Di gedung tua yang dahulunya ditempati oleh Parlemen Australia, terdapat Museum of Australian Democracy. Sebuah museum yang merekam perjalanan yang dilalui bangsa Australia dalam berdemokrasi, sekaligus sejarah sosial dan politik negeri itu. Materi museum ini memang berat, namun dapat dikemas dengan demikian menakjubkan.Â
Dalam bayangan saya, anak lelaki penikmat museum yang saya temui akan belajar bagaimana negerinya meletakkan dasar-dasar untuk terbangunnya sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, dan bagaimana latar dinamika politik di negaranya mengalami evolusi dari masa ke masa.
* * *
Sepanjang waktu mengizinkan, saya berusaha mengunjungi museum ketika bertandang ke suatu tempat. Keberadaan museum sangat membantu saya mengetahui latar belakang suatu tempat maupun masyarakatnya. Tentu, di luar negeri, beragam koleksi dan informasi yang ada di museum akan saya nikmati dari sudut pandang orang asing. Namun, pembelajaran yang saya petik sungguh menginspirasi. Termasuk bagaimana masyarakat setempat membentuk konsep kesadaran dan kebanggaan berbangsa.
Sebagai pengunjung awam, saya memiliki standar yang sederhana saja apakah sebuah museum dikategorikan bagus atau tidak. Pertama, museum itu sukses memancing rasa penasaran saya sehingga saya bisa betah berlama-lama di dalamnya. Kedua, penataan museum itu memungkinkan saya menikmati isi museum sendirian, tanpa harus menunggu tur keliling museum bersama pemandu.
Saya sadar, memang seharusnya substansi mengungguli format (substance over form). Namun, dalam pandangan awam saya, penataan museum memang harus benar-benar memerhatikan format penyajian. Tanpa kurasi dan penataan yang mumpuni (misalnya sekadar memajang benda kuno tanpa konsep dan informasi pendukung), sepertinya mustahil para pengunjung akan tertarik mengeksplorasi lebih jauh. Akibatnya, misi museum untuk menyebarkan pengetahuan kepada masyarakat luas tidak akan tercapai.
Di museum-museum yang bagus menurut kategori saya, saya bisa berlama-lama berkeliling sendirian. Mencermati lekuk dan detail benda-benda yang dipamerkan, sekaligus membaca informasi yang tertera. Saya seakan tenggelam menyusuri mesin waktu, membayangkan perjalanan jatuh-bangun suatu bangsa di masa lampau, hingga bangsa itu mewujud seperti sekarang. Pikiran saya juga sibuk mengira-ngira bagaimana suatu masyarakat meraba arah perjalanannya ke depan, menuju cita-cita kolektif yang diimpikan.
Di Museum of Siam, Bangkok, saya menjumpai metode penyajian yang unik. Banyak informasi disampaikan secara interaktif. Museum tersebut berfokus pada identitas nasional masyarakat Thailand, sehingga pengunjung dapat belajar banyak mengenai sejarah masyarakat Negeri Gajah Putih itu.Â
Dalam sebuah video, seorang gadis kecil bertanya kepada ayahnya, "Ayah, apakah aku benar-benar orang Thai?" Pertanyaan polos gadis kecil itu diikuti tayangan menarik bagaimana masyarakat Thailand terbentuk dari percampuran bangsa-bangsa yang datang dan kemudian mendiami tanah tersebut. Dengan keragaman latar belakang, masyarakat Thailand pun kemudian berupaya menemukan identitas nasional yang menyatukan mereka.
Saya mengunjungi National Museum of Singapore ketika museum tersebut menggelar eksibisi khusus bertajuk "Singapura: 700 Years", yang sukses membuat saya berdecak kagum. Eksibisi itu menggambarkan dengan demikian memesona bagaimana Negeri Singa itu bertransformasi dari sebuah desa nelayan yang tidak diperhitungkan berabad lampau, kemudian menjelma menjadi pelabuhan dagang Inggris di Asia Tenggara, dan akhirnya menjadi sebuah negara-kota yang merdeka dan berdaulat. Mungil namun disegani.
Bagaimana kondisi museum-museum di negeri sendiri? Saya pernah mengunjungi beberapa museum di Tanah Air yang telah ditata secara apik dan modern. Termasuk kategori bagus menurut saya. Namun harus diakui secara jujur, sebagian besar museum kita masih memerlukan sentuhan perbaikan di sana-sini, dan bahkan sebagian terbilang mengenaskan.Â