Mohon tunggu...
Salamuddin Uwar
Salamuddin Uwar Mohon Tunggu... Guru - Penikmat Air Putih

Menjadi pengajar di pelosok timur Indonesia, sambil sesekali menikmati bacaan tentang Hukum, HAM, Demokrasi, Sosial Budaya, Bahasa, Sejarah, dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ritual Tulak Ringin sebagai Salah Satu Manifestasi Budaya Wandan

28 Desember 2024   19:24 Diperbarui: 28 Desember 2024   19:24 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Koleksi Pribadi

Seiring dengan perubahan zaman, kekayaan budaya masyarakat Indonesia mulai perlahan terkikis dengan nilai-nilai modernitas, bahkan ada diantaranya terancam punah, atau bahkan telah punah. Kondisi demikian, tentu saja mengundang keprihatinan bersama, mengingat kebudayaan merupakan salah satu aset nasional bangsa Indonesia yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Namun di balik fakta tentang keterancaman kepunahan nilai-nilai budaya akibat modernitas, masih ada harapan pada sebagian pewaris yang terus berupaya untuk melestarikan nilai-nilai kebudayaan yang dianutnya.

Berbagai ragam budaya yang masih dilestarikan hingga kini di berbagai pelosok Nusantara oleh berbagai suku dan etnis menunjukkan bahwa kesadaran untuk melestarikan nilai luhur budaya bangsa masih terjaga dengan baik. Begitu pun yang terjadi pada masyarakat Wandan (Banda) di Kepulauan Kei, Provinsi Maluku. Sudah barang tentu, berbagai ragam budaya dan adat istiadat tersebut merupakan warisan leluhur yang dilestarikan secara turun temurun dari generasi ke generasi hingga saat ini. Di antara berbagai ragam tradisi yang dimiliki oleh Masyarakat Wandan, salah satunya adalah ritual Tulak Ringin.

Tulak Ringin merupakan tradisi menyambut bayi yang baru lahir dengan mengadakan serangkaian ritual dengan memohon pada Sang Maha Pencipta agar melimpahkan kesehatan dan keselamatan pada bayi tersebut. Ritual Tulak Ringin dilaksanakan beberapa hari setelah kelahiran bayi. Ritual ini lebih condong memiliki kemiripan dengan ritual Aqiqah dalam ajaran Islam ataukah ritual Brokohan dan Sepasaran dalam tradisi Jawa. Akan tetapi, dalam kehidupan Masyarakat Wandan, ritual Tulak Ringin dan Aqiqah menjadi bagian yang tak terpisahkan, karena kedua ritual ini tumbuh dan berkembang di tengah budaya masyarakat Wandan. Namun  dalam prosesnya ritual Tulak Ringin selalu menjadi yang pertama untuk dilaksanakan, setelah itu disusul dengan pelaksanaan Aqiqah sebagai upaya mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta atas kelahiran seorang bayi.

Ritus Tulak Ringin

Tradisi Masyarakat Wandan dalam menyambut kelahiran bayi masih terus dilakukan hingga kini, baik bagi mereka yang bermukim di pedesaan maupun perkotaan. Tentu saja, aktivitas semacam ini sebagai bentuk ungkapan rasa syukur terhadap Sang Maha Pencipta atas kelahiran bayi, juga merupakan bentuk menjaga serta melestarikan tradisi yang diwariskan oleh para leluhur. Dalam pelaksanaannya, ritual Tulak Ringin dilaksanakan setelah usia bayi mencapai satu minggu atau lebih. Ritus ini dimulai dengan mengundang ibu-ibu dan para wanita yang menjenguk ibu sang bayi sewaktu persalinan. Selain itu, ikut diundang pula seorang pelaku ritual yang memiliki kemampuan dan pengalaman dalam pelaksanaan ritus ini, umumnya pelaku ritualnya adalah perempuan separuh baya yang telah menikah, dan memiliki anak. Setelah kehadiran para undangan dan pelaku ritus, maka ritual Tulak Ringin dapat dilaksanakan. Untuk keperluan pelaksanaan ritus ini, maka perlu disiapkan beberapa bahan dan alat, di antaranya adalah:

  • Tempat/wadah untuk memandikan bayi
  • Air Santan Kelapa
  • Buah Kelapa muda
  • Kapas
  • Kepingan emas
  • Piring
  • Pisau

Setelah semua bahan dan alat disiapkan, maka pelaku ritual memulai melaksanakan ritus dengan memanjatkan doa sambil mengikis kepingan emas di atas kapas yang telah disediakan, lalu setelah itu kapas yang telah dibubuhi dengan emas kemudian dibaluri pada kulit buah kelapa muda. Setelah itu, buah kelapa muda tersebut dilubangi dengan menggunakan pisau yang telah disediakan. Setelah dilubangi, air dari kelapa muda tersebut dituangkan ke dalam wadah yang telah berisi air santan kelapa. Selanjutnya, bayi tersebut dimandikan sembari memanjatkan doa dan harapan-harapan kepada Sang Maha Pencipta agar kelak bayi tersebut tumbuh dengan sehat serta diberkahi hidupnya.

Sumber: Koleksi Pribadi
Sumber: Koleksi Pribadi

Setelah proses pemandian bayi selesai, selanjutnya para tamu yang diundang untuk menghadiri acara ritual tersebut menikmati hidangan yang disediakan oleh tuan rumah. Setelah menikmati hidangan tersebut, maka dengan sendirinya berakhir pula ritual tersebut.

Makna dan Simbol di Balik Ritual Tulak Ringin 

Tentu saja, setiap ritual yang dilakukan pasti memiliki makna secara spiritual serta simbol-simbol yang ingin dimunculkan sebagai bentuk manifestasi terhadap keyakinan yang dimiliki oleh pewaris atas ritual yang dilakukan. Seperti halnya ritual lainnya, ritual Tulak Ringin juga memiliki makna secara spiritual, bahwa setiap kelahiran merupakan bentuk anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang patut disyukuri oleh setiap orang tua. Selain itu juga, ungkapan syukur yang di panjatkan, juga terselip doa dan harapan pada setiap rangkaian ritual ini, agar kelak bayi tersebut tumbuh sehat hingga dewasa, dilimpahkan rezeki, dan hidupnya penuh dengan keberkahan.

Hal ini terlihat pula dari bahan atau alat yang digunakan dalam ritus tersebut yang menggambarkan simbol kesucian, kesehatan, kemudahan, dan kesejahteraan bagi kehidupan bayi tersebut nantinya. Di mana Air Santan Kelapa menggambarkan kesucian hidup yang kelak harus dijalani oleh sang bayi, lalu buah kelapa muda yang menggambarkan kesegaran, kemudahan, dan kesehatan bagi bayi. Emas, Kapas, dan Piring yang menggambarkan kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik bagi sang bayi nantinya. Dan Pisau sebagai perisai bagi bayi dalam menjalani kehidupannya kelak. Tentu saja, keberadaan benda-benda ini hanya sebatas simbol tentang pengharapan keberkahan dari Sang Maha Pencipta kepada makhluk ciptaan-Nya yang baru dilahirkan.

Tentu ritual ini dimaksudkan juga sebagai ungkapan terima kasih kepada para tetangga, kerabat, dan handai tolan yang telah meluangkan waktu untuk menjenguk serta memberikan doa dan perhatian kepada ibu dan bayinya. Selain itu juga, ritual ini menjadi ajang silaturahmi antar sesama sehingga terbangun suasana kekeluargaan di antara mereka.

Uniknya dalam pelaksanaan ritual ini, hanya melibatkan para perempuan saja, mulai dari pelaku ritual hingga tamu undangan yang hadir. Hal ini menunjukkan bahwa dalam budaya masyarakat Wandan yang patriarki masih memberikan ruang pada para perempuan untuk menjalankan ritual secara penuh tanpa harus melibatkan kaum lelaki. Ini sekaligus mengonfirmasi bahwa dalam budaya patriarki sekali pun, perempuan dapat memainkan perannya tanpa harus tergantung pada laki-laki.

Upaya Menjaga Ritus Tulak Ringin

Seperti yang penulis sampaikan pada awal tulisan ini, bahwa pada kenyataannya banyak ritual budaya yang mulai ditinggalkan oleh para pewarisnya akibat lajunya modernitas di tengah masyarakat Indonesia. Begitu pun yang terjadi pada masyarakat Wandan di Kepulauan Kei, banyak ritual budaya Wandan yang mulai ditinggalkan oleh generasi muda, selain karena pengaruh modernitas, faktor lain yang memengaruhi adalah pemahaman generasi muda Wandan terhadap agama yang berdampak terhadap ritus budaya yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam.  

Terlepas dari faktor yang memengaruhi, sehingga berbagai ritual budaya mulai ditinggalkan oleh para pewaris. Namun bagi Penulis yang terpenting saat ini adalah, terus menghidupkan nilai-nilai budaya tersebut sebagai bagian dari upaya menjaga serta melestarikan hasil karya para leluhur sebagai warisan budaya bangsa. Ritual Tulak Ringan adalah warisan budaya Wandan yang perlu terus dijaga dan dilestarikan hingga generasi mendatang

Menurut penulis, dalam konteks ritus Tulak Ringin ini, harapan untuk tetap menjaga kelestarian tradisi ini masih tetap ada selagi manusia Wandan masih ada, dan terus dilahirkan dari generasi ke generasi berikutnya. Selain itu juga, penting untuk membangun kesadaran kebudayaan di kalangan generasi bahwa salah satu bentuk identitas diri sebagai seorang Wandan terlihat dari kehidupan kebudayaannya, jikalau identitas diri itu memudar atau bahkan menghilang, maka dengan sendirinya identitas sebagai seorang Wandan pun ikut hilang dengan sendirinya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun