Mohon tunggu...
Salim Darmadi
Salim Darmadi Mohon Tunggu... Profesional Sektor Publik -

Profesional Sektor Publik, Penulis Buku "Serpihan Inspirasi: Hikmah dari Negeri Seberang", Mentor & Mentee, Narablog, STAN (2001-2006), University of Queensland (2008-2010), salim-darmadi.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yang Taat Beragama, yang Langka

16 Desember 2015   16:25 Diperbarui: 16 Desember 2015   16:25 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah satu kegiatan yang diadakan masyarakat Indonesia di Brisbane, Nanda, seorang rekan Indonesia yang menempuh studi satu jurusan, memanggil saya. “Lim, gue ada perlu sebentar nih. Tolong temenin temangue ya. Pendiam sih orangnya. Namanya Simon…”

Saya mengiyakan. Saya melempar senyum dan mengangguk kepada Simon, seorang pemuda Australia berusia dua puluhan tahun. Sebagaimana kami warga Indonesia yang sedang menikmati acara itu, ia tidak canggung duduk lesehan di rumput. Ternyata benar, Simon sangat pendiam. Ia tidak membuka mulut jika tidak ditanya terlebih dahulu.

Just wondering, how did you know Nanda?” tanya saya padanya.

We met in church,” jawabnya singkat. Jawaban itu sempat membuat saya terperangah. Di tengah keadaan muda-mudi Australia yang semakin cuek dengan urusan agama, masih ada pemuda seperti dia yang mau datang beribadah di gereja setiap minggunya, lalu berkawan dekat dengan orang-orang yang ditemuinya di gereja.

Pada kesempatan lain, Nanda memperkenalkan saya dengan Daniel, rekan gerejanya yang lain. Karena Daniel lebih periang, saya berkesempatan mengobrol lebih banyak dengannya. “Daniel, saya seorang muslim. Tetapi saya tetap saja takjub melihat ada anak muda Australia yang berpegang teguh pada agamanya. Sebenarnya apa yang memotivasimu menjadi seperti sekarang?”

Ia menjawab singkat. “Well, ini pilihan hidup saya. Di sini saya bisa bertemu dengan orang-orang yang sepemikiran dengan saya, sehingga kami dapat bersama-sama mengajak orang lain untuk menyembah Tuhan…” Lagi-lagi saya takjub mendengar kalimat itu meluncur dengan fasihnya dari seorang pemuda kulit putih Australia.

Di tengah keseharian dan gaya hidup muda-mudi di Negeri Kanguru yang semakin meminggirkan peran Tuhan dan agama dari kehidupan, sungguh mengherankan masih ada orang-orang semacam Simon dan Daniel. Mereka merasa terpanggil untuk mendedikasikan hidupnya dalam tuntunan agama, meskipun lingkungan tidak selalu mendukung.

Nanda pernah menceritakan kepada saya, kebaktikan Minggu di gereja Australia berbeda dengan yang ada di Tanah Air. Di Tanah Air, kebaktian di satu gereja pada hari Minggu bisa dilaksanakan dalam empat shift, dengan jemaat yang hampir selalu penuh. Di Australia, meski warganya mayoritas mengaku Kristiani, kebaktian di gereja hanya dilaksanakan dalam satu shift saja, itu pun kursi-kursi gereja masih banyak yang kosong dan jemaat didominasi oleh kaum tua. Nanda bercerita, para jemaat kakek-nenek itu senang sekali melihat muda-mudi yang aktif mengikuti kebaktian.

***

Dalam lingkungan yang berbeda, sudah berulangkali saya menyaksikan fenomena semacam Simon dan Daniel di kalangan rekan-rekan muslim di Tanah Air. Berusaha taat beragama, meski di tengah lingkungan menjadi manusia “langka”. Angan saya melayang ke belasan tahun silam, ketika saya larut dalam kehidupan remaja yang dinamis dan menantang di usia sekolah menengah atas.

Di SMA, saya menjumpai sekian banyak adik-adik kelas yang begitu bersemangat mendalami Islam dan bersemangat mengamalkan apa yang telah diketahuinya. Padahal usia mereka baru dua windu. Mereka merasa ringan menjalani keseharian seperti itu, di tengah arus utama kehidupan remaja yang cenderung tidak mau dikekang dan merasa dalam masa pencarian jati diri. Mereka tetap bergaul akrab dengan rekan-rekan sebayanya, namun teguh mempertahankan nilai-nilai agama di tengah dinamika kehidupan remaja sebaya yang cenderung kebarat-baratan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun