Mohon tunggu...
Salwa Nadhira Burhani
Salwa Nadhira Burhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Universitas Al-Azhar Indonesia

Mahasiswa Program Studi Psikologi

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Analisis Kepribadian Seorang LGBT Pada Pendekatan Psikoseksual Sigmund Freud

19 Mei 2023   14:00 Diperbarui: 21 Mei 2023   09:03 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Mungkin sebagian kalian tidak asing dengan artis bernama Lucinta Luna yang sempat viral karena merubah gendernya dari seorang laki-laki menjadi perempuan dan Ragil seorang seleb disosial media yang berstatus gay hingga tinggal di Jerman. Fenomena LGBT dalam masyarakat Indonesia adalah hal yang tabu, LGBT dibawa oleh negara asing yang menjadi isu masayarakat sekarang ini. Banyak munculnya fenomena LGBT di Indonesia sangat berpengaruh dengan arus globalisasi yang memberikan pengakuan dan tempat bagi komunitas LGBT di masyarakat. Seperti yang sedang viral sekarang ini dengan adanya konser Coldplay yang membuat pro dan kontra masyarakat Indonesia, karena mereka membawa dan mengibarkan bendera yang melambangkan LGBT saat konser, yang secara tidak langsung Coldplay tersebut mendukung aksi LGBT.

Meningkatnya fenomena LGBT di Indonesia sangat terkait dengan kecenderungan negara-negara liberal yang memberikan pengakuan dan tempat bagi komunitas LGBT dalam masyarakat. LGBT saat ini dianggap sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat kontemporer yang menganggap pandangan heteroseksualitas sebagai kuno dan tidak relevan bagi semua orang. Melihat makin banyaknya seseorang yang terang-terangan mengakui dirinya LGBT dan munculnya komunitas LGBT membuat resah masyarakat.

Apa itu LGBT?

LGBT adalah singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender. Secara umum, lesbian merujuk pada wanita yang tertarik pada wanita lain atau memiliki orientasi homoseksual perempuan. Gay digunakan untuk merujuk pada seseorang yang memiliki orientasi homoseksual, terutama pria, tetapi istilah ini juga dapat mencakup lesbian. Biseksual adalah ketika seseorang tertarik secara romantis atau seksual pada kedua jenis kelamin, baik pria maupun wanita. Transgender adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang mengidentifikasi diri sebagai gender yang berbeda dari jenis kelamin biologis mereka saat lahir. Istilah ini mencakup orang genderqueer (orang yang tidak mengidentifikasi diri sebagai laki-laki atau perempuan), transperempuan (orang yang sebelumnya diidentifikasi sebagai laki-laki tetapi sekarang mengidentifikasi diri sebagai perempuan), transpria (orang yang sebelumnya diidentifikasi sebagai perempuan tetapi sekarang mengidentifikasi diri sebagai laki-laki), dan bigender (orang yang mengidentifikasi diri sebagai dua jenis kelamin atau gender).

Dahulu, homoseksualitas termasuk dalam kategori penyimpangan dan gangguan jiwa dalam DSM (Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder) I dan II. Namun, setelah mendapat kritik dari American Psychiatric Association (APA), pada DSM III, homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai gangguan jiwa.

Homoseksualitas dianggap sebagai orientasi seksual seseorang yang dipilih. Perubahan ini tentu saja berdampak besar pada konsep dan legalitas LGBT. Di sisi lain, dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ), Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) dianggap sebagai gangguan jiwa, penyimpangan orientasi seksual, yang dapat menular ke orang lain (Fidiansyah, 2016).

Menurut Psikolog Tika Bisono menyatakan bahwa perilaku LGBT dapat diobati melalui terapi psikologis bagi mereka yang terpengaruh lingkungan dan terapi hormonal di rumah sakit bagi mereka yang mengalami gangguan hormonal. Tika juga menegaskan bahwa perilaku LGBT lebih sering terjadi karena pergaulan yang salah dan kebiasaan daripada masalah hormonal.

Namun saya tetap berpendapat bahwa LGBT adalah salah satu dari gangguan kesehatan mental yaitu ganguan jiwa pada individu yang tidak bisa diwajarkan, karena sesungguhnya kita diciptakan Allah berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Az Zariyat ayat 49 berbunyi:

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

Artinya: "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah)." (QS. Az Zariyat: 49).

Teori Sigmund Freud

Dalam tinjauan psikoanalisis ada lima tahapan perkembangan psikoseksual menurut Freud yaitu fase oral, anal, phallic, latent, genital. Fokus masalah yang akan dibahas mengenai penderita LGBT pada pendekatan psikoseksual Sigmund Freud, yaitu bagaimana seseorang dapat mengalami LGBT yang dijelaskan pada teori Sigmund Freud.

Menurut Sigmund Freud, individu yang mengalami LGBT dapat disebut sebagai kontraseksual atau lebih tepatnya disebut invert. Selain itu, jumlah data dan fakta di lapangan dapat juga disebut inversi. Sigmund Freud berpendapat bahwa jumlah individu seperti itu sangatlah banyak, meskipun sulit untuk memperoleh angka pasti. Perilaku inversi dibagi menjadi tiga jenis, yakni invert absolut, invert amfigenus, dan invert sesekali.

Invert absolut merupakan fenomena di mana individu hanya tertarik pada objek seksual dengan jenis kelamin yang sama. Individu yang mengalami invert absolut tidak pernah merindukan jenis kelamin yang berbeda sebagai objek seksual. Jenis kelamin yang berbeda dengan individu yang mengalami invert absolut akan membangkitkan penolakan seksual di dalam diri mereka. Bagi para laki-laki, mereka menjadi tidak mampu melakukan aktivitas seksual secara normal dan kehilangan rasa senang ketika melakukannya.

Invert amfigenus atau hermafrodit psikoseksual adalah kondisi di mana individu tertarik pada objek seksual dengan jenis kelamin yang sama dan berbeda sekaligus. Sehingga inversi mereka tidak terlalu kuat karakter eksklusifnya.

Sedangkan invert sesekali dapat terjadi dan dipengaruhi oleh kondisi eksternal tertentu. Ketika seseorang tidak memiliki akses untuk melampiaskan hasrat seksualnya terhadap objek atau imitasi seksual yang normal, maka orang tersebut akan melampiaskannya kepada individu dengan jenis kelamin yang sama. Dalam hal ini, mereka pun merasakan kepuasan di dalam aktivitas seksual dengan objek seksual yang baru.

Konsep inversi pertama kali tercakup di dalam gagasan yang menjelaskan bahwa hal tersebut adalah tanda bawaan dari adanya kemunduran syaraf. Karakter ini mengandung dua ciri terpisah yaitu kemunduran dan pembawaan yang menjadi faktor penyebab inversi.

Sigmund Freud menolak pandangan umum yang menyatakan bahwa homoseksualitas merupakan sifat bawaan sejak kecil selain dari degenerasi. Freud menjabarkan tiga alasan sebagai antitesis faktor pembawaan, yaitu:

*Pertama, banyak invert yang memiliki pengalaman seksual awal yang mempengaruhi cenderung menuju homoseksualitas. Hal ini dapat terlihat dari konsekuensi yang kekal pada kecenderungan tersebut.

*Kedua, dalam banyak kasus, faktor lingkungan mempengaruhi kecenderungan homoseksualitas, seperti persetubuhan dengan sesama jenis, kawan seperjuangan saat perang, penahanan di penjara, bahaya penyakit yang mengancam persetubuhan heteroseksual, selibat, kelemahan seksual, dan lain sebagainya.

*Ketiga, inversi dapat diobati dengan sugesti hipnotis, sehingga karakteristik invert tidak dapat dianggap sebagai sifat bawaan.

Penjelasan Sigmund Freud mengenai psikoseksual pada fenomena LGBT dapat dibedakan menjadi dua hal. LGBT sebagai kondisi yang dimiliki oleh individu, yang disebabkan oleh faktor medis (biologis/genetik) dan faktor sosial atau lingkungan. Faktor biologis yang dimaksud mencakup faktor genetik dan hormonal yang dimiliki oleh individu sejak lahir. Jika LGBT disebabkan oleh faktor biologis, maka terapi hormonal dapat membantu menyembuhkannya.

Namun, menurut Tika Bisono (2016), faktor sosiologis lebih berperan dalam penyebab LGBT daripada faktor hormonal. Faktor sosiologis meliputi lingkungan, pergaulan, tontonan, budaya, dan lain sebagainya. Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Meyer-Bahlburg (dalam Carlson, 2012) yang mengatakan bahwa LGBT tidak dipengaruhi oleh hormon, melainkan oleh struktur otak. Struktur otak pada orang homoseksual berbeda dengan orang normal, yang disebabkan oleh paparan androgen prenatal.

Dalam bidang medis, terdapat dua metode penyembuhan LGBT, yaitu terapi hormonal di rumah sakit untuk mereka yang mengalami disfungsi hormon (biologis/medis) dan terapi psikologis untuk mereka yang terpengaruh oleh faktor lingkungan.

Nah, teman-teman maka dari itu pandai-pandailah dalam bergaul dan memilih teman untuk mencegah penyebaran orientasi seksual atau LGBT dilingkungan sosial, jika ada seseorang yang menyimpang pada perilaku LGBT dapat dilakukan layanan rehabilitasi bagi pelaku dan diiringi dengan penegakan hukum yang tegas. Karena pengaruh sosial itu berpotensi sangat besar bagi manusia dan dikhawatirkan dapat menular perilaku menyimpang LGBT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun