Saya melihat mereka yang masih demikian belia itu antusias memakmurkan masjid, membaca kalam Ilahi, mengikuti kajian Islam secara rutin, dan aktif dalam kegiatan-kegiatan rohis. Identik dengan tindak-tanduk yang lemah lembut, mereka pun disegani oleh rekan-rekan sebaya dan mengundang simpati dari para guru hingga penjaga sekolah dan pemilik kantin. Tak sedikit dari mereka yang berhasil mengukir prestasi akademik maupun ekstrakurikuler yang cemerlang. Para pelajar perempuan pun tampil anggun dengan kerudung lebar, menikmati kebebasan berbusana muslimah di sekolah umum, sesuatu yang tidak dapat dinikmati oleh senior-senior mereka satu dasawarsa sebelumnya.
Ketika saya merantau dan menuntut ilmu di kampus Bintaro, kondisi serupa pun saya jumpai dalam skala yang lebih masif. Menjadi hal yang menyejukkan ketika melihat masjid-masjid di sekitar kampus selalu dipenuhi mahasiswa kala waktu shalat tiba. Sungguh, saya tidak hendak mengasosiasikan ketaatan seorang Muslim dari ibadah ritualnya saja. Namun, di luar ibadah ritual, saya menyaksikan banyak muda-mudi belia yang hanif seperti mereka juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, meraih berbagai prestasi membanggakan, dan mempersiapkan diri agar menjadi pelayan masyarakat yang baik nantinya.
Pun demikian yang saya jumpai di kantor. Saya berjumpa dengan banyak orang-orang muda yang hanif dan aktif memakmurkan musholla kantor. Sebagian mereka bahkan berkesempatan memperoleh beasiswa pascasarjana dan kenaikan jenjang karir dalam usia yang terbilang muda.
Menyaksikan orang-orang seperti mereka, sungguh menyisakan ruang optimisme di benak saya mengenai masa depan negeri kelahiran saya. Tentu Indonesia di masa depan yang saya impikan adalah Indonesia yang semakin maju, penduduknya semakin sejahtera dengan kualitas sumber daya manusia yang semakin meningkat, serta pemerintahan yang semakin profesional. Namun, saya memimpikan juga semua itu tercapai tanpa mengabaikan nilai-nilai agama, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai positif budaya bangsa. Ketika kedua sisi dapat tercapai (atau semakin dekat dicapai), saya rasa sudah paripurna dan seimbanglah hidup kita. Seimbang lahir dan batin, material dan spiritual, duniawi dan ukhrawi. Nah, ketika saya berjumpa banyak belia yang taat beragama, profesional di bidangnya, dan berdaya guna, saya merasakan impian itu bukan sekadar utopia atau mimpi di siang bolong.
Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin bertiup. Ungkapan itu terasa tepat menggambarkan ujian yang mereka hadapi menyusuli tekad dan komitmen mereka untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Ada yang menerima prasangka dan cibiran dari kawan-kawan sebaya. Ada yang berselisih pendapat dengan orang tua dan berjuang keras membuat orang tuanya mengerti. Ada yang menghadapi cabaran karena berusaha mempertahankan integritas di tempat kerja. Dalam hati saya turut mendoakan, semoga ujian itu dapat mereka lalui dengan baik dan elegan, serta tetap menjaga hubungan baik dengan sesama. Seorang Simon, pemuda pendiam aktivis gereja yang saya temui di Brisbane, pun menerima kenyataan pahit karena adik kandungnya sendiri memilih jalan hidup agnostik dan berulangkali mencaci kepercayaannya, “Your belief is rubbish!”
Dalam sebuah hadits diriwayatkan ada tujuh golongan yang akan mendapatkan perlindungan di hari yang tiada perlindungan kecuali perlindungan dari-Nya. Salah satu golongan tersebut adalah pemuda yang menggenapkan ketaatan kepada Tuhannya. Sungguh, saya ingin sekali menjadi salah satu dari mereka…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H