Mohon tunggu...
Inovasi

Media Sebagai Alat Pendidik Publik Bukan Alat Politik

6 Agustus 2015   07:05 Diperbarui: 6 Agustus 2015   12:42 1
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jaman reformasi memberikan perubahan besar dalam iklim demokrasi Indonesia. Keberadaan pers sebagai pilar ke empat demokrasi berperan penting dalam mempengaruhi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Ruang publik yang dulunya tersekat oleh hegemoni kukuasaan, kini aktualitasnya semakin terbuka lebar. Hal itu yang menggugah tingginya frekuensi ruang diskursif publik dengan berbagai artikulasinya yang hampir menjangkau semua khalayak umum tanpa ada kontrol yang membatasinya. Gambaran tentang realitas yang dibentuk oleh isi media menjadi dasar respon dan sikap masyarakat terhadap berbagai objek sosial. Dengan demikian, apabila media salah dalam menyampaikan informasi akan memunculkan gambaran yang salah pula terhadap objek sosial. Untuk itu, media dituntut menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Kualitas informasi inilah yang merupakan tuntutan etis dan moral massa.

Sebagai contoh peran media dalam mempengaruhi pandangan masyarakat. Presiden Jokowi  memenangi Pilpres 2014  karena didukung oleh peran media yang mendukungnya.. Para penasihat dan relawan pendukungnya tahu persis bahwa mesin pencitraan 2014 harus bekerja dengan memanfaatkan media. Jokowi  banyak tampil di layar TV, terdengar di radio, terpampang di suratkabar, majalah, dsb sebagai icon media , media daring. Sebab, pencitraan di media memberi kontribusi nyata pada hasil Pilpres 2014. Kemudian, kita lihat begitu banyak universitas, akademi, sekolah tinggi,  kursus-kursus, dll, yang mengiklankan diri di berbagai jenis media menjelang masa penerimaan mahasiswa baru. Ini semua dilakukan karena adanya kesadaran bahwa media berperan penting untuk menjaring calon mahasiswa. Menariknya adalah tentang bagaimana media mampu mempengaruhi cara pandang atau reaksi masyarakat  setelah menerima berita/informasi.

Setidaknya ada dua alasan mengapa media kerap menjadi ajang perebutan, yaitu Pertama, media memiliki konsekuensi dan nilai ekonomi, serta merupakan objek persaingan untuk memperebutkan kontrol dan akses. Kedua, media dipandang sebagai alat kekuasaan yang efektif karena mampu dimanfaatkan untuk mempengaruhi opini publik. Maka dari itu, tidak sedikit media yang menyuarakan pemberitaan kelompok yang dominan di dalam masyarakat dengan menonjolkan basis penafsiran sepihak. disadari atau tidak, kondisi objektif pemberitaan media di Indonesia saat ini sarat dengan kepentingan politik. Sehingga dalam pemberitaannya pers (media) sangat bergantung kepada pemesannya. Oleh karena itu, tidak salah jika muncul sebuah anggapan bahwa dewasa ini berbicara mengenai fungsi media hampir mustahil dipisahkan relasinya dari kehidupan politik. Ekesistensi dan posisi media yang seharusnya berada pada posisi netral dan berkerja berdasarkan prinsip-prinsip profesionalitas kerap mengalami distorsi. Lazimnya, pemberitaan yang disuguhkan oleh media dapat memberikan gambaran realitas yang sebenarnya sehingga publik dapat mengerti dan memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Namun, dalam praktiknya fungsi dan peran media (pers) telah terjebak dalam kubangan pragmatisme di mana pers kerap menjadi alat kekuasaan.

Adanya kekuatan media sebagai alat pembentuk opini publik  yang merupakan sebuah kekuatan politik, disebabkan karena media itu bukan saja sebagai pembentuk dan penyalur pernyataan umum, melainkan juga sebagai lembaga sosial yang dapat menimbulkan pengaruh yang luas yang kemudian dapat membentuk citra dan opini publik berdasarkan interest masing-masing.  Di era sistem pers yang terdistorsi  menganut paham liberal saat ini, media merupakan sarana yang paling ampuh dalam menyebarkan ideologi dan budaya melalui hegemoni kelompok-kelompok tertentu terhadap kelompok-kelompok lain yang menjadi target hegemoninya. Mereka menyebarkan ideologi dan budaya tertentu melalui media dengan menggusur gagasan kelompok lain. Fungsi media yang seharusnya menjadi pewarta kebenaran, netralitasnya mengalami bias karena pemberitaanya jauh dari nilai-nilai objektivitas. Pertanyaannya mengapa media kurang berperan dan masif mengangkat isu-isu Pancasila, coba dibayangkan jika media berperan dan aktif mensosilaisasikan nilai-nilai Pancasila pada konteks kekinian dimana Pancasila merupakan falsafah dan dasar negara yang bisa hidup disemua jaman yang merupakan nilaio-nilai dasar dari jati diri dan karakter bangsa Indonesia, maka berbagai problematika bangsa mungkin tidak seruwet separti sekarang ini.

Untuk itu, di tengah dinamika politik di Indonesia yang belakangan begitu dinamis seiring perubahan-perubahan yang cepat di tengah masyarakat akibat arus informasi yang begitu cepat, posisi media harus berdiri di tengah-tengah kepentingan semua golongan. Prinsip-prinsip etis jurnalistik harus menjadi parameter media dalam menjalankan fungsi dan perannya sehingga media tidak pandang menjadi aparat kekuasaan dan juga aparat kapital. Dengan demikian, media seharusnya menjadi alat pendidik publik agar tercipta ruang kesadaran publik untuk saling menghargai dan menghormati sesama. Pengaruh utama pergulatan dan pergumulan aktivitas jurnalisme menjadi narator perdamaian di tengah pertentangan antar kekuatan, sebagai wujud tanggung jawab sosial media kepada publik. Media seharusnya berperan menjaga kondusifitas masyarakat atas perubahan sosial yang cepat ditengah masyarakat.

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun