Association's), International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (terbitan WHO) atau Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (terbitan DinKes RI). Jika dua kitab pertama disusun berdasar kajian ilmiah yang komprehensif, maka kitab ketiga pada dasarnya terlihat hanya terjemah dan kompilasi dari dua kitab pertama.

Sebelum sampai pada titik diagnosa, sebuah fenomena perilaku akan ditelaah dulu dalam sudat pandang abnormalitas. Ada empat kriteria: (1) statistical rarity, apa yang diluar kurva normal adalah abnormal. Jika secara kebanyakan IQ adalah dalam rentang 90-130, maka dibawah atau diatas itu adalah abnormal. (2) personal distress, jika seseorang merasakan ada tekanan, sekalipun dia tidak melanggar norma apapun misalnya, maka dapat dikatakan mengalami abnormalitas. Gangguan-gangguan kecemasan semacam OCD, GAD, social phobia dsb adalah contohnya. (3) maladaptive behaviour, kegagalan untuk berfungsi optimal juga menjadi kriteria, misal pada penderita depresi, dementia, autism. (4) violation of social norms, boleh jadi indidvidu tidak merasakan tekanan, bisa berfungsi optimal, namun secara norma tidak diterima. Gangguan orientasi seksual semacam Transvetism yang mendapatkan kepuasan  seksual ketika memakai pakaian lawan jenis misalnya, atau Halusinasi yang di suku ZULU malah dianggap normal. Pada kriteria inilah yang menjadi alasan sebelum 1980 homoseksual masih terkatagori gangguan mental.

Merujuk pada uraian diatas, lahirlah kesepakatan bahwa tidak bisa gangguan mental hanya berdasar satu kriteria saja.

Jika demikian apakah bisa ketentuan diagnosis mental yang lahir di Amerika, misalnya, diterapkan mentah-mentah di Indonesia, atau sebaliknya? Ambil contoh, jika suap menyuap sudah jamak dan membudaya di Indonesia, pelakunya juga masih tersenyum didepan kamera saat tertangkap, menyuapnya pakai uang pribadi, tidakkah korupsi adalah perilaku normal? Homoseksual sudah legal di Barat, termasuk di UK dimana banyak studi menunjukkan saat ini 65% generasi mudanya mengisi kolom agama dengan No Religion, maka harus legal pulakah di Indonesia yang 90% masih mengaku beragama (sekalipun yang menjalankan mungkin lebih rendah presentasenya dari angka tersebut)? Apakah ke depan jika demikian semua gangguan orientasi seksual juga akan dihapus?

Penyebab gangguan mental

DSM jika dicermati sudah menyusun jenis gangguan mental dalam hierarki yang cukup rapi terkait dengan penyebabnya. Ada yang jelas-jelas (1) faktor biologis baik karena genetika, kelainan fungsi otak, horman maupun kerusakan dalam proses kehidupan, semacam: Autism, Delirium-Dementia, hingga penyalahgunaan zat (substance abuse disorders). Gangguan terkategori ini tertulis dibagian awal-awal DSM. Sebaliknya, di bagian bawah DSM tertera gangguan-gangguan yang kajian ilmiah menunjukkan lebih kuat (2) faktor psikologis, semacam variasi gangguan kecemasan, gangguan makan, dan juga gangguan kepribadian. Terakhir, (3) wilayah yang abu-abu alias belum ada kesepakatan tentang penyebabnya. Semacam gangguan psikotik dan di dalam DSM ditempatkan dietangah. Namun demikian, secara umum pandangan terbaru mengakui adanya kerjasama antara factor biologis, psikologis, bahkan sosial budaya sebagai variabel penyebab gangguan mental.

Poin inilah yang menunjukkan sempitnya pandangan dr. Ryu Hasan. Sejauh ini literature menunjukkan bahwa belum ada kesepakatan tunggal tentang penyebab LGB (tanpa T). APA-pun menegaskan ini. Kecuali dr. Ryu Hasan tidak pernah membaca karena beliau neurologis, bukan psikiater atau psikolog klinis.

Beberapa kajian terutama di neuorologi memang sudah menunjukkan adanya perbedaan pola otak ataupun respon otak antara homoseksual dan heteroseksual. Yang paling klasik dari Simon LeVay (1991), yang isunya juga seorang homoseksual. Ia menunjukkan dari 4 area anterior hypothalamus, area 3 menunjukkan adanya perbedaan luas antara homoseksual dan heteroseksual, sementara area 1,2, dan 4 tidak. Berdasar hasil ini, ia mengindikasi adanya pengaruh factor genetic dalam pembentukan orientasi seksual. Namun demikian ia mengakui, tidak bisa bahwa dari bukti perbedaan di satu area hypothalamus ini kemudian diklaim bahwa homoseksual adalah konsekuensinya, dan mungkin saja perbedaan ini terjadi karena pengaruh factor lain yang belum teridentifikasi.

Kelompok riset dari universitas Hangzhou China yang banyak mengkaji homoseksualitas dari tinjauan neurologi juga menyadari bahwa hasil-hasil dari pendekatan ini memiliki kelemahan, diantaranya: kajian lebih mendukung bahwa persepsi dan proses kognitif (termasuk orientasi seksual) lebih karena proses belajar daripada bawaan, perbedaan dalam otak bisa terjadi karena perbedaan respon kognitif dan emosional terhadap stimulus ketimbang determinasi otak terhadap orientasi seksual. Sekali lagi, sampai sejauh ini belum ada bukti dari penelitian causalitas di ranah neurology terkait LGB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun