Tulisan ini saya buat tidak ada kaitannya dengan capres, namun untuk membuka mata kita apa sebenarnya IQ. Namun jujur saya akui terinspirasi sebuah tulisan di sebuah website salah satu partai yang menurut saya tulisan tersebut kurang komprehensif, bahkan tendensius, sehingga bisa menyesatkan. Saya akan mencoba membahas dengan ringkas dan dengan bahasa sederhana. Semoga bermanfaat untuk semua.
1.Definisi kecerdasan sangatlah bervariasi. Sebagian besar mengatakan bahwa kecerdasan adalah kemampuan menyelesaikan persoalan. Dengan demikian, secara sederhana IQ adalah angka yang menggambarkan seberapa mampu seseorang menyelesaikan persoalan. Namun definisi ini juga menyisakan beberapa pertanyaan. Diantaranya:
a)Kemampuan menyelesaikan persoalan dalam hal apa? Contoh: Pintar mana seorang anak suku pedalaman yang bisa bertahan hidup di hutan dengan professor matematika? Pintar mana Einstein dengan Bethoven atau malah Van Basten? Hal inilah yang kemudian memunculkan konsep kecerdasan emosi (EQ) dan kemudian diikuti  munculnya konsep kecerdasan jamak (multiple intelligence).
b)Kecerdasan itu bersifat bawaan sehingga cenderung menetap (faktor pendidikan kurang berpengaruh) ataukah hasil belajar yang bisa berubah (faktor pendidikan berpengaruh)? Apabila kita berbicara tentang kemampuan memori misalnya, tentu ini sangat terkait dengan bawaan sekalipun sedikit bisa dilatih. Sebaliknya kekayaan kosakata dikatakan lebih terkait proses belajar sekalipun juga terkait dengan bawaan.
c)Jika demikian bagaimana cara mengukurnya? Adakah alat tes yang bisa mengukur semua?
2.Mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan pada poin 1.c., berbagai metode dan alat ukur terus dikembangkan. Namun dari semuanya selalu memiliki kurang lebih. Hal inilah yang membuat kita harus hati-hati dalam mencerna hasil pengukuran IQ. Angka IQ yang keluar dari sebuah hasil tes ditentukan bukan oleh variable tunggal, yaitu seberapa mampu dia menyelesaikan persoalan (seberapa cerdas). Variabel lain semisal: bagaimana kondisi fisik dan mental seseorang ketika menjalani tes, bagaimana kemampuan tester untuk melaksanakan tes dengan benar dan standar, alat tes apa yang digunakan, bagaimana kondisi lingkungan pengetesan, semunya bisa mempengaruhi hasil tes. Contoh, sepintar apapun seseorang ketika dia lapar sehingga tubuhnya lemah tentunya akan memberikan hasil berbeda jika dikemudian hari dia di tes lagi dalam kondisi fisik yang lebih baik.
3.Saya coba langsung ke contoh beberapa alat tes. CFIT adalah alat yang paling sering dipakai dalam proses rekruitmen karena administrasinya sederhana dan membutuhkan waktu tidak terlalu lama (12 menit). CFIT terdiri dari 4 sub, masing-masing sub mengukur hal yang berbeda. Terkait hal ini, angka yang keluar tidak boleh dibaca mentah tanpa melihat aspek-aspek yang lain. Semisal Andi ber-IQ 115 dengan hasil yang cenderung rata pada semua sub tes, Budi ber-IQ 115 dengan hasil sub tes 1 dan 2 cenderung sedikit lebih tinggi dibanding sub tes 3 dan 4, sebaliknya Cici juga ber-IQ 115 namun hasil sub tes 1 dan 2 lebih rendah dibanding sub tes 3 dan 4, sedang Didi ber-IQ 115 namun sub tes 1 dan 2 jauh lebih tinggi dibanding sub tes 3 dan 4 dimana selisihnya signifikan. Semuanya boleh dikatakan terkategori rata-rata atas. Namun jika dipaksa membuat rekomendasi untuk posisi manajer hanya dari hasil tes ini (sesuatu yang seharusnya tidak) tentu saya akan menyarankan Cici atau Andi. Budi masuk dipertimbangkan. Sedang Didi tidak akan saya sarankan karena dia kurang memiliki kemampuan analisa dan kurang dalam kemampuan membangun visi. Apalagi jika Didi ternyata menunjukkan pola ketidakteraturan urutan jawaban yang benar (misal no 1 – 3 salah, 4 benar, 5, salah, 6 benar, 7 salah, 8-10 benar), maka saya akan mengindikasi (bukan diagnosis) Didi memiliki gangguan kecemasan.
Namun saya akan memberi interpretasi berbeda apabila diminta menganalisis Wahyudi yang dikatakan ber-IQ sama yaitu 115 namun hasil ini diperoleh dari WAIS. Mengapa? CFIT mengukur hal yang berbeda dari WAIS, dimana WAIS mengungkap lebih banyak aspek dan memiliki standar penilaian dan interpretasi yang berbeda. Secara kasar dapat dikatakan hasil CFIT cenderung tidak berubah, sedang hasil WAIS bisa saja berubah. Semakin tinggi pendidikan seseorang cenderung membuat skor WAIS lebih tinggi, tidak terlalu terjadi pada hasil CFIT.
4.Dengan demikian apakah IQ akan menentukan keberhasilan seseorang di masa depan? Termasuk apakah seseorang yang ber-IQ 152 pasti bisa memimpin dengan baik, misalnya. Saya harus hati-hati menjawabnya, harus melihat secara detail datanya. Secara kasar saya bisa saja mengatakan bahwa dia memiliki jenius. Namun belum tentu juga dia mampu melihat masalah lebih dalam dan membuat alternatif solusi lebih banyak. Banyak variable yang harus dilihat sebelum pada kesimpulan itu. Sebagai catatan, literature mutakhir lebih menunjukkan bahwa EQ lebih menentukan keberhasilan dibanding IQ. Pada beberapa kasus malah ditemukan bahwa IQ tinggi cenderung membuat hambatan dalam interaksi sosial dan sedikit rendah dalam empati. Hal inilah yang kemudian memunculkan mitos bahwa psikopat cenderung ber-IQ tinggi. Sesuatu yang tidak sepenuhnya salah, tidak pula sepenuhnya benar. Namun secara teoritis memang tidak mungkin seseorang retardasi mental memiliki kemampuan manipulasi dan menjadi psikopat.
5.Terakhir, apakah IQ rendah berarti pasti bodoh dan kedepannya pasti gagal? Sekali lagi hal ini salah. Setiap anak adalah cerdas, cerdas dibidang masing-masing. Bahkan seseorang yang retardasi mental (ber-IQ rendah) bisa saja berhasil karena memiliki kecerdasan musik atau motorik misalnya. Sehingga, bagi ibu-ibu yang memiliki anak SD apalagi TK namun sudah ‘memiliki’ IQ (pernah di tes), tolong IQ tersebut jangan ditelan mentah-mentah. Apalagi jika angka tersebut keluar dari proses tes yang bersifat klasikal (bukan individual). Saya berani katakan dari awal hasilnya kurang valid. Begitu pula bagi semua yang sekarang getol dukung-mendukung capres, hati-hati mencermati info mengenai angka IQ para capres kita. Kemampuan memimpin bangsa terlalu besar untuk disimpulkan hanya dari sekedar angka 150 atau 120.
Demikian semoga bermanfaat dan maaf jika ada salah-salah ketik. Indonesia Damai.
Penulis adalah psikolog klinis, alumni UI '06, dan sekarang masih mencari ilmu di Institute of Neuroscience, Newcastle University
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H