Menurut Sigmund Freud, individu yang mengalami LGBT dapat disebut sebagai kontraseksual atau lebih tepatnya disebut invert. Selain itu, jumlah data dan fakta di lapangan dapat juga disebut inversi. Sigmund Freud berpendapat bahwa jumlah individu seperti itu sangatlah banyak, meskipun sulit untuk memperoleh angka pasti. Perilaku inversi dibagi menjadi tiga jenis, yakni invert absolut, invert amfigenus, dan invert sesekali.
Invert absolut merupakan fenomena di mana individu hanya tertarik pada objek seksual dengan jenis kelamin yang sama. Individu yang mengalami invert absolut tidak pernah merindukan jenis kelamin yang berbeda sebagai objek seksual. Jenis kelamin yang berbeda dengan individu yang mengalami invert absolut akan membangkitkan penolakan seksual di dalam diri mereka. Bagi para laki-laki, mereka menjadi tidak mampu melakukan aktivitas seksual secara normal dan kehilangan rasa senang ketika melakukannya.
Invert amfigenus atau hermafrodit psikoseksual adalah kondisi di mana individu tertarik pada objek seksual dengan jenis kelamin yang sama dan berbeda sekaligus. Sehingga inversi mereka tidak terlalu kuat karakter eksklusifnya.
Sedangkan invert sesekali dapat terjadi dan dipengaruhi oleh kondisi eksternal tertentu. Ketika seseorang tidak memiliki akses untuk melampiaskan hasrat seksualnya terhadap objek atau imitasi seksual yang normal, maka orang tersebut akan melampiaskannya kepada individu dengan jenis kelamin yang sama. Dalam hal ini, mereka pun merasakan kepuasan di dalam aktivitas seksual dengan objek seksual yang baru.
Konsep inversi pertama kali tercakup di dalam gagasan yang menjelaskan bahwa hal tersebut adalah tanda bawaan dari adanya kemunduran syaraf. Karakter ini mengandung dua ciri terpisah yaitu kemunduran dan pembawaan yang menjadi faktor penyebab inversi.
Sigmund Freud menolak pandangan umum yang menyatakan bahwa homoseksualitas merupakan sifat bawaan sejak kecil selain dari degenerasi. Freud menjabarkan tiga alasan sebagai antitesis faktor pembawaan, yaitu:
*Pertama, banyak invert yang memiliki pengalaman seksual awal yang mempengaruhi cenderung menuju homoseksualitas. Hal ini dapat terlihat dari konsekuensi yang kekal pada kecenderungan tersebut.
*Kedua, dalam banyak kasus, faktor lingkungan mempengaruhi kecenderungan homoseksualitas, seperti persetubuhan dengan sesama jenis, kawan seperjuangan saat perang, penahanan di penjara, bahaya penyakit yang mengancam persetubuhan heteroseksual, selibat, kelemahan seksual, dan lain sebagainya.
*Ketiga, inversi dapat diobati dengan sugesti hipnotis, sehingga karakteristik invert tidak dapat dianggap sebagai sifat bawaan.
Penjelasan Sigmund Freud mengenai psikoseksual pada fenomena LGBT dapat dibedakan menjadi dua hal. LGBT sebagai kondisi yang dimiliki oleh individu, yang disebabkan oleh faktor medis (biologis/genetik) dan faktor sosial atau lingkungan. Faktor biologis yang dimaksud mencakup faktor genetik dan hormonal yang dimiliki oleh individu sejak lahir. Jika LGBT disebabkan oleh faktor biologis, maka terapi hormonal dapat membantu menyembuhkannya.
Namun, menurut Tika Bisono (2016), faktor sosiologis lebih berperan dalam penyebab LGBT daripada faktor hormonal. Faktor sosiologis meliputi lingkungan, pergaulan, tontonan, budaya, dan lain sebagainya. Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Meyer-Bahlburg (dalam Carlson, 2012) yang mengatakan bahwa LGBT tidak dipengaruhi oleh hormon, melainkan oleh struktur otak. Struktur otak pada orang homoseksual berbeda dengan orang normal, yang disebabkan oleh paparan androgen prenatal.