Akhir-akhir ini, kita gemar membicarakan kemungkinan peralihan generasi kepemimpinan. Kegemaran kita membicarakan perkara kepemimpinan, disebabkan, salah satunya adalah karena perkara kepemimpinan, bagi sebagian orang, sebagai penyebab masalah yang mendera bangsa ini. Pembicaraan kemudian berkembang tentang siapa tokoh-tokoh yang akan menjadi pemimpin berikutnya, sebagai penerima tongkat estafet dari pemerintahan sekarang.
Kita kemudian berdebat tentang siapa yang akan menjadi pemimpin berikutnya. Apakah dia seorang sipil atau militer, tua atau muda, muslim atau non-muslim, jawa atau luar jawa, WNI atau warga keturunan. Dalam kadar tertentu, itu sebenarnya wajar saja. Namun pembicaraan seperti itu tidak boleh membuat kita lupa bahwa yang terpenting sebetulnya bukan lagi pada soal ‘siapa’ melaikan pada ‘apa’ dan ‘bagaimana’ kriteria seorang pemimpin. Dengan kata lain, yang harus kita perhatikan bersama bukan lagi sekadar tokoh atau pemimpin (leader) tapi kepemimpinan (leadership). Karena itu, pertanyaan mendesak yang harus kita jawab adalah bagaimanakah pemimpin yang secara ideal layak untuk menerima estafet kepemimpinan berikutnya?
Pertanyaan ini begitu mendesak untuk segera dicarikan jawabannya, mengingat saat ini, kita amat merindukan pemimpin yang dapat menjadi ‘juru selamat’, yang akan menjadi solusi atas persoalan yang mendera bangsa ini. Persis seperti kerinduan orang-orang Yahudi terhadap messiah, yang akan membebaskan mereka dari perbudakan di Babilonia sekitar kira-kira tujuh abad sebelum Masehi.
Pemimpin Ideal
Berbicara tentang pemimpin ideal merupakan sesuatu hal yang sangat rumit. Hal ini disebabkan karena setiap orang memiliki cara pandang sendiri tentang pemimpin ideal. Meskipun demikian, ada hal-hal yang menjadi konvensi yang dapat diterima oleh semua pihak tentang kualitas seorang pemimpin. Pertama, seorang pemimpin yang ideal haruslah seorang yang memiliki tingkat intelektualitas yang memadai. Apa yang dimaksud bukan soal jumlah atau tingginya gelar formal. Yang dimaksud adalah keluasan, kedalaman, dan kepekaan wawasan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Keluasan, kedalaman dan kepekaan wawasan ini pada akhirnya akan tercermin pada setiap kebijakan yang akan diambil.
Pemimpin yang cerdas, akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang cerdas yang tentu saja setelah melalui analisa-analisa mendalam. Dengan kecerdaan yang dimilikinya, dia tentu saja tidak akan mengalami kesulitan ketika menganalisa segala macam persoalan yang sangat rumit sekalipun, untuk kemudian menemukan strategi yang tepat untuk menyelesaikannya.
Bahkan menurut Plato, seorang filosof Yunani abad ke-5 SM, sebuah masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang dipimpin oleh seorang filsuf (philosoper king).Karena filsuf dinilai paling tahu tentang makna dan hakikat kehidupan, juga tentang hal-hal yang baik dan buruk. Disamping itu, hanya filsuf yang telah mencapai derajat tertinggi melalui pencapaian intelektual dan spiritual. Dalam hal ini, Plato memiliki pandangan yang utopis tentang kepemimpinan. Karena menurutnya, dia yang berhak mendapatkan kehormatan lebih dari sekedar memimpin dan memerintah ialah manusia-manusia berkeutamaan; yang sempurna dari segala sisi.
Tetapi dalam konteks kepemimpinan republik Plato terlalu utopis ketika mengemukakan pandangannya tentang pemimpin ideal. Karena kesempurnaan yang dimaksud oleh Plato hanya dimiliki oleh Malaikat atau setidaknya manusia setengah dewa. Dengan demikian, tingkat intelektualitas yang harus dimiliki seorang pemimpin, tidak serta merta meniscayakan dirinya menjadi filsuf apalagi malaikat.
Kedua, secara ideal, seorang pemimpin tidak cukup dengan hanya mengandalkan intelektualitas. Prinsip keadilan juga merupakan suatu hal yang mutlak dimiliki seorang pemimpin, hal yang juga akan menjadi kesepakatan bersama tentang kriteria pemimpin ideal.
Konsep keadilan menempati titik sentral dalam pembicaraan mengenai pemimpin ideal. Secara definitif keadilan adalah “memenuhi hak-hak orang lain”, keadilan dapat juga didefinisikan sebagai “menjalankan tugas masing-masing dan tidak campur tangan dalam tugas selainnya”. Secara praktis, seorang pemimpin yang adil adalah dia yang selalu menetapkan keputusan berdasarkan undang-undang ataupun hukum yang berlaku dan selalu berpihak dan membela kaum yang lemah. Kemudian, seorang pemimpin dapat dikatakan adil, ketika dia menyadari dirinya sebagai pelayan rakyat, yang diangkat berdasarkan prosedur demokratis dan konstitusional, hanya utuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada rakyatnya. Karena, sesuai dengan prinsip demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.
Ketiga, pemimpin ideal haruslah orang yang sudah menjadi dewasa. Kedewasaan, dalam pandangan Andreas Harsono dalam bukunya Menjadi Manusia Pembelajar, tidak ditentukan oleh faktor fisik ataupun usia. Kedewasaan tidak sama sekali terkait dengan usia seseorang, kedewasaan lebih terkait dengan kemampuan (ability).
Berbeda dengan kanak-kanak yang memiliki pengetahuan amat terbatas, sehingga belum mampu menentukan sikap yang baik. Semakin dewasa seseorang, segala macam kemampuannya akan berkembang. Ia akan menjadi semakin mampu, semakin berdaya, dan semakin merdeka dari hal-hal diluar dirinya. Bertumbuh menjadi dewasa berarti semakin mampu bertanggung jawab atas diri sendiri dan menolak pendiktean atau pemaksaan kehendak dari apapun yang berada diluar dirinya. Dan yang terpenting, pemimpin yang dewasa adalah dia yang memiliki kepekaan atau sensitifitas yang semakin tinggi terhadap dosa atau kesalahan yang sangat kecil.
Dengan demikian, kepemimpinan ideal harus mencakup setidaknya, aspek-aspek intelektualitas dalam arti yang luas serta prinsip-prinsip keadilan yang memungkinkan seseorang pemimpin untuk tidak menggunakan cara-cara yang tidak terpuji dalam mempertahankan kekuasaan, seperti berbohong, menipu dan menindas. Disamping faktor kedewasaan seorang pemimpin. Jadi, kriteria ‘siapa’ yang harus menjadi pemimpin berikutnya tidak begitu penting Juga tidak terlalu penting memilih kriteria seorang pemimpin dari aspek-aspek primordialnya, apakah dia seorang sipil atau militer, tua atau muda, muslim atau non-muslim, etnis jawa atau luar jawa, WNI atau warga keturunan.
Bangsa ini terlalu besar untuk diserahkan kepada pemimpin yang tidak cerdas. Dan bayangkanlah apa yang akan terjadi seandainya kita ‘menyerahkan’ bangsa dengan potensi sumber daya alam yang begitu besar ini kepada pemimpin kanak-kanak, yang masih harus belajar mendewasakan dirinya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H