Data World Health Organization (WHO) tahun 2022 melaporkan Indonesia menempati urutan kedua kasus gizi buruk tertinggi dari 84 negara yaitu sebesar 812.564 balita. Riskesdas tahun 2018 menunjukkan bahwa terdapat 10,2% balita gizi kurang (wasting) dan 3,5% gizi buruk (severe wasting). Berdasarkan data terbaru menunjukkan bahwa masih banyak balita yang mengalami masalah kekurangan gizi. Indonesia sendiri terdiri dari 38 Provinsi, dimana salah satu provinsi di Indonesia yang juga tercatat kasus kejadian kekurangan gizinya tinggi adalah Kalimantan Selatan.Â
Berdasarkan profil kesehatan Kalimantan Selatan pada tahun 2020, 11,9% balita stunting dan 6,5% balita kurus. Kasus tertinggi balita kurus 10,9% ditemukan di Kabupaten Banjar dan urutan ketiga penemuan kasus tertinggi 14,5% balita gizi kurang. Berdasarkan laporan kinerja provinsi Kalimantan Selatan dalam beberapa indikator SDGs, Kalimantan Selatan menempati kuartil terbawah poin SDGs stunting pada anak urutan ke-30.
Kondisi Kesehatan Masyarakat saat ini dapat digolongkan masih rendah, diantaranya disebabkan adanya faktor budaya lokal yang berpengaruh terhadap perilaku dan tingkat kesehatan sebuah masyarakat. Hasil Riset Etnografi Kesehatan (REK) tahun 2012 dan 2014 memperlihatkan adanya korelasi antara kondisi kesehatan suatu masyarakat dengan budaya setempat. Sebagian masyarakat memiliki kepercayaan mistis bahwa sebuah penyakit sebagai gangguan makhluk halus. Terdapat pantangan untuk makan makanan tertentu karena faktor gaib, padahal itu sangat penting untuk menambah asupan gizi ibu hamil.
Salah satu penyakit yang dianggap masyarakat Kalimantan Selatan yang berkaitan dengan hal gaib adalah penyakit di isap buyu. Penyakit buyu merupakan pamali yang memaparkan larangan bagi perempuan hamil untuk tidak melanggar pantangan-pantangan yang dikhawatirkan nantinya akan mengalami sakit buyu. Kepercayaan tentang diisap buyu tersebut masih diyakini sebagian masyarakat Kalimantan Selatan. Penyakit diisap buyu dianggap sebuah penyakit yang mengerikan bagi para orang tua. Mereka berusaha untuk mematuhi pamali yang akan menyebabkan kualat terkena penyakit diisap buyu.
Tidak sedikit masyarakat banjar yang berusaha untuk mematuhi pamali yang menurut kepercayaan mereka akan menyebabkan kualat terkena penyakit buyu jika melanggar pamali tersebut. Hal tersebut dapat terjadi karena persepsi masyarakat terhadap penyakit buyu disebabkan oleh hal mistis, sehingga mereka tetap melakukan pola asuh yang salah, orang tua tidak mau membawa anaknya ke rumah sakit, karena menurut kepercayaan mereka ke luar rumah dapat menyebabkan anak semakin kurus. Hal ini menyebabkan kasus gizi buruk semakin tidak tertangani.
Dengan ciri-ciri anak yang mengalami diisap buyu adalah memiliki biding dibagian bumbunan (diatas dahi) anak setinggi kurang lebih 2 cm. Memiliki perut buncit, mata melotot, serta badan yang kurus yang dipercaya akibat diisap buyu. Buyu sendiri terbagi menjadi 2 yaitu buyu kecil dan juga buyu besar.
Pengobatan buyu sendiri juga berbeda-beda tergantung jenisnya tadi. Jika anak mengalami penyakit buyu kecil, biasanya orang tua akan memakaikan gelang buyu kepada anak sampai anak sembuh. Selain itu, orang tua biasanya juga bisa melakukan ritual memandikan anak di dalam wajan menggunakan air bekas cucian kemaluan ayahnya. Hal ini mungkin dianggap orang awam aneh, namun inilah budaya yang ada di masyarakat banjar.
Namun jika sudah melakukan ritual tersebut kondisi anak tidak membaik, berarti anak tersebut mengalami buyu besar yang penanganannya lebih serius. Biasanya masyarakat membawa anak yang terkena buyu besar kepada orang pintar untuk dimintakan air yang sudah dibacakan doa-doa sebagai pengobatan alternatif.
Maka dari itu kami mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat. Dalam kegiatan penelitian bidang PKM-RSH tahun 2023 ingin menganalisis hubungan antara kepercayaan orang banjar tentang buyu terhadap risiko gizi buruk pada balita. Setelah melakukan riset dan observasi, kami memilih Desa Bunglai, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar sebagai tempat pelaksanaan penelitian. Hasil penelitian kami terdapat hubungan antara kepercayaan masyarakat Desa Bunglai dengan risiko terjadinya gizi buruk pada balita. Hal ini didasari oleh tradisi yang ada pada kepercayaan tersebut dan mempengaruhi mulai dari pola pengobatan anak, pola pemberian ASI, asupan gizi ibu hamil, kondisi ibu hamil serta adanya penyakit lain yang memperburuk keadaan anak.
Contohnya seperti masyarakat yang masih percaya bahwa kondisi anak yang kurus kering (kurang gizi) Â disebabkan oleh hal gaib yaitu di hisap buyu. Masyarakat percaya bahwa cara pengobatannya dengan cara tradisional bukan dengan cara medis. Atas dasar hal ini, anak yang seharusnya mendapatkan penanganan yang tepat oleh medis, tidak dapat ditangani dengan benar. Hal ini menyebabkan keterlambatan dalam proses pengobatan, karena anak sudah mengalami gizi buruk yang parah baru dibawa ke fasilitas kesehatan untuk ditangani. Kalau saja sejak awal ditangani dengan tepat, maka status gizi anak tersebut dapat diatasi.Â
Pola pemberian ASI juga turut dipengaruhi oleh kepercayaan buyu ini. Masyarakat percaya anak tidak mau menyusu kepada ibunya karena anak takut melihat payudara ibunya. Sehingga orang tua tidak memberikan ASI Eksklusif kepada anak, padahal ASI eksklusif sangat bagus untuk membantu serta mengatasi masalah gizi pada anak. Asupan gizi ibu hamil juga terpengaruh, akibat pantangan-pantangan makanan yang dipercaya masyarakat akan mengakibatkan anak lahir nanti menderita buyu. Contoh makanan yang dilarang atau pamali adalah memakan haliling (bekicot), daging kijang, dan jantung pisang. Padahal dari jenis makanan yang dilarang tersebut memiliki gizi yang baik untuk ibu dan janin, namun dilarang karena budaya setempat yang dianggap pamali. Ditambah kondisi ibu saat  hamil yang memiliki status gizi rendah, dengan berat badan yang kurang, asupan makanan yang kurang menambah buruk keadaan sehingga potensi anak mengalami gizi buruk jauh lebih besar.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti menyimpulkan bahwa ada pengaruh kepercayaan masyarakat dengan terjadinya risiko gizi buruk pada balita. Kepercayaan yang ada mempengaruhi pola pengobatan anak, pola pemberian ASI, asupan gizi ibu hamil, kondisi ibu hamil serta adanya penyakit lain yang memperburuk keadaan anak. Sehingga diperlukan sebuah sosialisasi atau penyuluhan kepada masyarakat bahwa penyakit buyu sebenarnya merupakan penyakit gizi kurang yang dialami oleh anak. Cara pengobatannya adalah dengan dibawa ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Bukan melalui ritual-ritual yang ada di masyarakat, selain itu untuk ibu hamil harus memperhatikan asupan gizi saat hamil dan pasca melahirkan. Agar janin mendapatkan asupan gizi yang cukup, serta saat pasca melahirkan bayi mendapatkan gizi yang lengkap dari ASI Eksklusif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H