Mohon tunggu...
salahudin tunjung seta
salahudin tunjung seta Mohon Tunggu... Administrasi - Individu Pembelajar

Mohon tinggalkan jejak berupa rating dan komentar. Mari saling menguntungkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Di Balik Polemik Sebuah Peringatan Tragedi

20 Februari 2022   01:32 Diperbarui: 20 Februari 2022   01:58 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di balik sebuah peristiwa tidak jarang terdapat sebuah alasan yang tidak dijelaskan di depan khalayak ramai, alasan tersebut tetap dijaga dan tidak tersampaikan ke masyarakat. Polemik atau perbedaan pandangan seringkali tidak menunjukan suatu hal yang memang menjadi sebuah alasan. Mereka, pihak dalam polemik atau peristiwa tersebut tak jarang menggunakan eufimisme, sehingga masyarakat tidak memahami maksud atau niat sesungguhnya dari para pihak. Bahkan seringkali masyarakat menjadi seperti korban dari penipuan. 

Dahulu, ketika penjajahan Belanda digantikan oleh datangnya Jepang, mereka mengklaim telah mengusir penjajah Belanda. Dai Nippon menyatakan bahwa Jepang adalah Saudara Tua dari Indonesia. Menyusul klaim dan pernyataan tersebut, Jepang membentuk Propaganda Tiga A. Tak ayal, masyarakat Indonesia cukup banyak yang berteriak "Banzai" ketika iring-iringan para Serdadu Jepang dan para Perwira Jepang melewati jalan-jalan di Indonesia pada saat awal pendudukan Jepang. Namun kenyataannya, Jepang menggunakan eufimisme dalam kata "Saudara" untuk menyatakan "Penjajahan". Sebagaimana dijelaskan dalam biografi Maulwi Saelan dengan judul "Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66" bahwa Jepang membutuhkan Indonesia dalam hal Sumber Daya Alam guna menyokong militer Jepang untuk menghadapi Perang Asia Timur Raya. 

Dahulu, ketika Soekarno digantikan posisinya sebagai Presiden oleh Soeharto, era yang disebut sebagai Orde Baru sebagai sebuah klaim politik untuk menegaskan bahwa rezim Soeharto adalah anti-thesis masa Soekarno yang disebut sebagai Orde Lama, menyatakan bahwa akan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara lurus. Hal tersebut dikarenakan era Soekarno dianggap lebih dekat ke blok komunis dan menjalankan Demokrasi Terpimpin yang disebut sebagai tidak menjalankan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara penuh.

Salah satu wujud dari sikap Orde Baru adalah dengan mengadakan Pemilu secara periodik, yang pada saat itu dilaksanakan hanya untuk memilih legislatif. Walaupun demikian, nyatanya Pemilu diadakan hanya sebagai sebuah formalitas saja. Masyarakat sebelum hasil pemilu diumumkan, hampir selalu dapat menebak dengan tepat, partai politik mana yang menjadi pemenang Pemilu. Hal tersebut karena sistem kepartaian yang membuat Golkar (Kelompok Fungsional yang menjalankan fungsi kepartaian) mendominasi dan mengakar, tidak hanya ke masyarakat desa-desa, tetapi juga pegawai negeri yang pada saat ini dilarang untuk menjadi simpatisan kelompok politik. Di sisi lain, partai politik lain dilemahkan dengan ditetapkannya fusi, yaitu partai-partai islam, seperti pada saat itu Parmusi, PSII dan Perti dijadikan satu partai, yaitu PPP. Sedangkan partai-partai non-Islam dan Nasionalis, seperti pada saat itu PNI, Murba, IPKI, serta Parkindo dan lain-lain dijadikan satu partai, yaitu PDI. Dengan strategi demikian, maka Golkar yang merupakan kelompok fungsionalis tetapi menjalankan fungsi kepartaian dapat mengakar dengan kuat. Sehingga Soeharto dapat dipastikan selalu menjadi Presiden, karena kelompok-kelompok penyokongnya menjadi mayoritas menduduki kursi di MPR. Dengan kondisi demikian, Soeharto menggunakan eufimisme dengan menggunakan frasa "menjalankan Pancasila dan UUD Tahun 1945" untuk kata "diktatoriat". Eufimisme selalu memakan korban, tidak lain yaitu masyarakat yang berada di luar peristiwa atau polemik yang ada. Karena masyarakat yang berada di luar peristiwa yang ada, tidak sedikit yang membaca atau melihat dengan 'polos'. 

Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan berdirinya museum di Minahasa yang didirikan untuk memperingati tragedi kemanusiaan, yaitu Holocaust. Pro dan kontra muncul setelah didirikannya Museum Holocaust ini. Kelompok kontra, mayoritas menghubungkan dengan konflik Israel-Palestina. Sebagaimana dinyatakan oleh Sudarnoto, Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri, di media CNN bahwa Zionisme sama jahatnya dengan Nazi yang melakukan Holocaust, seharusnya Indonesia sebagai negara pembela Palestina, tidak ada Museum Holocaust di Indonesia. Itulah paraphrase dari pernyataan Sudarnoto. Selain itu, dalam media Republika Sudarnoto menegaskan bahwa pendidikan sejarah mengenai Holocaust tidak tepat untuk dilakukan di Indonesia, lebih tepat dilakukan di Jerman. Sedangkan di yang berseberangan dengan MUI , berpandangan bahwa sikap dari MUI adalah sebuah sikap yang kurang dapat menerima perbedaan. Achmad Nurcholish, pimpinan Conference on Religion and Peace (ICRP) sebagaimana dilansir BBC, menyatakan bahwa penolakan terhadap museum Holocaust merupakan bukti masyarakat Indonesia masih beragama secara ekslusif. Lebih lanjut Nucholis menyatakan bahwa :

Kita hidup beragama masih di level eksklusif, yang masih dihinggapi kecurigaan, prasangka. Ini persoalan pola pikir.

Selain itu, menurut Nurcholish sikap dari pimpinan MUI merupakan bukti bahwa MUI belum siap menerima perbedaan.

Pro-kontra mengenai Museum Holocaust ini sebaiknya tidak ditelan mentah-mentah oleh publik mengenai pandangan-pandangan para pihak yang masuk dalam polemik ini. Pun juga hati-hati terhadap pendapat-pendapat yang membawa 'Identitas' dalam polemik Museum Holocaust, karena dapat menyebabkan konflik lain dalam polemik yang ada dan bukan malah menyelesaikan polemik yang sudah ada terlebih dahulu. Oleh karena itu, dengan maksud untuk "urun rembug" dalam menyikapi pembangunan Museum Holocaust di Indonesia, penulis dengan segala keterbatasan yang terdapat dalam diri, ikut untuk memperkaya cara pandang publik. Tentu bukan pendapat yang 100% benar, oleh sebab itu, penulis menerima kritik dan koreksi, karena bisa jadi, literatur yang dibaca oleh penulis dan pemahaman penulis kurang tepat dalam beberapa hal. 

HOLOCAUST : TRAGEDI KEMANUSIAAN 

Hitler, seorang diktator Jerman, merupakan salah satu orang terkejam di sejarah modern. Polandia, Austria, Perancis adalah negara-negara yang berhasil diduduki oleh tentara NAZI yang dipimpin olehnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun