Mohon tunggu...
ahmad salim
ahmad salim Mohon Tunggu... Karyawan -

Tinggal di Kota Bengkulu, Bumi Rafflesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

(Tidak) Ingin Menjadi Guru

19 November 2015   09:33 Diperbarui: 19 November 2015   09:33 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dulu, menjadi guru mungkin menjadi cita-cita sebagian anak kecil. Mereka dengan bangganya akan mengatakan “Aku ingin menjadi guru!” ketika ditanyai tentang cita-cita oleh orang tuanya atau orang lain. Guru memang sosok yang sangat mereka hormati, orang yang setiap hari mengajari mereka berbagai ilmu pengetahuan dan membimbing mereka cara menjalani hidup dengan benar.

Namun, ketika kini mereka sudah dewasa dan mampu berpikir serta memahami kehidupan guru yang sebenarnya, masihkah cita-cita itu menggelayut dalam pikiran?

Di sini saya berbicara tentang guru swasta maupun honorer. Dalam kenyataan tidak semua guru beruntung menjadi PNS, bukan? Saya pribadi yang pernah menjadi seorang guru swasta mencoba berbagi pengalaman yang saya ketahui.

Gaji guru swasta sepanjang pengetahuan saya dihitung berdasarkan jam mengajar. Berapa jam dia mengajar dalam satu bulan dikalikan nominal gaji per jam itulah yang akan dia terima. Ketika dihitung seperti itu, Anda tentu membayangkan gajinya lumayan. Namun, kebanyakan sekolah di daerah ternyata menghitungnya tidak seperti itu. Jumlah nominal gaji hanya dikalikan jumlah jam dalam satu minggu, bukan per bulan.

Misalkan seorang guru mengajar 18 jam seminggu, gaji per jam Rp 15.000, maka 18x15.000 = 270.000. Nominal Rp 270.000 itulah yang akan diterima dalam satu bulan. Mungkin ada tambahan jika transport, les, dan kegiatan lain dihitung tersendiri. Syukurlah juga sekarang tunjangan sudah bertebaran dan (semoga) lancar.

Ada yang mengatakan tabu kalau guru membicarakan gaji, menurut saya tidak karena guru juga sebuah profesi yang perlu dihargai. Kenyataan mengenai rendahnya honor guru swasta di daerah cukup memprihatinkan. Guru dituntut tampil prima dan maksimal di hadapan murid-muridnya, namun jika kenyataannya demikian, bisakah? Jika dituntut ikhlas, saya yakin keikhlasan itu sudah sangat terpatri di jiwa para guru.

Guru juga manusia biasa yang membutuhkan biaya hidup. Beruntunglah yang memiliki pekerjaan utama lain dan tidak menjadikan profesi guru sebagai profesi utama. Tetapi, bagaimana jika guru menjadi profesi utama? Cukupkah gaji itu? Momen hari pahlawan ini sepatutnya menjadi momen untuk meningkatkan taraf hidup guru, terutama swasta atau honorer.

Guru adalah pahlawan, pahlawan tanpa tanda jasa. Bagaimana, tertarik menjadi guru (swasta)?

www.masahmad.xyz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun