Selama seminggu kami hidup seperti itu, saling bertukar kabar selamat ataupun kabar duka. Bertukar cerita dengan tetangga tentang kondisi kota paska gempa. Ada yang kantornya rusak parah, ada yang sekolahnya rubuh, ada bangunan yang masih berdiri tegak baik-baik saja. Pasokan air datang setiap pagi dengan mobil tangki, dibagikan adil pada setiap ember dan jirigen yang sudah menanti. Setiap hari itu kami bergotong royong mengangkut dari pemberhentian mobil menuju rumah kami masing-masing. Instansi terkait juga bergantian memeriksa kerusakan dan melabeli rumah-rumah kami. Dinding-dinding retak, lantai paling belakang sedikit miring, perabotan yang berjatuhan di rumahku masih dikategorikan layak huni.
Terdengar asing dan menyedihkan ya saat diceritakan, tapi saat mengalaminya aku merasa baik-baik saja. Selain kehilangan, trauma pada gempa, dan beberapa perubahan kebiasaan; aku juga merasa menemukan. Menemukan rasa yang melegakan, yang menenangkan, yang menyuburkan rasa percaya bahwa sebesar apapun guncangannya, pada akhirnya semua akan baik-baik saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H